Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kantong Gendut Pebisnis PCR

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/syafril-sjofyan-5'>SYAFRIL SJOFYAN</a>
OLEH: SYAFRIL SJOFYAN
  • Senin, 25 Oktober 2021, 17:38 WIB
Kantong Gendut Pebisnis PCR
Ilustrasi tes PCR/Net
SELAMA pandemi, banyak pelaku bisnis banting setir membangun laboratorium tes PCR. Karena syaratnya gampang. Keuntungannya menggiurkan. Untuk meraup cuan berlipat-lipat itu, syarat yang dibutuhkan tidaklah sulit.

Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/ 4642/2021. Hanya memenuhi dua persyaratan. Pertama, menjamin pengolahan limbah medis B3 sesuai dengan standard operating procedure (SOP) yang ditetapkan dalam tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pemeriksaan Covid-19.

Kemudian, memiliki sumber daya tenaga kesehatan yang memadai. Dengan dua persyaratan itu, dalam waktu satu bulan langsung mendapatkan izin operasional dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan.

Cuan yang amat menggiurkan ICW, mengkalkulasi jumlah spesimen yang diperiksa oleh lab dikalikan dengan tarif pemeriksaan paling tinggi, yakni Rp 900 ribu, hasilnya kita melihat setidaknya ada perputaran uang dalam konteks pemeriksaan PCR itu sekitar Rp 23,2 triliun. Dalam penelitiannnya ICW menaksir keuntungan dari bisnis tes PCR per Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp 10,46 triliun.

Melalui investigasi kepada perushaan keuntungan besar dari bisnis laboratorium itu diakui. Malah lebih karena pernah membanderol harga tes PCR senilai Rp 1 juta hingga 1,25 juta. Mahalnya harga itu bergantung pada berapa lama hasil tes keluar. Semakin cepat, maka semakin mahal.

Padahal, waktu itu, harga satu reagen yang digunakan untuk tes PCR hanya Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Pernah heboh karena test PCR di India hanya Rp 90 ribu. Akhirnya sekarang diturunkan HET nya oleh Pemerintah ditetapkan Rp 495 ribu untuk di luar Jawa dan Bali ditetapkan Rp 525 ribu.

Dalam proses impor mesin dan reagen itu, distributor mendapat begitu banyak kemudahan dari pemerintah. Pemerintah telah menetapkan diskresi penghapusan pajak impor bagi alat-alat kesehatan untuk penanganan pandemi Covid-19.

Saking mudahnya, kesempatan ini dimanfaatkan para spekulan untuk turut andil dalam bisnis alkes. Banyak pebisnis akhirnya banting setir karena melihat peluang di bisnis kesehatan. Sempat juga ada persaingan tidak sehat. Banyak juga barang gelap beredar tanpa izin edar dari Kemenkes.

Persyaratan Baru PCR


Peraturan baru ini didorong Instruksi Mendagri 53. Ini aneh bin ajaib, karena instruksi Mendagri kan ranahnya mengatur kepada bupati, wali kota dan gubernur, tapi ini justru masuk ke tanah perhubungan. Ketentuan dalam Inmedagri 53/2021 mengatur mengenai persyaratan perjalanan dengan transportasi udara yang mewajibkan semua penumpang penerbangan domestik menyerahkan hasil tes Polymerase Chain Reaction (PCR) Covid-19, bukan tes antigen. Melanggar UUD 45

Adapun syarat perjalanan dalam Inmendagri tersebut diatur lebih rinci melalui Surat Edaran (SE) 21/2021 yang dikeluarkan oleh Satgas Covid-19 dan SE Kementerian Perhubungan (Kemenhub) 21/2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri pada masa pandemi Covid-19.

Dalam aturan yang mulai berlaku pada 21 Oktober hingga 1 November 2021, surat keterangan hasil negatif RT-PCR maksimal 2x24 jam sebelum keberangkatan menjadi syarat wajib perjalanan dari dan ke wilayah Jawa-Bali serta di daerah yang masuk kategori PPKM level 3 dan 4.

Masyarakat mempertanyakan mengapa dalam kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia yang semakin membaik namun justru tes perjalanan semakin ketat. Jangan sampai masyarakat berpikir kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah justru untuk mengambil keuntungan pihak-pihak tertentu akibat dari PCR ini.

Memang perlu hati-hati terhadap munculnya mutasi Covid-19, subvarian Delta Covid-19 yang disebut AY.4.2. Pakar epidemiologi menyarankan pemerintah untuk lebih berhati-hati supaya tidak menimbulkan lonjakan kasus baru atau gelombang ketiga. Karena itu berasal dari LN, saya setuju syarat yang dari luar negeri wajib ketat test PCR dan karantina, namun untuk penerapan PCR kepada masyarakat harus dikaji dengan serius.

Untuk itu mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang aturan tsb, mengingat sebaran laboratorium yang mampu melakukan test PCR belum merata diseluruh kota atau kabupaten di Indonesia. Selain itu, pengkajian ulang juga harus dilakukan karena harga yang ditetapkan untuk pelaksanaan tes PCR dinilainya cukup mahal bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Tes PCR Penumpang Pesawat Seharusnya Ditanggung Pemerintah


Harga Eceran Tertinggi (HET) tes PCR di lapangan banyak diakali oleh penyedia sehingga harganya naik berkali lipat. HET PCR di lapangan banyak diakali oleh provider dengan istilah 'PCR Ekspress', yang harganya tiga kali lipat dibanding PCR yang normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam.

Publik menilai aturan tersebut sebagai kebijakan dikstriminatif yang semakin memberatkan serta menyulitkan masyarakat. Kebijakan soal syarat penumpang pesawat terbang di PCR benar-benar ditentukan secara adil, jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya. Ada pihak pihak tertentu yang diuntungkan.

Kesimpulan:


1.    Meski batas atas harga tes swab PCR sudah diturunkan, tidak  mengurangi niat perusahaan  untuk tetap mengeruk keuntungan, istilah saya rakus. Mereka memberlakukan harga berlapis untuk tes swab PCR. Semakin cepat hasilnya keluar maka harga yang dikenakan makin mahal.

2.    Saya kira hanya di Indonesia masalah pandemi dan kesulitan ekonomi rakyat dimanfaatkan oleh orang-orang dan pejabat yang tidak bermoral memaksimalkan keuntungan meraup cuan dari bisnis alkes dengan berbagai cara termasuk korupsi biadab bansos untuk orang miskin oleh seorang Menteri dan konco-konconya.

3.    Sia–sia mendorong pemerintah melakukan pengawasan ketika sudah ada penyesuaian harga batas atas tes usap PCR. Karena kecendrungannya memihak kepentingan perusahaan/ pemilik modal contoh Pemerintah menetapkan diskresi penghapusan pajak impor bagi alat-alat kesehatan untuk penanganan pandemi COVID-19, namun meningkatkan pajak kepada rakyat naik nya PPN dan pajak untuk barang konsumsi

4.    Selain klinik dan laboratorium, distributor alat kesehatan turut meraup keuntungan di balik moncernya bisnis tes COVID-19. Perusahaan distribusi alat kesehatan, termasuk mesin PCR dan reagen selama masa pagebluk, apakah mereka berbagi keuntungan dengan pejabat berwenang, who it’s know. Karena mereka selama ini sdh meraup cuan demikian besar kenapa tidak pemerintah menekan agar perusahaan kali ini mereka harus menentukan harga sesuai harga pokok, tanpa mengambil keuntungan. Bakti Sosial.

5.    Dulu aturan ini sudah mulai tertata khusus Jawa-bali, cukup dengan antigen. Harusnya ini yang diperluas, jangan malah mundur lagi ke belakang dengan mensyaratkan PCR. Apalagi kasus Covid-19 di Indonesia sudah semakin menurun. Masyarakat yang sudah melakukan vaksin sebanyak 2 kali. Prokes di pesawat di perketat, pakai 2 lapis masker dsbnya.

6.    Pemerintah harus menurunkan HET PCR kisaran menjadi Rp100 ribuan, kenapa India bisa ( dengan subsidi), jangan lagi ada kebijakan pemerintah tersebut kental dengan aura bisnis menguntungkan sekelompok orang dan membebani rakyat banyak. rmol news logo article

Penulis adalah Sekjend Forum Komunikasi Patriot Peduli Bangsa

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA