Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Gerakan 212 Harus Memiliki Visi Besar

Jumat, 03 Desember 2021, 14:34 WIB
Gerakan 212 Harus Memiliki Visi Besar
Deputi Program International Centre for Islam and Pluralism (ICIP), Fahmi Syahirul Alim/Net
TAHUN 2016 adalah tahun di mana demokrasi dan kedewasaan dalam berbabangsa betul-betul diuji, dimana adanya sekelompok umat muslim  yang menamakan diri dalam gerakan 212 melakukan aksi turun ke jalan menuntut agar Ahok, Gubernur DKI  pada saat itu diadili karena dianggap telah menodai ajaran Islam. Tekanan besar tersebut  tak ayal membuat Presiden Jokowi harus turun tangan karena jika tidak “diselesaikan” dengan elegan, keharmonisan  bangsa bahkan kestabilan pemerintah dapat terganggu.

Namun anehnya, dalam catatan penulis ada dua ormas Islam yang ditemui dan dikunjungi kantor pusatnya oleh Presiden Jokowi Pasca aksi besar-besaran yang dilakukan umat muslim pada akhir tahun 2016 lalu bahkan bisa dikatakan sebagai aksi terbesar setelah peristiwa 98 terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama yang pada akhirnya diadali oleh penegak hukum, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU).

Hal ini mengisyaratkan bahwa kedua ormas tersebut adalah episentrum dan representasi genuine dari Islam Indonesia, bukan kelompok atau elit gerakan 212 yang pada saat itu merasa di atas angin merasa paling mewakili umat Islam.

Ada beberapa faktor yang menjadikan Muhammadiyah dan NU adalah ormas yang paling pertama dikunjungi dan dimintai pandanganya oleh Presiden Jokowi terkait kasus dugaan penistaan Agama yang akhirnya menyeret Ahok sebagai tersangka dan terpidana, pertama, Muhammadiyah dan NU tidak terlibat secara resmi dalam aksi besar tersebut, hal ini menandakan Muhammadiyah dan NU menjaga jarak agar tidak ditunggangi oleh pihak-pihak yang memanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Walaupun kedua ormas tersebut mengeluarkan sikap resmi terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok tersebut.

Kedua, Muhammadiyah dan NU adalah kekuatan terbesar civil society di negeri ini dan sudah lama berkeringat merawat kebhinekaan dan mencerdaskan bangsa dari sebelum kemerdekaan NKRI dengan berbagai gerakan nyata dan sumbangsing pemikiran yang ber-nas untuk kemajuan bangsa.

Ketiga, Muhammadiyah dan NU bukan hanya sekedar ormas atau bahkan gerakan kagetan yang hanya merespon satu isu dan setelah itu tenggelam. Keduanya merupakan pilar bangsa dan tenda bangsa, konsiten menaungi semua golongan tanpa melihat SARA. Sebagai contoh, betapa banyak sekolah dan kampus Muhammadiyah di kawasan Indonesia Timur yang mayoritas siswa dan mahasiswanya bukan Muslim, dan Muhammadiyah tidak alergi dengan hal itu. Buku yeng berjudul Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan karya Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul Haq (2009) banyak mengupas hal tersebut.

Gerakan 212 Harus Memiliki Visi Besar


Ulasan di atas adalah cermin bahwa untuk menjadi gerakan Islam yang “panjang umur” yang suaranya di dengar oleh pemangku kebijakan secara jangka panjang, serta mendapatkan simpati dari masyarakat sepanjang hayat maka Gerakan 212 harus memiliki visi besar dan jangka panjang bukan hanya sekedar aksi turun ke jalan dan reuni di tengah pandemi yang belum sepenuhnya pergi.

Pada akhirnya, jika Gerakan 212 tidak memiliki visi besar dan hanya gerakan kagetan seperti membuat minimarket 212 bak tumbuhnya jamur di musim hujan, maka Gerakan 212 hanya dikenal sebagai gerakan populisme semata. Merujuk pada peneliti politik BRIN, Raharjo Jati (2016), populisme berkembang dalam berbagai bentuk ekspresi politis yang tergantung pada konteks dan konten politik kontemporer yang melatar belakanginya. Mengutip Dwayne Woods (2014) dalam Many Faces Populism: Current Prespective, gerakan populisme tersebut berkembang dalam tiga ranah yaitu populisme sebagai gaya politik, populisme sebagai komunikasi politik, dan populisme sebagai gaya polItik.

Maka tak heran ketika Gerakan 212 lebih dilihat sebagai gerakan populisme yang hanya fokus pada urusan politik yang dibungkus dalam kepentingan umat, pelan-pelan tapi pasti mulai ditinggalkan oleh para elit yang menyokongnya bahkan oleh umat muslim di akar rumput.

Mari kita lihat, adakah elit atau tokoh publik yang merespon dan mendukung secara nyata reuni Gerakan 212 saat ini? Yang muncul malah himbauan dari Epidimolog Griffith University, Dicky Budiman yang meminta agar PA 212 tidak melakukan kegiatan dengan mobilisasi besar di tengah situasi saat ini. Terlebih, dia menyebut saat ini ada varian baru Omicron yang jauh lebih berbahaya. Bahkan menyarankan agar PA 212 menggelar acara reuni secara virtual. Selain lebih aman, dia menyebut itu akan lebih maslahat bagi semua orang (Detik.com, 2021).

Antikilmaks Pasca Pemilu 2019


Sebetulnya, Gerakan 212 sudah hampir meredup dan semakin hilang girahnya pasca Pemilu 2019, ketika Ma’ruf Amin sebagai salah satu tokoh yang bersaksi meberatkan Ahok semasa menjadi Ketua MUI menjadi Wakilnya Jokowi dan masuknya beberapa elit politik dalam kabinet Jokowi yang selama ini bersebrangan dengan pemerintah, hal itu turut mempersempit ruang gerak alumni 212 dan pengikutnya.

Maka kita harus jeli melihat bahwa dalam Gerakan 212 banyak intrik yang bermain, betul bahwa pasca Era Reformasi, gerakan ini patut diacungi jempol karena mampu menggerakan simpati sebagian umat Islam turun ke jalan dengan tertib dan damai tanpa ada kekerasan sedikit pun. Ini bukti dari kematangan kita sebagai bangsa yang menjujung nilai keadaban dan demokrasi dalam menyuarakan aspirasi.

Namun di lain sisi, jangan sampai Gerakan 212 dijadikan agenda dan alat legitimasi tahunan oleh pihak tertentu untuk melakukan aksi turun ke jalan tanpa arah dan tujuan yang jelas kalau bukan hanya teriak dan membuat spanduk “Turunkan Jokowi!”. Akhirnya Gerakan 212 tidak lagi substantif, heroik, dan cenderung antiklimaks.

Oleh sebab itu, jika memang kepentingannya adalah politik jangka pendek hanya untuk merebut atau menggulingkan kekuasaan, maka Gerakan 212 harus mulai merintis jalur resmi dengan mendirikan partai politik. Bertarunglah dalam kontestasi elektoral secara mandiri sehingga Gerakan 212 tidak hanya ditunggangi dan akhirnya ditinggalkan karena elitnya dijinakkan. Pemilu 2024 masih panjang, jika simpatisan Gerakan 212 masih solid hingga akar rumput bukan tidak mungkin gerakan ini menjadi bagian resmi dari “Senayan” sebagai penyambung lidah umat. rmol news logo article

*Penulis adalah Deputi Program International Centre for Islam and Pluralism (ICIP)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA