Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Duo Konghucu, Merdeka

Jumat, 13 Agustus 2021, 09:23 WIB
KETIKA tanggal 16 Augustus, beberapa tamu yang telah tinggal dirumah tersebut dengan tergesa-gesa beranjak pergi setelah hanya sekitar kurang dari 24 jam saja mereka menetap. Para tamu tersebut sedang sangat serius mendiskusikan dan mencari jalan keluar bagaimana Indonesia segera merdeka.

Rumah tersebut ialah rumah Djiaw Kie Siong di tepi sungai Citarum, Rengasdengklok, Jawa Barat.

Rumah Djiauw menjadi saksi sejarah, sejumlah pemuda berani bersama pasukan pembela kemerdekaan Indonesia pernah "menculik" Bung Karno dan Bung Hatta disana.

Waktu itu Bung Karni juga membawa Fatmawati dan Guntur yang masih bayi. Menurut kenangan Fatmawati rumah tersebut memiliki halamn yng cukup luas yang dipenuhi kotoran Babi, Keluarga Djiauw memelihara Babi dan hewan ternak lainnya. Awalnya Bung Karno dan Bung Hatta bukan tinggal di rumah Djiauw namun dikarenakan ada Guntur yang masih bayi maka akhirnya rumah Djiauw dipilih untuk mendapatkan ventilasi yang lebih baik.

Diauw seorang penganut Khonghucu yang masih memegang teguh tradisi leluhurnya yang sangat kuat. Leluhurnya orang Hakka dari Guangdong. Keluarganya sebagai pedagang peti mati dan pasir. Djiauw dikenal suka menolong oleh warga setempat. Maka ketika Bung Karno dan Bung Hatta diculik para pemuda pemberani, mereka dengan mudahnya meminta bantuan Djiauw untuk menitipkan Bung Karno dan Bung Hatta.

Sejarah berdirinya Republik ini ditandai dengan peran penting yang dimainkan oleh orang-orang besar maupun kecil dari berbagai suku, agama dan golongan. Selain Djiauw ada Liem Koen Hian yang juga meripakan aktivis Khonghucu dari Surabaya adalah berperan sebagai Penyelidik Pekerjaan Persiapan Kemerdekaan dan Yap Tjwan Bing, yang merupakan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Peran mereka tidak kecil, dan terkadang penuh ironi.  Misalnya, Liem Korn Hian yang konsisten mendesak agar konstitusi menjamin hak etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia untuk dapat otomatis diakui sebagai warga negara asli.  Usulannya ditolak.  Dikenal dekat dan dituduh komunis, ia ditangkap tanpa proses hukum yang jelas dan kemudian Liem yang begitu mencintai Indonesia akhirnya terpaksa karena kecewa menjadi warga negara Tiongkok hingga akhir hayatnya.

Sejarah Indonesia pada masa Orde Baru banyak dipenuhi ketidakjujuran dan keterbukaan tentang peran yang dimainkan oleh teman-teman etnis Tionghoa ataupun orang yang tidak sepaham dengan pemerintah pada saat itu. Pada masa Orde Baru, kontribusi para pejuang Tionghoa dibatasi, bahkan dicoret dari buku pelajaran.  Sangat disesalkan bahwa peran para pejuang kemerdekaan Indonesia dari etnis Tionghoa terhapus dari literatur sejarah resmi.

Menurut laporan Tempo Buku-buku pelajaran yang diterbitkan pada tahun 1975 menyatakan bahwa badan yang mempersiapkan kemerdekaan itu terdiri hanya dari seorang ketua, dua wakil dan 60 anggota, termasuk empat perwakilan dari komunitas ras campuran etnis Tionghoa, Arab, dan Belanda.  Namun, ungkapan kata-kata "Tionghoa" telah menghilang pada buku-buku yang diterbitkan pada tahun 1993.

Kontribusi teman-teman Tionghoa pada awal kemerdekaan juga teman-teman dari etnik Arab dan keturunan campuran Indonesia dan Belanda menjadi indikator nyata bahwa Indonesia tidak didirikan oleh satu suku, atau anggota satu suku atau satu agama saja.  Indonesia adalah merupakan hasil kesepakatan banyak orang dari berbagai latar belakang yang berbeda.

Sejak awal, Indonesia merupakan negara bangsa yang dibangun bukan atas dasar kesamaan etnis, golongan dan agama, hal ini membuktikan betapa tidak relevannya politik identitas yang masih dimunculkan. Betapa memalukan sekali jika ini terus terjadi di bumi Indonesia tercinta.

Seluruh elemen bangsa harus terus mengawal keberagaman ini. Upaya yang menghancurkan kebhinnekaan kita harus menjadi musuh bersama bagi Indonesia. Kebhinnekaan perlu dipraktikkan dalam setiap aspek kehidupan, tanpa terkecuali. Karena ialah fondasi utama Indonesia. Itulah kenapa Sang Garuda kedua kakinya mencengkeram pita Bhinneka Tunggal Ika.

Jika pondasi untuk cengkraman tersebut rusak, patah maka bukan tidak mungkin Sang Garuda yang dalam hal ini sebagai simbol Indonesia akan tumbang tanpa fondasi yang kuat di atas Bhinneka Tunggal Ika. Tentunya kita semua patut merenungkan itu secara jujur dan terbuka. Merdeka! rmol news logo article

Js.Kristan
Intelektual Muda Khonghucu, Wakil Ketua Umum DPP KNPI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA