Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Andika, TNI adalah Kita

*Oleh Moch Eksan

Selasa, 09 November 2021, 13:52 WIB
Andika, TNI adalah Kita
Jenderal Andika Perkasa akan dilantik Presiden Jokowi sebagai Panglima TNI/RMOL
RAPAT Paripurna DPR RI, Senin (8/11), telah menyetujui Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI). Jenderal kelahiran Bandung, 21 Desember 1964 ini akan menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI ke 21.

Kepala Staf Angkat Darat (KSAD) ini akan tercatat dalam sejarah TNI selaku pucuk pimpinan TNI sebagai tentara rakyat. Sebuah korp militer Indonesia yang lahir dari rahim perjuangan rakyat dalam memperjuangkan, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.

Presiden Soekarno  meresmikan TNI sebagai wadah tunggal dengan melebur Tentara Republik Indonesia (TRI) dan badan-badan perjuangan rakyat pada 3 Juni 1947.  

Sementara, TRI itu sendiri merupakan metamorphosis dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dibentuk pada 5 Oktober 1945. Dan TKR merupakan kelanjutan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang sudah ada sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Dalam konteks visi Jenderal Andika, "TNI adalah Kita" merupakan refleksi historis dari dimensi kerakyatan dalam sejarah kelahiran TNI. Disamping sebagai proyeksi organisasi angkatan bersenjata untuk senantiasa membela kepentingan rakyat.

Undang Undang 34/2004 tentang TNI Pasal 2 ayat (1), (2), (3), dan (4), menegaskan jatidiri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara profesional.

Jatidiri TNI sebagai tentara rakyat disebut paling atas pada Pasal tersebut. Ini bukti bahwa garis perjuangan TNI dalam menjalankan peran, fungsi dan tugas, kepentingan rakyat di atas kepentingan penguasa dan pengusaha sekaligus.

Apalagi semangat di balik UU TNI, adalah meletakkan TNI sebagai alat pertahanan negara, bukan pertahanan penguasa. Sehingga, klausul pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dan pengerahan pasukan TNI dalam operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana ketentuan Pasal 13 ayat (2), dan Pasal 17 ayat (2).

Memang dalam keadaan terpaksa, Presiden secara langsung dapat mengerahkan pasukan TNI, tanpa persetujuan dari DPR lantaran kondisi ancaman militer yang mendesak.

Akan tetapi, presiden diwajibkan melaporkan keputusan tersebut 2 x 24 jam kepada DPR. Dan bila, DPR tak menyetujui keputusan presiden yang dimaksud, pengerahan pasukan TNI harus diberhentikan. Ketentuan ini digariskan pada Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3).

Ketentuan hukum di atas, menutup kemungkinan penyalahgunaan militer untuk kepentingan penguasa. Apalagi berhadapan dengan rakyat dalam berbagai kasus di Era Orde Baru.
TNI hanya tunduk dan patuh pada kepentingan negara yang digariskan oleh kebijakan Presiden dan DPR berdasarkan pada prinsip demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan supremasi sipil, dan kepastian hukum.

Jenderal Andika merupakan petinggi TNI yang tumbuh-subur di era demokrasi dan HAM yang sedang mekar di Nusantara. Menantu Jenderal TNI (Purn) HM Hendropriyono ini relatif bersih dari kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Memang, pencalonannya mendapat penolakan 14 Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) Tanah Air. Namun, penolakan itu tak lebih sebagai warning untuk konsisten dalam melanjutkan reformasi TNI.

TNI sekarang sudah on the right track (di atas jalan yang benar). Sebuah jalan reformasi yang menunggal di atas kepentingan rakyat dalam menegakkan kedaulatan negara,  mempertahankan keutuhan NKRI, serta melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dari ancaman dan atau gangguan dari dalam maupun luar negeri.

Tak ada satupun negara di dunia, tak memiliki ancaman dan gangguan keamanan. Indonesia juga tak terkecuali. Meskipun, kapasitas militer Indonesia sangat siap dalam mengelola ancaman separatisme, terorisme, serta  bencana alam dan sosial.

Global Firepower (GFP) bahkan menempatkan Indonesia peringkat ke-16. Lembaga internasional ini menetapkan peringkat sebuah negara berdasarkan pada 50 faktor Power Index dari katagori kekuatan militer dan keuangan, serta kemampuan logistik dan geografis.

Namun, ranking GFP di atas, dikritik oleh seorang peneliti militer, Beni Sukandis, bahwa ranking 16 Indonesia tidak lebih sekadar "hiburan". Sebab, menurut penulis buku "Total Defense and Military Conscript : Indonesia's Experience and Other Democracies", hasil penilaian GFP tak mencerminkan kenyataan.

Pasalnya, Kondisi alat utama sistem persenjataan (alustista) 60 persen milik TNI sudah tua.

Problem kesejahteraan prajurit, modernisasi Alutsista, dan peningkatan kecintaan rakyat pada TNI, merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi Jenderal Andika.

Berbagai usaha Jenderal berkekayaan Rp 179 M untuk menjawab 3 PR tersebut, akan menggeser "TNI adalah Kita" dari slogan menjadi kenyataan.

Bila tidak, maka sebaliknya. TNI bukan Kita. Selamat bertugas Jenderal, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa membimbing Jenderal dalam memimpin TNI kian dicintai oleh seluruh rakyat Indonesia.rmol news logo article

*Penulis adalah Pendiri Eksan Institite dan Wakil Ketua DPW Nasdem Jawa Timur

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA