Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kategori Hukum yang Cacat dan Tata Cara Mengatasinya

Kamis, 29 Juli 2021, 02:06 WIB
Kategori Hukum yang Cacat dan Tata Cara Mengatasinya
Ilustrasi/Net
BAGI Gustav Radbruch hukum positif atau hukum tertulis, yang penegakannya dijamin oleh undang-undang dan kekuasaan, haruslah didahulukan bahkan ketika isi hukum itu dirasa tidak adil dan gagal menguntungkan rakyat.

Akan tetapi, menurut Radbruch, apabila konflik yang terjadi antara undang-undang dan keadilan memang telah mencapai tingkat yang tidak dapat ditoleransi lagi maka undang-undang macam itu laik disebut sebagai "hukum yang cacat".

Dan hukum yang cacat, ditegaskan oleh Radbruch, mau tidak mau harus dikalahkan. Penegak hukum harus lebih mendahulukan kepentingan keadilan daripada "hukum yang cacat".

Ciri Hukum yang Cacat

Hukum yang cacat setidaknya, merujuk pada ungkapan Radbruch, terdiri dari dua ciri. Ciri pertama adalah hukum itu menimbulkan konflik. Ciri kedua adalah konflik itu muncul karena adanya ketidakadilan yang sangat ekstrem.

Konflik

Konflik diartikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Hukum Positif, atau berdasarkan definisi dari Permen ATR/BPN 21/2020, mendefinisikan konflik sebagai perselisihan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.

Dari rumusan di atas, kita bisa menyimpulkan jika tidak semua hukum yang menimbulkan konflik lantas disebut "hukum yang cacat". Konflik juga bisa muncul karena adanya ketidaksamaan dalam memahami aturan hukum, ketidaksetujuan terhadap mekanisme penegakan hukum, ataupun juga ketidakpuasan dalam menerima putusan pengadilan.

Ketidaksepahaman aturan hukum bisa muncul karena adanya friksi antara budaya hukum masyarakat dan hukum modern.

Masyarakat tradisional kita ketahui cenderung kompromis, cepat, dan jelas. Sedangkan aturan hukum modern lebih teknis atau sangat sistematis, prosedural, dan objektif. Hal ini lantas berpengaruh pada pola penegakan hukum yang dikehendaki. Masyarakat, dalam menyelesaikan persoalan, menghendaki musyawarah.

Sementara penegak hukum lebih menghendaki untuk menyelesaikan masalah berdasarkan pembuktian melalui hukum acara yang rujukan putusannya terdapat pada undang-undang yang diduga dilanggar.

Akibat yang muncul dari perbedaan yang amat mencolok itu adalah perasaan yang selalu merasa tidak puas. Masyarakat kemudian mengatakan "hukum tidak adil", "hukum terlalu kejam", "hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas" dan narasi lain yang serupa.

Konflik yang dimaksud, atau yang bisa menyebabkan "hukum yang cacat", bukanlah konflik akibat perbedaan pemahaman hukum yang bermuara pada ketidakpuasan. Bukan pula konflik penegak hukum dengan warga.

Konflik yang bisa menyebabkan "hukum yang cacat" adalah konflik gagasan antara norma dan keadilan. Konflik yang muncul oleh sebab adanya jarak yang begitu jauh antara norma dan keadilan. Jika demikian adanya, atau adanya norma yang sangat jauh dari keadilan, maka bagi Radbruch disitulah kita bisa melakukan penilaian terkait "hukum yang cacat".

Kita bisa mencontohkan konflik norma dan keadilan yang begitu ekstrem pada Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Inpres itu diketahui memberikan batasan kepada etnis Tionghoa yang hendak merayakan pesta agama atau adat istiadat. Mereka, warga Tionghoa, diminta agar tidak melakukan perayaan yang mencolok di depan umum.

Norma itu tentu bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama. Di mana pada waktu itu UUD 1945 mengatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Inpres tadi, yang diketahui masuk kategori "hukum yang cacat", akhirnya dicabut dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000 di bawah era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid.

Ketidakadilan

Perbedaan yang mencolok antara norma dan keadilan tidak selalu dinilai sebagai ketidakadilan. Ada beberapa keadaan yang menyebabkan hal itu terjadi namun hukum itu tetap layak atau tidak bisa dikatakan cacat.

Kita bisa mengambil contoh semisal adanya aturan mengenai PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Aturan itu tentu secara terang melanggar beberapa pasal yang ada di dalam UUD 1945.

Pelanggaran yang dilakukan pemerintah terkait PSBB tetap dinilai sah secara hukum karena syarat utama yang dikehendaki terpenuhi, yakni syarat adanya keadaan yang darurat. Hak berserikat dan berkumpul, hak memperoleh penghasilan, hak pendidikan, bisa ditangguhkan sementara karena negara berpandangan "salus populi suprema lex est" atau keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Artinya ketidakadilan yang bisa mengakibatkan cacatnya hukum bukanlah ketidakadilan yang memiliki sebab atau berdasar. Ketidakadilan yang bisa mengakibatkan "hukum yang cacat" adalah ketidakadilan yang tak berdasar dan secara terang mengakibatkan perlakuan diskriminatif.

Ketidakadilan yang ekstrem itu bisa kita contohkan dalam ketidakadilan yang muncul akibat Pasal 61 UU Adminduk 2006 perihal identitas kepercayaan yang tidak dicatatkan dalam kolom agama. Tidak dicatatkannya identitas kepercayaan dalam kolom agama itu kemudian memunculkan satu peristiwa ketidakadilan yang ekstrem.

Ketidakadilan yang ekstrem itu pada akhirnya berakhir pada tanggal 7 November 2017. Mahkamah Konstitusi, sebagai sarana pengujian undang-undang di bawah UUD 1945, memutuskan mengabulkan gugatan yang dilakukan perwakilan penghayat kepercayaan.

Pembatasan hak a quo menurut Mahkamah justru menyebabkan munculnya perlakuan yang tidak adil terhadap warga negara penghayat kepercayaan.

Putusan Mahkamah tersebut menunjukan bahwa Pasal 61 UU Adminduk 2006 itu adalah "hukum yang cacat". Dikatakan cacat sebab tidak memenuhi alasan pembatasan hak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Tradisi Penyelesaian Hukum

Tradisi hukum tentu mempengaruhi bagaimana "hukum yang cacat" itu kemudian dieksekusi.

Tradisi Common Law kita ketahui memberikan hakim kewenangan yang luas. Oleh sebab itu dalam tradisi Common Law dikenal istilah judge made law, atau hakim membentuk hukum. Hakim yang ada pada tradisi Common Law lebih memungkinkan dapat mengeksekusi "hukum yang cacat" itu sendiri melalui judicial activism.

Berbeda dengan tradisi Common Law, tradisi Civil Law cenderung memisahkan mekanisme ketidaksetujuan akan aturan hukum itu pada ruang yang berbeda dengan peradilan biasa.

"Hukum yang cacat", bagi negara yang menganut tradisi hukum Civil Law, agar benar-benar dapat dikatakan cacat maka harus diuji materi terlebih dahulu melalui Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.

Jika proses itu dinilai tidak berhasil, maka tradisi Civil Law, utamanya di Indonesia, memberikan ruang kepada masyarakat untuk melakukan dorongan agar diadakan legislative review melalui mekanisme perubahan aturan.

Masyarakat juga bisa memberikan saran kepada presiden, selaku pemimpin eksekutif, untuk melakukan executive review melalui Perppu.

Indonesia sendiri adalah negara dengan tradisi hukum Civil Law. Dengan begitu mekanisme penyelesaian atas "hukum yang cacat" di Indonesia dilakukan dengan prosedur yang jelas berdasarkan ruang-ruang yang telah diamantkan oleh undang-undang. rmol news logo article

Bakhrul Amal

Pengajar ilmu Hukum Unusia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA