Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Stalin Dan Kawanan Pendengung Itu

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/rachland-nashidik-5'>RACHLAND NASHIDIK</a>
OLEH: RACHLAND NASHIDIK
  • Rabu, 21 Juli 2021, 06:13 WIB
Stalin Dan Kawanan Pendengung Itu
Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Rachland Nashidik/Net
PADA saat naskah ini mulai ditulis, 19 Juli 2021, Inggris sedang bersuka ria. Inilah hari pertama rakyat Inggris kembali ke normalitas. Aturan interaksi sosial dan fisik, yang ditetapkan sejak Inggris menerapkan lockdown, resmi dilonggarkan.

Warga masih dianjurkan memakai masker, misalnya dalam kendaraan umum. Tapi rumah makan, bar dan klub malam, sudah boleh dibuka. Begitu pula kantor dan pabrik. Sekolah pelan-pelan akan menyesuaikan diri.

Indonesia, pada hari yang sama: ada 1300 warga negara dilaporkan gugur karena Covid. Hari sebelumnya, 1093 nyawa telah lebih dulu melayang. Entah berapa kematian lagi besok, lusa, minggu depan. Lelayu, yang datang sudah sejak tahun lalu, kini justru makin bertalu-talu.  

Bulu Yang Sama

Tapi tak semua orang sama memandang apa masalahnya. Sebut, misalnya, Ade Armando. Dosen komunikasi UI ini adalah pendukung Jokowi yang berani pasang badan.

Tahun lalu, saat pandemi mulai mengetuk pintu, ia menyiarkan pandangan bahwa virus Covid-19 tak berapa berbahaya. Klaim mengentengkan ini sejalan dengan pandangan pemerintahan Jokowi pada mula pandemi.

Ketika BEM UI menyiarkan penilaian bahwa Jokowi adalah Raja Ngibul, The King of Lip Service, Ade Armando menyerang mahasiswa. "Dangkal" dan "pandir", sergahnya. Bahkan menurutnya, ada kemungkinan para mahasiswa yang kritis ini masuk UI karena "nyogok".

Burung-burung yang berbulu sama biasanya membentuk kawanan. Di sebelah Ade ada Denny Zulfikar Siregar. Di awal pandemi, ia memusuhi orang yang mencemaskan bahaya Covid-19. "Binatang", katanya.

Menurutnya, wabah Covid-19 adalah isu politik untuk menghalangi strategi Jokowi meraup peluang devisa. Strategi ini sungguh out of the box. Di tengah wabah mulai mengepung dunia, Jokowi justru membuka pintu pariwisata Indonesia. Padahal negara-negara lain justru mengunci pintu.

Dalam kasus revisi UU KPK, ketika arus besar opini publik menggugat Jokowi, Denny menyebar omong kosong seolah KPK dikendalikan "Taliban". Ia mungkin ikut bersorak ketika banyak penyidik KPK yang jujur dan berani disingkirkan.

Dua orang ini, Ade dan Denny, dipandang dengan terpukau oleh kawanan pendengung yang dijuluki netizen: "Buzzerp". Ini istilah yang menggabungkan kata "buzzer" dan "rupiah". Maksudnya: pendengung di media sosial yang bekerja sebagai juru propaganda penguasa dengan menerima imbalan.

Kawanan Buzzerp ini menggebuk suara-suara kritis warga dan mendiskreditkan oposisi. Mereka memaksa orang percaya pemerintah tak bisa salah. Ini berbahaya. Apalagi dalam kegentingan menghadapi pandemi.

Inggris dan Indonesia

Baru-baru ini, Ade Armando menulis bahwa angka kematian akibat Covid di Indonesia lebih rendah dibanding Inggris. Populasi Indonesia dua ratus tujuh puluh juta jiwa, kurang lebih tiga kali lebih banyak dari Inggris.

Tapi, ujarnya, angka kematian di sini tujuh puluhan ribu. Padahal di Inggris sekitar seratus dua puluhan ribu.

Cara berpikir demikian sebenarnya menyelipkan propaganda. Ade dengan perbandingan itu mau bilang Indonesia lebih baik dari Inggris?

Tunggu dulu. Jelas sekali tingginya jumlah kematian di dua negara bukan kabar gembira. Itu justru melukiskan kegagalan dua negara dalam mencegah tingginya korban jiwa dalam pandemi global yang paling menghancurkan selama sekian dekade. Apa yang mau dibanggakan dari kematian?

Lagi pula, perlu diingat, angka-angka itu tidak menetap selama pandemi masih di sini. Ia bergerak. Ia terus merayap.

Adalah kompetensi dan komitmen para pemimpin yang menentukan jumlah kematian itu pada titik tertentu akan merayap turun atau malah kembali naik. Itu sebabnya para pemimpin perlu memiliki pandangan jernih. Dan karena itu, kritik dibutuhkan.

Ketika pada awal 2020 bala tentara Covid-19 memasuki pantai-pantai Inggris, Boris Johnson tak segera memasang kuda-kuda. Ia awalnya memandang enteng. Februari 2020, Perdana Menteri Inggris ini, juga pejabat-pejabat senior dalam pemerintahannya, masih pergi berlibur, sebagian bermain ski.

Walhasil, Inggris saat itu jadi salah satu negara dengan tingkat penyebaran virus terburuk di dunia. Pers Inggris kompak menilai Johnson gagal gotal (failed disastrously). Birokrasinya dinilai lamban dan bertele-tele. Segan menerima pendapat saintis, kritik warga, dan sorotan pers. Johnson sendiri terpapar oleh Covid-19.  

Saat ini, jumlah rakyat Inggris yang terinfeksi sebenarnya terhitung masih tinggi. Itulah sebabnya kebijakan "Open Up" hari ini ditentang banyak saintis. Johnson sendiri mengakui ini. Tapi sekarang ia punya alasan untuk percaya diri.

Inggris saat ini berhasil menekan tingkat kematian warganya secara sangat signifikan -- bahkan pada juni 2021, jumlahnya nol selama berhari-hari. Resepnya adalah lockdown, vaksin bermutu, dan manajemen vaksinasi yang unggul.

Kita semua tahu: virus ini terus bermutasi. Selama sains masih berusaha memecahkan teka-teki ini, penyebaran virus dan kecepatan menginfeksinya masih sulit dijegal.

Mungkin karena itu Johnson menetapkan program vaksinasi sebagai prioritas. Tujuannya mencegah akibat mematikan dari Covid-19 pada rakyatnya. Dalam strategi ini, ia bergegas: Inggris berhasil jadi salah satu negara paling cepat menyelesaikan program vaksinasi minimum.

Di Inggris, jumlah warga yang terinfeksi bisa saja masih tinggi. Tapi setelah vaksin, orang pulih dengan lekas. Akibatnya, jumlah orang yang membutuhkan perawatan bisa dikurangi.

Pelan tapi pasti, tingkat hospitalisasi menurun ke bawah 50%. Lalu, sebab fasilitas kesehatan bisa dihindarkan dari kolaps, maka orang dengan gejala serius bisa dengan cepat mendapat tempat perawatan di rumah sakit.

Buahnya manis: tingkat kematian karena Covid-19 di Inggris menurun drastis. Johnson berhasil bebenah.

Sekarang, ayo kita bercermin. Bisakah Indonesia dibandingkan dengan Inggris? Kenyataannya, Indonesia hari ini adalah episentrum pandemi di Asia --atau malah di dunia? Banyak negara, termasuk tetangga kita Singapura, menutup pintu perbatasannya bagi orang Indonesia.

Bagaimanapun, jumlah kematian akibat Covid-19 di Indonesia masih sulit dibayangkan bisa ditekan. Selama Presiden Jokowi belum meletakkan kesehatan publik sebagai mahkota kebijakan politik, jumlahnya akan terus merayap naik.

Stalin atau Tucholsky?

Tapi di atas semua itu: memperlakukan kematian sebagai statistik belaka adalah amoral. Josef Stalin sering dituduh sebagai orang berhati beku itu. Tapi, kata sebuah sumber yang ragu-ragu, sebenarnya tak ada bukti Stalin pernah benar-benar mengatakan itu.

Andai pun pernah, amat mungkin sebenarnya Stalin cuma mengutip Kurt Tucholsky dalam esainya tentang humor di kalangan diplomat Prancis, yang sepenuhnya fiksional.

"The war?", kata diplomat Prancis dalam esai Tucholsky itu. "I cannot find it to be so bad! The death of one man: this is a catastrophe. Hundreds of thousands of deaths: that is a statistic!"

Jurnalis dan pasifis asal Jerman ini menulis satir tentang kengerian perang dan kematian yang diakibatkannya. Jadi sebenarnya ia sedang menggugatnya.

Ade Armando sebaliknya. Ia, dan kawanan berbulu sama dengannya, memandang kematian dalam pandemi ini cuma angka. Lebih buruk, mereka menggunakan angka itu untuk memenangkan kebijakan presiden yang dikeluhkan rakyatnya lebih mendahulukan ekonomi dan beton dari nyawa manusia. rmol news logo article

Penulis adalah pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA