Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengapa Indonesia Gagal?

Senin, 26 Juli 2021, 16:08 WIB
Mengapa Indonesia Gagal?
Don Adam/Ist
TUJUH belas bulan sejak Covid-19 pertama kali ditemukan di Depok, jumlah kasus corona di Indonesia belum menunjukkan penurunan. Puncaknya pada 23 Juli 2021, di mana angka kematian sejumlah 1.566 jiwa dalam satu hari. Menjadi angka kematian tertinggi sepanjang sejarah penanganan pandemi Covid-19.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Dari grafik data yang ditampilkan oleh Kemenkes, kasus baru Covid-19 menunjukkan kenaikan eksponensial pada akhir Juni 2021. Menjelang PPKM berakhir, laju kasus baru Covid menunjukkan naik-turun di kisaran 50.000 kasus per hari.

Tren kasus baru dan angka kematian akibat Covid-19 yang cenderung terus bertambah di tengah-tengah testing dan tracing yang secara umum cenderung turun, membuat dunia International melalui berbagai media besar menilai Indonesia sebagai the New Epicenter of Covid-19.

Penilaian media Internasional tersebut berbasis data yang bisa dipantau secara realtime dari worldometer yang merupakan salah satu website penyedia Big Data Covid-19 di seluruh dunia.

Kathleen E. Allen, seorang Expertist Kepemimpinan asal California berpendapat, karakteristik kepemimpinan memiliki hubungan yang erat dengan penanganan krisis. Pendekatan kepemimpinan, pendekatan sains, dan kerjasama paripurna antarlembaga merupakan kunci sukses penanganan Pandemi.

Tesis Kathleen Allen jika dikaitkan ke dalam konteks penanganan pandemi di Indonesia akan membuat kita mengerti mengapa pandemi di Indonesia tak kunjung berakhir.

Bahkan saat ini infeksi Covid-19 lebih tinggi dibanding puncak pandemi tahun lalu yang kuat diduga akibat faktor kepemimpinan, pendekatan sains, dan sinergitas aparatus yang secara kumulatif kita temukan tidak terlihat di tengah-tengah pandemi Covid-19 ini

Kepemimpinan

Pemimpin yang kuat memiliki tiga karakteristik yaitu Integritas, Intelektualitas, dan Kewibawaan. Setidaknya tiga hal tersebut adalah watak paling elementer yang harus dimiliki oleh seorang Pemimpin.

Integritas adalah sikap jujur memiliki multiflier efek terhadap karakter seseorang. Konsistensi, kesatuan kata dan perbuatan serta berkomitmen adalah sikap yang terlahir dari sifat jujur. Seorang Pemimpin yang memiliki integritas akan mampu mendapatkan trust dari berbagai pihak yang berhubungan dengan dirinya.

Sedangkan Intelektualitas adalah cermin kecerdasan pemikiran yang kemudian seseorang menjadi berkompeten atau tidak, berkapasitas atau tidak ditentukan oleh kadar intelektualitas yang ia miliki.

Kewibawaan adalah orisinalitas yang hanya bisa melekat pada seseorang yang memiliki Integritas dan Intelektualitas. Seseorang hanya akan menjadi ditakuti ketika publik menilai bahwa dalam dirinya tidak memiliki kedua karakter di atas.

Jika diperkenankan untuk berkata jujur, maka ketiga karakteristik kepemimpinan di atas sangat sulit kita lihat berada dalam diri Pemimpin di Indonesia. Berkata kosong, inkonsisten dan tidak memiliki pendirian merupakan cermin Pemimpin yang tidak memiliki Integritas.

Tidak cerdas, penilaian tersebut berasal dari pemilihan kata-kata saat berbicara karena way of thinking seseorang memang menentukan apa yang ia keluarkan melalui lidah sebagai perpanjangan tangan pemikiran yang ada di kepalanya.

Pandemi merupakan peristiwa bersejarah dengan temuan-temuan baru yang mengharuskan seseorang Pemimpin memegang kendali untuk melakukan berbagai settlement.

Maka dibutuhkan seorang Pemimpin yang memiliki Integritas, Intelektualitas, dan Kewibawaan agar benar-benar bisa mengendalikan krisis yang sekarang telah berujung pada kehilangan puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu jiwa.

Jika tidak, pandemi akan menjadi bencana yang terus berlarut tanpa kepastian.

Pendekatan Sains

Lanskap pandemi di Indonesia menjadi sangat menyedihkan jika dibandingkan dengan negara-negara lain karena penanganan pandemi dipimpin oleh para politisi. Kita hanya menjumpai sedikit Saintis Kesehatan seperti Epidemiolog atau pakar Kesehatan lainnya berbicara memaparkan pandemi mewakili Pemerintah.

Para Saintis seharusnya menjadi tulang punggung dan garda terdepan mewakili pemerintah karena penyebaran penyakit menular merupakan  bidang Studi dan Konsentrasi Akademik yang dipelajari di berbagai Universitas.

Selain memiliki modal dasar keilmuan dalam mengatasi pandemi, Saintis akan lebih kredibel dalam menyelesaikan persoalan karena menggunakan data dan berbagai temuan secara objektif sesuai keilmuan mereka.

Sedangkan politisi memanfaatkan bahkan meng-engineer data untuk kepentingan politik, berdagang sampai dipergunakan untuk menutupi ketidakbecusan mereka.

Hal itu yang menyebabkan sering terjadi simpang siur kebijakan antar-Lembaga yang hampir kesemuanya dipegang oleh para politisi atau pebisnis yang di dalam top of mind public dikenal sebagai para pedagang.

Sinergitas

Sinergitas berbagai elemen dalam sebuah negara juga menjadi faktor penting penyelesaian krisis penyebaran penyakit menular ini. Sinergitas berbagai lapisan masyarakat khususnya antarlembaga Pemerintahan datang dari jiwa seorang pemimpin yang memiliki kewibawaan.

Dengan Integritas dan Intelektualitas yang dimiliki, ia merumuskan persoalan secara serius dengan berbagai komponen yang relevan untuk terlibat dalam penanganan krisis.

Selain noise dari para pejabat yang terkesan berjalan masing-masing tanpa komando, Pemerintah juga gagal membangun persekutuan dengan pihak yang selama ini melabel diri sebagai pihak oposisi.

Para pejabat tampil di muka publik dengan pernyataan-pernyataan sociopathic. Mereka melembaga sebagai kelompok echo chamber yang hanya ingin didengarkan tanpa mau mendengar keluhan dan kesakitan pihak di luar mereka.

Pemerintah gagal membangun persatuan, padahal persatuan adalah energi yang sangat besar untuk bersama-sama menyelesaikan pandemi yang sejak awal datang lalu berkembang biak akibat kesalahan dan kelalaian pemerintah itu sendiri.

Selain ketiga poin di atas, kegagalan pemerintah yang mengakibatkan jutaan manusia terinfeksi Corona, puluhan ribu jiwa menjadi korban beserta potensi korban yang masih mungkin akan bertambah adalah ketiadaan willingness dari pemerintah.

PPKM menjadi contoh bagaimana policy pemerintah tidak sesuai dengan roadmap penanganan pandemi. Memiliki Undang-Undang yang bagus tapi memilih cara sendiri yang tidak manusiawi dan tidak bertanggungjawab.

Percaya pandemi akan segera berakhir? rmol news logo article

Don Adam

Pemerhati Politik dari Don Adam Candradimuka Academy

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA