Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Berkaca Pada Kasus Singapura, Hati-hati Melonggarkan PPKM Di Tanah Air

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ilham-bintang-5'>ILHAM BINTANG</a>
OLEH: ILHAM BINTANG
  • Jumat, 23 Juli 2021, 09:37 WIB
Berkaca Pada Kasus Singapura, Hati-hati Melonggarkan PPKM Di Tanah Air
Wartawan senior Ilham Bintang/Net
DUA hari lagi batas waktu berakhirnya PPKM (Perberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat di Jawa dan Bali. Jika tak  ada aral melintang, mulai Senin (26/7) pemerintah akan berlakukan pelonggaran secara bertahap — kalau data kasus positif hari hari ini turun.

Tapi, data terbaru update hari Kamis ( 22/7) kasus positif di Tanah Air malah melonjak  lagi. Kasus Positif: 49.509. Yang wafat: 1.499 jiwa. Rekor kematian tertinggi dunia hari itu.

Sehingga total kasus positif di Tanah Air sejak pandemi: 3.033.339. Sembuh: 2.392.923. Wafat: 79.032 jiwa. Memprihatinkan. Jangan ada lagi pihak yang mereduksi  fakta yang memprihatinkan dengan membanding kasus di AS atau India.

Mengganti PPKM

Koordinator PPKM Darurat Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan, kemarin mengumumkan mengganti nama PPKM Darurat menjadi PPKM Level 3 dan PPKM Level 4. Seperti Ramen, yang punya level tingkat kepedasan sambelnya. Tidak dijelaskan alasan penggantian itu. Luhut, menyatakan itu perintah Presiden. Kabarnya ada kepala daerah yang mengusulkan PPKM Darurat Jawa-Bali (3-20 Juli) diganti karena terlalu menyeramkan. Rupanya mental kita belum siap hadapi kenyataan yang ada: memang mengerikan.

PPKM  Level 3 dan 4 efektif baru berlaku 26 Juli. Tapi itu tergantung naik atau tidak turun kasusnya.

Kita hanya mau mengingatkan sekali lagi: hati-hati. Melonggarkan PPKM Darurat dengan judul apapun, harus dipertimbangkan masak-masak. Perhitungannya harus cermat. Itu pesan Presiden Jokowi juga.

Belajarlah dari tetangga terdekat kita, Singapura. Baru satu hari memulai  pelonggaran 12 Juli, di hari itu meledak kasus positif dari klaster tempat hiburan KTV. Menurut data Kementerian Kesehatan Singapura, dari 56 kasus  hari itu, 40 kasus bersumber dari KTV.

“Mula-mula memang, hanya 40, lima hari lalu. Tapi kemarin sudah 172 orang,” kata Suryopratomo Dubes RI di Singapore  yang saya konfirmasi Rabu (21/7) lalu via WhatsApp.

Menurut Tommy, setelah kebijakan pengetatan (heightened alert) 16 Mei dan satu bulan pelaksanaan, kasusnya cenderung menurun, Pemerintah Singapura kembali melakukan pelonggaran. Restoran boleh dine-in dan bisa 5 orang makan di luar.

“Pada waktu heightened alert, semua kegiatan dine-in dan olahraga didalam ruangan ditutup itu dilarang,” sambung Dubes yang wartawan senior itu.

Pengetatan Fase 2 Singapura mulai Kamis 22 Juli sampai 18 Agustus. Tidak ada lagi kegiatan makan di restoran, hanya boleh dibawa pulang. Aktifitas out door dan tanpa masker terbatas 2 orang. Acara pernikahan, ibadah dan pertunjukan, bioskop dll maksimum 100 orang dengan pre event testing (PET) maksimum 50 orang.

Dianjurkan  kepada warga bekerja dari rumah. Pertemuan  sosial dan menerima tamu ke rumah maksimum 2 orang. Tempat atraksi seperti museum dan perpustakaan dengan kapasitas  25 persen.

Singapura pertama kali menerapkan “circuit breaker” (memantau pergerakan warga secara online) pada bulan April 2020 sampai bulan Juni 2021. Kiat itu efektif.

Setelah kasusnya bisa dikendalikan, mulai secara bertahap dilakukan pelonggaran. Juni anak- anak boleh sekolah tatap muka sampai pada 28 Desember. Warga pun boleh pergi makan di luar delapan orang.

Hampir 10 bulan terakhir di Singapura, kasus penularan di dalam komunitas sangat kecil. Sampai muncul kasus varian Delta pada 8 Mei 2021 dan dilakukan heightened alert kembali selama satu bulan.

Setelah itu, dilonggarkan lagi. Mulai 12 Juli. Momennya pas dimulainya penutupan  kunjungan warga Indonesia.

Lalu meledak  kasus KTV disusul di Tempat Penjualan Ikan Jurong, sehingga heightened alert kembali diterapkan selama satu bulan ke depan 22 Juli sampai 18 Agustus. Tampaknya, acara perayaan meriah  HUT Kemerdekaan Singapore 9 Agustus mendatang pun  temasuk yang akan “dikorbankan”.

Dikacaukan Satu Wanita

Boleh percaya  atau tidak. Kasus yang menimpa Singapura saat memulai pelonggaran, dikacaukan oleh hanya satu wanita dari Vietnam.

Seorang warga kita di Singapura, menceritakan  kisah wanita dari Vietnam itu kepada teman-temannya di IndonesIa. Wanita itu masuk di  Singapura sebagai turis. Diterima aparat Singapura karena di Vietnam Covid-19 relatif terkendali, kasus Covid19 hanya sedikit.

Maka sang wanita hanya  perlu dua hari karantina plus tes PCR. Hasil tesnya terdeteksi negatif. Ternyata, kelak terungkap wanita Vietnam hostess, bekerja di tempat prostitusi yang berkedok klab Karaoke ataubKTV.

Padahal, sejak Maret 2020 seluruh pub, club, karaoke, diskotek, bar, dan serumpunnya,  tidak boleh beroperasi sampai sekarang. Entah bagaimana polisi bisa  kebobolan. Tidak mengawasi daerah Joo Chiat di East, yang merupakan Vietnam Town di kota Singa itu.

Di daerah tersebut banyak Karaoke box, yang menyediakan hostess sebagai pemandu. Mereka menggalang pelanggan lewat aplikasi Telegram (semacam WhatsApp) supaya terhindar dari kontrol pemerintah.

Parahnya, wanita  Vietnam itu  bekerja sekaligus di berbagai  klab Karaoke. Setiap hari beredar  dari satu KTV ke KTV yang lain. Sepintas melihat wajahnya dari foto, wanita itu memang cantik. Tampaknya itu yang menjadi daya pikat bagi lelaki hidung belang bisa lepas “rante” di rumahnya.

Suatu hari wanita merasakan gejala panas tinggi. Dia pun  memeriksakan diri di klinik. Hasilnya, positif. Dari hasil testing dan tracing, diduga  wanita itu  sudah  terpapar virus varian baru, Delta, sejak di negerinya. Dia lah yang membawa virus varian baru itu masuk Singapore. Penyebarannya masif. Sudah menular kemana mana berdasarkan pengakuannya kepada petugas.

Wanita yang kini dirawat di RS membuka semua aktifitasnya selama  berada di Singapura, pergi ke mana, dan kontak dengan siapa saja. Sekitar 2.000 orang, diberitakan langsung memeriksakan diri secara hampir bersamaan.

Kita bisa membayangkan kehebohan yang terjadi di negeri yang luasnya cuma se DKI Jakarta dan penduduk sekitar 5,6 juta jiwa. Seperti halnya di negeri kita, kejadian itu juga ditimpali olok-olok oleh warganya sendiri.

“Kalau  terpapar virus di Singapura, Anda punya peluang sembuh 99,95 persen. Tapi kalau istri tahu Anda ikut  bersama wanita itu berkaraoke, peluang sembuh tinggal 0,05 persen,” bunyi salah satu meme. Polisi menyatakan akan mempidana semua yang terlibat mengoperasikan KTV ilegal itu.

"Nah! Salah satu dari 98 pria yang terpapar  virus, diketahui sempat pergi makan di food court di 313 hari Minggu, di tempat itu aku potong rambut. Bah!” tulis salah satu WNI di Singapura yang menyebarkan info itu secara berantai di WAG. Horor sekali.

Klaster Keluarga


Virus Covid-19 saat ini memang muncul dengan berbagai varian baru. Menurut para ahli, setelah bermutasi, virus yang ukurannya sepermiliar meter, semakin ringan. Bisa terbang dan bertahan hidup 16 jam di udara (aerosol). Kecepatannya pun dahsyat, hanya butuh waktu 5-10 detik untuk mencapai inangnya di tubuh manusia. Awal-awal, virus perlu waktu 15 menit menularkan manusia di ruang tertutup. Virus varian baru sangat jahat. Ganas dan ugal-ugalan.

Sudah lebih sebulan ini merepotkan umat sedunia. Kecuali China. Negara-negara di luar itu, diobrak abrik. Negara adi daya seperti AS frustrasi padahal sudah pernah merasa menang karena mengandalkan vaksin. Demikian dengan Australia dan negara-negara di Asia.

Yang palling tahu diri Selandia Baru. Meski sudah 6 bulan merasakan hidup normal, tetapi tetap waspada dengan adanya varian baru. Di sana pun ada kasus satu-dua orang setiap hari. Dibawa warganya yang baru pulang dari luar negeri. Pemerintah Selandia Baru tetap melanjutkan penutupan negaranya hingga 18 bulan ke depan. Padahal, total kasus positif di sana selama 17 bulan pandemi, “hanya” 2.600 orang dan wafat 26 jiwa.

“Pemerintah di sini  tak mau ambil resiko mempertaruhkan keselamatan jiwa rakyatnya,” kata Tantowi Yahya, Dubes RI untuk Selandia Baru.

Virus Covid-19 varian baru ini seperti punya mata dan mata- mata. Sensifitasnya tinggi. Seakan tahun siapa yang meremehkan, yang merasa jumawa menghadapinya, dihajar tanpa tedeng aling-aling.

Kita sendiri merasakan sekarang. Varian baru menciptakan klaster keluarga. Satu anggota yang terpapar, secepat kilat menularkan kepada seluruh anggota keluarga. Virus itu sangat mematikan. Ada yang kena tiga hari langsung meregang nyawa. Di kampung-kampung kita kini lebih sering mendengarkan pengeras suara masjid- masjid pengumumkan warga yang wafat.

PPKM Darurat 3-20 Juli, nyaris tak ada pengaruhnya. Penurunan memang sempat terjadi selama empat hari setelah puncaknya, dengan rekor di atas 50 ribu kasus. Angka itulah yang  mengantarkan Indonesia bertengger di top rangking kasus positif dunia.

Tapi kita kurang sabar. Koordinator PPKM Darurat, Luhut Pandjaitan belum-belum sudah bilang, terkendali. Ada juga media pers, seperti kesurupan berkampanye dalam beritanya bahwa PPKM sukses dengan angka penurunan yang sumir itu. Tanpa memeriksa secara simultan angka capaian testing selama empat hari secara. Apa? Ternyata, penurunan angka positif yang terjadi lantaran jumlah  testingnya turun.

Kenapa testing turun karena hari libur.  Laboratorium tidak bekeja. Mestinya, pemerintah atur libur lab  bergantian di masa genting begini.

Berkaca pada penurunan empat hari itu, dan tidak cermat pula memperhatikan angka testing, sebagian masyarakat minta PPKM Darurat dilonggarkan. Menunggangi pernyataan “terkendali” Luhut Pandjaitan.

Ruang  publik pun riuh. Wacana  pelonggaran memicu prokontra. Kita tidak menyalahkan masyarakat yang menuntut pelonggaran. Sampai menggelar aksi unjuk rasa di berbagai kota memperjuangkan pelonggaran.

Faktanya, sebagian  rakyat kita memang kesulitan mencari nafkah untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya. Keluarga mereka tidak makan jika tidak keluar rumah hari itu. Maklum jumlah pekerja informal kita sekitar 70 juta dari 135 juta angkatan pekerja (56%). Bantuan pemerintah tidak cukup. Apalagi kalau bantuan itu masih dirapatkan, datanya masih dirapihkan.

Ayo. Belajar jangan jauh-jauh, dari Singapura saja. Negara itu relatif kecil. Berpenduduk  hanya sekitar 5,6 juta jiwa. Tingkat ekonomi  rata-rata warganya baik, juga tingkat kepatuhan hukumnya yang terkenal itu. Sering kita jadikan referensi. Mestinya lebih mudah mengatur dibandingkan Indonesia yang luasnya berpuluh kali lipat, juga penduduknya yang 270 juta jiwa.

Tapi nyatanya Singapura juga seperti frustrasi. Apalagi kita. Luas dan berpenduduk besar, tersebar di belasan  ribu pulau. Belum lagi tingkat ekonomi dan pendidikan yang kebanyakan masih rendah, membuat tidak mudah mengambil satu keputusan.

Manusia Merdeka, Said Didu, punya usul konkret dalam talkshow TVOne semalam. Segera kucurkan dana kepada seluruh masyarakat yang terdampak, supaya mereka bisa tinggal di rumah dengan tenang.  Dengan begitu pemerintah bisa berkondentrasi penuh mengendalikan penyebaran Covid-19 ini.

Kalau perlu, kata dia, seluruh dana pembangunan infrastruktur dan pembangunan Ibu Kota Baru alihkan untuk membiayai itu. Setuju. Usul itu sudah pernah diutarakan banyak tokoh  masyarakat, sebelum Said Didu.

Kita diingatkan pada adegium Salus Suprema Lex Esto. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Presiden Jokowi pernah berkali-kali menyatakan juga begitu. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA