Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Negara Harus Hadir Melindungi Kedaulatan Data Pribadi Warga Negara

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/maneger-nasution-5'>MANEGER NASUTION</a>
OLEH: MANEGER NASUTION
  • Minggu, 05 September 2021, 10:51 WIB
Negara Harus Hadir Melindungi Kedaulatan Data Pribadi Warga Negara
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI, Maneger Nasution/Net
SEPERTI diketahui NIK (Nomor Induk Kependudukan) Presiden Joko Widodo bocor ke publik hingga tersebar luas di media sosial. Data Jokowi ini diduga berasal dari surat keterangan vaksinasi Covid-19 yang berasal dari aplikasi PeduliLindungi milik pemerintah.

Terkait dengan kebocoran data pribadi Presiden, pemerintah dinilai teledor. Publik heran bagaimana bisa data pribadi seorang presiden bisa bocor. Sistem perlindungan data pribadi warga negara memang sangat lemah. Milik Presiden saja bobol. Peristiwa ini sebagai syiar ketakutan publik. Kedaulatan data pribadi warga negara terancam.

Seperti dipahami, Cyberspace atau dunia maya adalah tempat virtual atau media yang menyediakan penggunanya untuk melakukan hal-hal seperti berbagi informasi, bermain game, berkomunikasi, melaksanakan transaksi jual beli dan banyak aktivitas lainnya.

Dalam dunia maya ini, kita sebagai pengguna dapat melaksakan apapun selama hal tersebut masih terkait dengan dunia virtual.

Dalam dunia maya ini meski bebas, kita memiliki “kartu identifikasi” masing masing, mirip seperti bagaimana dalam dunia nyata teradapatnya KTP.

“Kartu identifikasi” yang disebut tadi adalah IP atau internet protokol, dan IP berfungsi sebagai pembedaan pengguna internet satu sama pengguna lainnya.

Tetapi tidak jarang jika kita ingin mengakses sebuah website, kita harus mengisi atau mendaftarkan diri dengan data pribadi kita seperti nama lengkap, tempat tanggal lahir, nomor telepon meski websitenya sudah mengetahui IP kita.

Dengan banyaknya website yang harus mendaftarkan data pribadi kita, tidak jarang data data tersebut tersebar kepada umum karena keamanan website-nya kurang bagus sehingga terbobol ataupun karena dijual oleh websitenya kepada iklan.

Seperti jika kita sedang mencari sebuah produk di website olshop (online shopping) dan setelah itu pindah ke website lain yang memiliki iklan. Iklan tersebut akan merekomendasikan produk tersebut untuk dijual dan bisa terlihat bagaimana itu bisa menjadi masalah bagi seseorang yang ingin menjaga privasinya.

Tetapi karena banyaknya website yang meminta daftar pribadi meski sekedar email, hal tersebut menjadi umum. Sehingga mayoritas orang tidak akan berpikir dua kali mengisi data pribadinya dalam website.

Hal itu justru berbahaya karena jika data pribadinya terbuka untuk umum, seorang dapat mengetahui nama, alamat, nomor telpon, e-mail dan lain lainnya. Sehingga seorang hacker dapat mengakseskan misal akun instagram kita atau bahkan kartu atm kita sehingga terjadinya Cybercrime.

Dengan demikian sangat jelas terlihat mengapa data pribadi warga negara sangat penting untuk dilindungi dan hak atas privasi setiap warga negara harus dipertegaskan.

Karena itu, Rancangan UU tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) menjadi sebuah keniscayaan dan mendesak untuk lebih memastikan data pribadi warga negara Indonesia terhadap privasi dan perlindungannya.

Meskipun publik dikabari bahwa ada dua masalah yang masih harus diselesaikan soal RUU PDT tersebut, yaitu soal harmonisasi dengan Dukcapil Kemendagri, karena masalah sinkronisasi beberapa hal mengenai data pribadi yang ada di UU Aminduk dan RUU PDP, masih terus diusahakan penyelesaiannya serta soal hukuman bila ada yang melanggar peraturan tersebut.

Sebagai sebuah hak yang melekat pada diri pribadi, perdebatan mengenai pentingnya perlindungan terhadap hak atas privasi seseorang mula‐mula mengemuka dalam putusan‐putusan pengadilan di Inggris dan kemudian di Amerika Serikat.

Kemudian berdasarkan konsepsi hukum hak atas privasi oleh Warren dan Brandeis, William L. Prosser, dalam “The Right to Privacy” secara sederhana mendefinisikan hak atas privasi sebagai “hak untuk dibiarkan sendiri” (the right to be let alone).

Definisi tersebut didasarkan pada dua area: (1) kehormatan pribadi; dan (2) nilai‐nilai seperti martabat individu, otonomi dan kemandirian pribadi.

Gagasan ini kemudian mendapatkan justifikasi dan pengakuan dengan adanya beberapa gugatan hukum yang kemudian memberikan pembenaran tentang perlunya perlindungan hak atas privasi, terutama dengan sandaran alasan moralitas.

Melanjutkan konsep yang dibangun oleh Warren dan Brandeis, William L. Prosser (1960) mencoba mendetailkan cakupan ruang lingkup dari hak privasi seseorang, dengan merujuk setidaknya pada empat bentuk gangguan terhadap diri pribadi seseorang, yakni: (1) Gangguan terhadap tindakan seseorang mengasingkan diri atau menyendiri, atau gangguan terhadap relasi pribadinya, (2) Pengungkapan fakta‐fakta pribadi yang memalukan secara publik, (3) Publisitas yang menempatkan seseorang secara keliru di hadapan publik, dan (4) Penguasaan tanpa izin atas kemiripan seseorang untuk keuntungan orang lain.

Mencermati kembali tentang argumentasi-argumentasi dari contoh-contoh peristiwa di atas, pertanyaan mengenai apakah RUU PDT seharusnya segera disahkan guna terlindunginya data pribadi dan privasi warga negara Indonesia.

Bila UU ITE disahkan atas dasar kesadaran maraknya kejahatan pada dunia cyber, maka UU PDT harus disahkan sesegera mungkin atas kesadaran yang sama atau bahkan lebih mendesak lagi. Karena pada dasarnya data pribadi adalah identitas diri, yang keberadaanya merupakan hak konstitusional warga negara.

Ketidakteraturan mengenai hal tersebut menyebabkan kerugian bagi warga negara yang hak terhadap privasinya dilangkahi oleh pihak yang menyimpan data pribadinya. Untuk itu negara harus hadir melindungi demi kedaulatan data pribadi warga negara. rmol news logo article

Penulis adalah Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA