Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Wawasan Nusantara

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/henrykus-sihaloho-5'>HENRYKUS SIHALOHO</a>
OLEH: HENRYKUS SIHALOHO
  • Senin, 20 September 2021, 10:59 WIB
Wawasan Nusantara
Peta wilayah Indonesia/Net
SECARA geografis NKRI terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya 18.110 pulau, dengan total luas wilayah perairan 5,8 juta km persegi (luas teritorial 3,1 juta km persegi dan ZEE 2,7 juta km persegi), panjang garis pantai 81.900 km, dan panjang base line 13.179 km.

Di dalam ruang wilayah kedaulatan dan hak-hak berdaulat tersebut terdapat sumber kekayaan alam yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Secara geopolitik Indonesia berbatasan dengan negara-negara India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua New Guinea, Timor Leste, dan Australia.

Pasal 25A UUD 1945 menyebutkan Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan UU.  Pasal 25A ini jelas merujuk pada deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia termasuk laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.  

Merujuk data di atas, ditambah dengan daratan yang seluas 1.919.440 km persegi, luas wilayah Indonesia lebih dari 7,7 juta km persegi. Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Pusat Hidrografi dan Oseanografi (Pushidros) TNI AL menyebut luas wilayah kita 8,3 juta km persegi.

Mengingat pemanasan global yang berdampak pada mencairnya es di kutub, dari waktu ke waktu, luas perairan kita bertambah, sementara daratan berkurang. Luas perairan kita sekarang lebih 3 kali luas daratan.

Mengapa luas wilayah kita menjadi sedemikian dan menjadikan kita negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada (2 kali lingkaran bumi)? Ada 2 negarawan besar yang berjasa luar biasa di belakangnya yang kebetulan keduanya orang Sunda.

Pertama namanya ada pada alinea kedua di atas, yakni Djuanda Kartawidjaja. Kedua adalah Mochtar Kusumaatmadja (MK), penggagas wawasan nusantara dan “pahlawan ZEE”.

Beda kedua orang besar ini adalah Djuanda tidak sempat mengetahui bahwa PBB kemudian menerima Deklarasi Djuanda dan menetapkannya dalam konvensi hukum laut PBB III Tahun 1982 (United Nations Convention on The Law of The Sea/UNCLOS 1982).

Indonesia selanjutnya mengesahkan UNCLOS 1982 dengan UU No. 17 Tahun 1985.  Hampir 19 tahun sebelum UNCLOS 1982 ditandatangani 10 Desember 1982,  7 November 1963 Djuanda dipanggil Tuhan.

Bila Djuanda tidak mengetahui pengakuan PBB atas perjuangannya, Mochtar, “pejuang ZEE” yang gigih dan tidak, kenal lelah itu, sebagai Menlu waktu itu, pada 21 Maret 1980 mengumumkan sendiri hak eksklusif Indonesia atas ZEE Indonesia.

ZEE adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan UU 4/1960 tentang Perairan Indonesia, yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.

Menurut BIG dan Pushidros, luas ZEE kita 3 juta km persegi (hampir 1,6 kali luas daratan kita).

Di ZEE, Indonesia antara lain mempunyai dan melaksanakan hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan nonhayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya, dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus, dan angin.

Wawasan Nusantara (WN)


Seperti disebutkan, penggagas WN adalah MK. WN adalah cara pandang bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa, dan wilayah NKRI yang meliputi darat, laut, dan udara di atasnya. Berdasarkan konsep WN, fokus kita tidak hanya pada pembangunan daratan, termasuk pada pembangunan pertahanan kita yang hingga kini pendulumnya lebih berat ke darat.  Mengacu pada WN, kita tidak lagi memandang laut sebagai pemisah, tetapi penyatu daratan.

Dalam konteks di atas, pembatalan pembangunan jembatan Selat Sunda yang menghubungkan pulau Sumatera dan Jawa oleh Presiden Jokowi sudah berada di jalur yang benar.  Logisnya pembatalan ini membahagiakan hati MK.

Meskipun demikian, ada sejumlah sisi yang membuat beliau sedih.  Hingga meninggal 6 Juni 2021, Mochtar belum sempat menyaksikan betul buah manis dari perjuangan beliau yang bisa dinikmati oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Penulis memastikan almarhum sempat berbahagia melihat perubahan cara pandang negara terhadap laut yang tampak dari pembentukan kementerian yang mengurus kelautan dan perikanan.  

Soekarno, pada Kabinet Kerja IV, Dwikora I, Dwikora II, dan Dwikora III (1964-1966) membentuk kementerian keluatan dan perikanan.  Gus Dur kemudian meneruskan kebijakan ini.  Bahkan Gus Dur mengangkat adik beliau Sarwono Kusumaatmadja sebagai Menteri KKP.  

Menurut hemat Penulis, di saat UU 3/Pertahanan Negara belum lahir, pengangkatan Laksamana TNI Widodo Adi Sutjipto sebagai panglima TNI dari matra laut tidak terlepas dari perubahan cara pandang negara ini.  UU Nomor 3 Tahun 2002 ini memungkinkan panglima TNI dapat dijabat secara bergiliran antarmatra sehingga tidak lagi seperti di masa Orde Baru selalu dijabat oleh perwira tinggi AD.

Beliau pasti juga berbahagia karena sempat mengetahui perairan kita yang tadinya disebut sebagai bagian dari Laut China Selatan lewat perjuangan Menko Maritim pada 2016 berganti nama menjadi Laut Natuna Utara dengan spirit dan ide besar untuk menjaga kedaulatan Indonesia.

Memang ada spekulasi, pelengseran Rizal Ramli, selain karena keinginan pejabat tertentu plus oligarki di belakangnya, juga terjadi lantaran Tiongkok keberatan.  Itu kemudian tampak dari protes Tiongkok melalui juru bicara Kemenlu Tiongkok Geng Shuan atas perubahan nama itu.  Mochtar tentu bersedih bila spekulasi ini benar, sama sedihnya karena mengetahui kita masih mengimpor garam dan tepung ikan dan udang.

Sama seperti penulis, beliau pasti sempat bersemangat kala Presiden Jokowi bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan membentuk satu kementerian koordinator (Kemenko) yang bernama Kemenko Kemaritiman dan Sumber Daya.

Penulis tidak berani berspekulasi apakah beliau sempat merasa sedih dan tidak nyaman begitu Kemenko ini dan Kementerian KKP dipimpin oleh pejabat yang sekarang yang mungkin masih lekat dengan cara pandang yang lama.

Dari definisi WN, ada kata penting yang harus dijadikan titik perhatian utama, yakni “cara pandang”.  Cara pandang orang yang berwawasan nusantara tampak dari wawasannya yang luas, toleran, dan egaliter.  

Ketiga ciri ini melekat pada orang pesisir,  Ciri yang terakhir tampak jelas pada personil AL.  Di kapal perang, tidak ada bedanya kelas prajurit dan perwira.  Jangankan personil AL, para transmigran dari berbagai daerah berbeda yang diberangkatkan dengan kapal laut bahkan menumbuhkan perasaan senasib sampai mereka menyebut kekerabatan baru mereka dengan istilah “saudara sekapal”.

Menariknya, sekalipun nelayan dan personil AL berada lama di laut mereka tetap ingin mendarat.  Mungkin inilah yang menyebabkan pasukan marinir, agar tidak lupa daratan, mengikuti sebutan pangkat yang dipakai oleh saudaranya di AD.  
Sebagai penutup, dalam waktu dekat, kita bisa melihat apakah Presiden Jokowi konsisten dengan visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dari dua hal yang relatif sederhana ini: pembiaran provokasi Tiongkok di Laut Natuna Utara dan pengangkatan Panglima TNI. Mari kita tunggu.

Sekadar catatan, di periode kedua pemerintahannya, Presiden Jokowi telah mengangkat LBP sebagai menko bidang kemaritiman dan investasi, Prabowo Menhan (keduanya pensiunan AD), dan Edhy Prabowo sebagai Menteri KKP (yang kemudian berlanjut ke Wahyu Trenggono). rmol news logo article

Penulis adalah dosen Universitas Katolik Santo Thomas

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA