Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kampus Merdeka Siapkan Generasi Society 5.0

Oleh: Fahmi Syahirul Alim*

Kamis, 07 Oktober 2021, 16:40 WIB
Kampus Merdeka Siapkan Generasi Society 5.0
Program Manager International Centre for Islam and Pluralism (ICIP), Fahmi Syahirul Alim/Net
BEBERAPA tahun terakhir kita larut dalam gegap gempita industri 4.0. Salah satu tantangan dari industri 4.0 adalah adanya era disrupsi, yang menurut Renald Kasali  (2017)  era disrupsi membuat banyak hal yang  baru, sehingga yang lama menjadi ketinggalan zaman, dan tidak terpakai (doing thing differently, so others will be obsolote).

Secara umum, Industri 4.0 menggambarkan tren yang berkembang menuju otomasi dan pertukaran data dalam teknologi dan proses dalam industri manufaktur. Tren-tren tersebut diantaranya adalah Internet of Things (IoT), Industrial Internet of Things (IioT), Sistem fisik siber (CPS), artificial intelligence (AI), Pabrik pintar, Sistem Komputasi awan, dan sebagainya.

Bahkan pada rancangan Industrial Internet of Things, level industri ini menciptakan sistem manufaktur di mana mesin di pabrik dilengkapi dengan konektivitas nirkabel dan sensor untuk memantau dan memvisualisasikan seluruh proses produksi. Bahkan pembuatan keputusan secara otonomi juga bisa dilakukan langsung oleh mesin-mesin tersebut (Binus, 2021)

Buku The Fourth Industrial Revolution karya Klaus Schwab (2016) menjabarkan dengan gamblang potensi yang ditawarkan industri 4.0. Ia meyakini cara-cara baru pemanfaatan teknologi akan membawa dampak positif bagi kemaslahatan hidup manusia. Sebagai contoh, inovasi di bidang bilogi bisa memberikan solusi untuk permasalahan medis yang sebelumnya tidak mampu dipecahkan.

Namun di sisi lain, menurut Klaus, ada beberapa tantangan-tantangan yang di hadapi industri 4.0. Selain adanya kekhawatiran akan tergerusnya sejumlah lapangan pekerjaan, ada pula kecemasan terkait relasi antarmanusia yang semakin tergantung pada teknologi. Gejala ini  sudah terlihat jika kita melihat riset yang dilakukan oleh Universitas Michigan pada 2010 yang menyatakan bahwa 40 persen mahasiswa mengalami penurunan kemampuan bersosialisasi dan berempati.

Kampus Merdeka Menyongsong Era Society 5.0


Untuk merespons tantangan tersebut,  tentu perlu upaya terobosan yang simultan dan berkelanjutan dalam dunia pendidikan kita agar generasi masa depan mampu menyeimbangkan antara kecanggihan teknologi dengan nilai-nilai kemanusian.

Di bawah Menteri Milenial Nadiem Makarim, Kemendikbudristek sebagai lembaga negara yang memiliki tanggung jawab besar dalam dunia pendidikan, melakukan gebrakan guna menjawab tantangan besar di atas, yaitu meluncurkan empat kebijakan Merdeka Belajar di lingkup pendidikan tinggi bernama “Kampus Merdeka”.

Menurut Mendikbudristek Nadiem, kebijakan “Kampus Merdeka” merupkan langkah awal dari rangkaian kebijakan untuk perguruan tinggi. Menurutnya, pendidikan tinggi di Indonesia harus menjadi ujung tombak yang bergerak tercepat. Karena dia begitu dekat dengan dunia pekerjaan dan masa depan.

Berikut empat pokok kebijakan “Kampus Merdeka” yaitu, pertama, otonomi pembukaan program studi (Prodi) baru. Kedua, re-akreditasi otomatis dan sukarela. Ketiga,  mempermudah syarat kampus menjadi PTN BH. Keempat, Kebebasan untuk mahasiswa belajar lintas program studi.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Nizam menambahkan, melalui program “Kampus Merdeka”, mahasiswa diberikan kebebasan belajar dengan tetap menanamkan karakter Pancasila sebagai falsafah bangsa, sehingga dapat membentuk mahasiswa menjadi pembelajar mandiri, berwawasan global, adaptif, kreatif, dan memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah yang kompleks di era society 5.0.

Menurut Nizam, dalam menyongsong era society 5.0, melalui program “Kampus Merdeka”, perguruan tinggi dituntut untuk siap diri dalam merombak pola pendidikan yang sudah dilaksanakan dengan kompetensi yang sangat baku agar pendidikan terus berkembang. Baginya, Perguruan tinggi harus berani memasuki zona tidak nyaman dengan kompetensi yang belum diketahui. (Kemendikbud.go.id, 2021)

Di sisi lain menurut Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Edy Suandi Hamid, berdasarkan riset World Economic Forum (WEF) pada tahun 2020, terdapat 10 kemampuan utama yang paling dibutuhkan untuk menghadapi era Revolusi Industri 4.0, yaitu bisa memecahkan masalah yang komplek, berpikir kritis, kreatif, kemampuan memanajemen manusia, bisa berkoordinasi dengan orang lain, kecerdasan emosional, kemampuan menilai dan mengambil keputusan, berorientasi mengedepankan pelayanan, kemampuan negosiasi, serta fleksibilitas kognitif.

Edy berpandangan, Era Society 5.0 dibuat sebagai solusi dari Revolusi Industri 4.0 yang ditakutkan akan mendegradasi umat manusia dan karakter manusia. Menurutnya, di Era Society 5.0 ini, nilai karakter harus dikembangkan, empati dan toleransi harus dipupuk seiring dengan perkembangan kompetensi yang berfikir kritis, inovatif, dan kreatif.

Society 5.0, menurutnya, bertujuan untuk mengintegrasikan ruang maya dan ruang fisik menjadi satu sehingga semua hal menjadi mudah dengan dilengkapi artificial intelegent.

Semoga dengan terobosan “Kampus Merdeka” yang diluncurkan oleh Kemendikbudristek tersebut sebagai salah satu episode dari  “Merdeka Belajar” mampu menghasilkan generasi yang siap menghadapi era society 5.0. Keseimbangan antara pendidikan karakter dan dan ilmu pengetahuan teknologi sejatinya memang harus selalu dijaga agar  umat manusia tidak menjadi budak nafsu dunia. Karena hakikat umat manusia adalah makhluk sosial yang saling bekerja sama untuk kemajuan bersama. rmol news logo article

*Penulis adalah Program Manager International Centre for Islam and Pluralism (ICIP)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA