Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

AUKUS dan Prospek Keamanan Indo-Pasifik

Oleh: Mohamad Rosyidin

Minggu, 19 September 2021, 11:20 WIB
AUKUS dan Prospek Keamanan Indo-Pasifik
Ilustrasi/Net
15 September 2021 lalu, tiga negara yaitu AS, Inggris, dan Australia menyepakati sebuah pakta pertahanan baru yang dinamakan AUKUS, akronim dari Australia, Inggris, dan AS. Gedung Putih merilis pernyataan ketiga negara bahwa disepakatinya aliansi itu dimaksudkan untuk “menghadapi tantangan abad-21.” Meskipun tidak secara eksplisit menyebut “ancaman China,” kesepakatan trilateral tersebut diklaim banyak kalangan ditujukan untuk mengurangi pengaruh China di kawasan Indo-Pasifik.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Salah satu poin kontroversial kesepakatan itu adalah mendukung Australia mendapatkan teknologi kapal selam bertenaga nuklir. Dikatakan bahwa ketiga negara akan bekerjasama mengembangkan dan membangun kapal selam itu dalam jangka waktu 18 bulan.
 
Hal ini memicu reaksi keras dari sejumlah negara. Bahkan, Perancis sebagai sekutu Barat pun memprotes kesepakatan itu karena merasa tidak dilibatkan. Tiongkok jelas yang paling keras mengecam AUKUS. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan AUKUS sama sekali “tidak bertanggungjawab” dan “sangat mengganggu perdamaian dan stabilitas regional, memicu persaingan senjata, dan merusak perjanjian non-proliferasi” (Republika, 2021).

Pernyataan China ini juga diafirmasi pemerintah Indonesia. Di akun Twitter resminya, Kementerian Luar Negeri menyatakan, “Indonesia sangat prihatin atas terus berlanjutnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan.” Melihat dinamika keamanan kawasan yang tampak begitu tegang, muncul beberapa pertanyaan; apakah perlombaan senjata benar-benar sedang berlangsung di Indo-Pasifik? Mengapa ketegangan ini terjadi? Bagaimana cara mencegah dunia tidak jatuh pada konflik yang dapat berujung pada perang? Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Perlombaan senjata atau dinamika persenjataan?

Salah satu isu yang mengemuka di balik pembentukan aliansi trilateral AUKUS adalah kekhawatiran banyak negara terhadap perlombaan senjata di kawasan. Kekhawatiran ini masuk akal. Sejarah mencatat, fenomena perlombaan senjata berpeluang besar mengarah pada peperangan. Hal ini terjadi karena sindrom “dilema keamanan” (security dilemma) dimana negara selalu merasa tidak aman karena melihat negara lain memperkuat militernya.

Namun, kita perlu berhati-hati menggunakan istilah. Di tataran keilmuan maupun praktis, istilah perlombaan senjata (arms race) kerap dipakai secara serampangan. Istilah ini mengacu pada kondisi dimana negara-negara saling memperkuat militernya supaya menjadi yang terunggul. Keunggulan ini penting karena menentukan tingkat kerawanan suatu negara terhadap ancaman dan atau serangan negara lawan. Semakin kuat militernya, semakin aman negara itu. Karena itu wajar apabila negara tak ingin disaingi militernya oleh negara lain.

Untuk bisa disebut sebagai perlombaan senjata, ada empat syarat yang harus dipenuhi. Pertama, kedua pihak berada pada suatu hubungan yang antagonistik atau bermusuhan. Kedua, kedua pihak memperkuat persenjataan untuk tujuan ofensif atau minimal menakut-nakuti lawan (efek deterens). Ketiga, kedua pihak bersaing meningkatkan kualitas dan kuantitas persenjataan. Keempat, ada tren peningkatan yang sangat tajam baik dalam aspek kualitas maupun kuantitas (Gray, 1971:41).

Grant Hammond dalam bukunya Plowshares Into Swords: Arms Races in International Politics menyebutkan beberapa karakteristik perlombaan senjata. Pertama, perlombaan senjata terjadi pada hubungan yang bersifat bilateral. Kedua, kedua pihak memandang satu sama lain sebagai musuh. Ketiga, permusuhan kedua pihak sangat intens. Ketiga, peningkatan persenjataan dilakukan sebagai respons atas peningkatan persenjatan pihak musuh. Keempat, tren peningkatan yang sangat signifikan pada anggaran pertahanan dan belanja persenjataan. Kelima, dimaksudkan untuk mendominasi pihak lain melalui intimidasi (Hammond, 1993:31).

Kalau dicermati, peningkatan sistem persenjataan Australia dengan membangun kapal selam bertenaga nuklir sama sekali tidak bisa dikategorikan sebagai perlombaan senjata. Ada sejumlah alasan dengan mengacu pada indikator dari para ahli di atas. Pertama, Australia tidak berada pada posisi bermusuhan dengan China. Kedua negara memiliki ketergantungan ekonomi yang sangat tinggi. China adalah mitra dagang terbesar nomor satu bagi Australia. Meskipun dari sisi politik keduanya kerap berseberangan, bukan berarti hal itu membuat keduanya terlibat dalam hubungan yang antagonistik. Dengan kata lain, kedua pihak tidak memandang satu sama lain sebagai musuh. Kedua, kapal selam nuklir itu tidak dimaksudkan untuk tujuan ofensif. Presiden AS Joe Biden mengatakan kapal selam itu nantinya tidak dilengkapi senjata nuklir, hanya bertenaga nuklir. Ketiga, tidak ada indikasi ada peningkatan besar-besaran dalam hal persenjataan antara Australia dan China.

Kalau bukan perlombaan senjata, lantas apa konsep yang paling tepat untuk menggambarkan situasi tersebut? Kebijakan AUKUS melengkapi Australia dengan kapal selam bertenaga nuklir bisa dikategorikan sebagai dinamika persenjataan (arms dynamic). Istilah ini diartikan sebagai kebijakan suatu negara meningkatkan kualitas dan kuantitas persenjataannya. Artinya, negara berupaya mendapatkan teknologi persenjataan termutakhir untuk melengkapi maupun mengganti persenjataan yang sudah ada. Istilah ini serupa dengan modernisasi militer dimana negara ingin memperbarui postur pertahanannya dengan cara memutakhirkan sistem persenjataannya. Kontras dengan perlombaan senjata, dinamika persenjataan tidak dimaksudkan untuk menyerang maupun menakut-nakuti negara lain melainkan menjamin keamanannya sendiri atau kebijakan mempertahankan status quo (Buzan and Herring, 1998).

Memulihkan hegemoni AS

Tujuan Australia membangun kapal selam bertenaga nuklir sebetulnya tak lepas dari ambisi AS memulihkan hegemoninya di kawasan Indo-Pacific. Jadi, AS lah yang paling berkepentingan dalam kesepakatan trilateral AUKUS tersebut. Australia di sini berperan sebagai sekutu yang loyal. Ini bukan pengalaman baru bagi Australia. Di era Perang Dingin, Australia pernah tergabung dalam ANZUS yaitu aliansi keamanan beranggotakan Australia, Selandia Baru, dan AS. Bedanya, jika ANZUS dimaksudkan untuk membendung pengaruh Uni Soviet, maka AUKUS dialamatkan kepada China.

Karena itu, AUKUS ini sebetulnya bagian dari strategi AS membendung pengaruh China dengan memperkuat sekutunya di kawasan (Australia). Para ahli hubungan internasional menamakan strategi ini dengan offshore balancing, yaitu mendukung negara kuat di kawasan untuk mengimbangi ancaman musuh (Mearsheimer, 2001). Keuntungan dari strategi ini adalah AS tidak perlu berhadapan secara vis a vis dengan China yang dapat memicu konfrontasi langsung. Dengan memperkuat postur militer Australia, negara itu memainkan peran sebagai offshore balancer bagi AS.

Upaya mengimbangi kekuasaan China di Indo-Pasifik merupakan salah satu agenda prioritas kebijakan luar negeri AS di bawah Joe Biden. Di era Trump, AS menarik diri dari kesepakatan multilateral dan berfokus pada isu domestik. Biden menilai orientasi kebijakan luar negeri Trump ini mengurangi pengaruh AS di dunia. Ketika Biden menjadi presiden November 2020 lalu, ia mengusung visi memulihkan status AS sebagai hegemon global. Latar belakangnya sebagai seorang demokrat memungkinkan kebijakan luar negeri Biden dipengaruhi pemikiran liberal-internasionalisme dimana mempromosikan demokrasi dan memperkuat aliansi antarnegara demokrasi adalah agenda utama (Rosyidin, 2020).

Strategi mengimbangi ancaman China melalui AUKUS mencerminkan pendekatan klasik negara-negara Barat ketika menghadapi kekuatan regional yang sedang bangkit. Benar seperti dikatakan Henry Wang, pakar dari Center for China and Globalization, yang mengatakan bahwa AUKUS merupakan wujud dari mentalitas Perang Dingin. Barat selalu mempersepsi China sebagai ancaman dan sumber ketidakstabilan global. Lihat misalnya kajian Departemen Luar Negeri AS tahun 2020 yang secara eksplisit menyebut China sebagai sumber ancaman global karena sikap hegemoniknya (US Department of State, 2020).

Sikap agresif China di Laut China Selatan tampaknya mendukung klaim Barat tentang hegemoni China. Namun, dalam konteks konflik di Laut China Selatan, akar masalahnya sangatlah rumit. Di satu sisi, kebijakan asertif China di kawasan itu dengan membangun pangkalan militer dan melewati batas teritorial negara lain seperti di perairan Natuna tidak bisa dibenarkan. Namun, di sisi lain respons berlebihan yang justru memperkeruh suasana juga kontraproduktif.

Di samping itu, memahami karakter kebijakan luar negeri China juga penting. Agresifitas China di kawasan memang mengkhawatirkan semua negara, tetapi bukan berarti mengarah pada perang. Berbeda dengan negara-negara Barat yang jauh lebih sering berperang (misalnya di Afganistan, Irak, Libya, dan tempat-tempat lain), China sama sekali belum pernah mengirimkan militernya untuk misi tempur ke negara lain.

Barat semestinya memahami hal ini. Masalahnya, Barat terlalu keras kepala dengan pendiriannya sendiri. Tak heran muncul lah skenario perang masa depan antara AS dan China seperti tergambar dalam buku Graham T. Allison Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap (2017). Alih-alih mengabadikan persepsi ancaman terhadap China, AS seharusnya bisa mengubah gaya diplomasinya dengan menginisiasi dialog damai atau rapprochement alih-alih konfrontasi seperti pernah dilakukannya pada puncak Perang Dingin di era Presiden Richard Nixon. Jika AS mau mengubah pendekatannya terhadap China, dinamika keamanan di kawasan Indo-Pasifik tentu akan berbeda cerita. rmol news logo article

*Dosen di Departemen Hubungan Internasional Universitas Diponegoro

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA