Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dekrit 5 Juli Kembali Ke UUD 1945 Dan Kembalinya Piagam Jakarta

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-ahmad-yani-sh-mh-5'>DR.  AHMAD YANI, SH.MH</a>
OLEH: DR. AHMAD YANI, SH.MH
  • Senin, 05 Juli 2021, 20:53 WIB
Dekrit 5 Juli Kembali Ke UUD 1945 Dan Kembalinya Piagam Jakarta
Ketua Umum Partai Masyumi, Ahmad Yani/Net
“Hari 17 Agustus (1945) adalah hari Proklamasi, hari raya kita. Hari 18 Agustus (1945) adalah hari ultimatum terhadap Republik Indonesia. Kedua Persitiwa tersebut adalah peristiwa sejarah. Kalau yang pertama kita rayakan, yang kedua sekurang-kurangnya jangan dilupakan. Menyambut 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus kita geristigfar. Insya Allah Umat Islam tidak akan lupa”. (M. Natsir dalam Serial Media Dakwah No. 182, Zulhijjah 1409/Agustus 1989)

Tanggal 5 Juli 1959 terjadi peristiwa sejarah dan peristiwa hukum yang revolusioner. Ketika itu Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden sebagai langkah untuk mengakhiri perdebatan yang bermutu tinggi di sidang Konstituante.

Langkah itu dinilai sebagai langkah yang tidak tepat ketika hampir semua fraksi di konstituante menyepakati dasar negara yang dibahas.

Konstituante adalah merupakan amanat UUD Sementara. Disebut sementara karena UUD itu memuat ketentuan mengenai Konstituante yang dibentuk untuk menyusun UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUD Sementara 1950. Hal itu diatur dalam BAB 5 dan Pasal 134 UUD Sementara 1950. Dengan Pasal 134 itu, terbukalah kesempatan rakyat melalui wakil-wakil yang dipilihnya untuk mendapatkan Undang-Undang Dasar yang dikehendakinya. (Lukman Hakiem, Republika.co.id, Juli 2017)

Inilah keberkahan dan kesempatan bagi umat Islam melalui partai politik Islam untuk memperjuangkan Piagam Jakarta menjadi dasar negara Indonesia merdeka. Keberkahan itu bermula ketika M. Natsir membuka kebuntuan dari negara Federal (Republik Indonesia Serikat -RIS) buatan Van Mook menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Mosi Integral Natsir tahun 1959.

Selain membuka peluang untuk mempejuangkan dasar Islam dalam konstitusi, UUD Sementara juga memberikan penekanan tentang pentingnya kedaulatan rakyat yang dilaksanakan dalam pemilihan umum secara langsung, bebas umum, rahasia dan adil.

Setelah sekian lama, Pemilu yang ditunggu-tunggu semenjak Indonesia merdeka itu baru dapat terlaksana di bawah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap pada tahun 1955. Bangsa ini mengingat pemilu itu sebagai pemilu terbaik dalam sejarah Indonesia.

Setelah diadakan pemilihan umum tahun 1955, maka keluarlah parta-partai pemenang, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Masyumi, Partai NU, dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Untuk segera merumuskan UUD Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara, maka dibentuklah Badan Konstituante sebagai sebuah badan yang akan melakukan pembahasan mengenai UUD yang akan diputuskan.

Namun dari dua kekuatan utama (nasionalis dan Islam) tidak ada satu pun yang mampu memperoleh dukungan mayoritas dua spertiga sebagaimana yang ditentukan oleh UUD Sementara.

Maka pada tanggal 9 Februari 1959, terdapat titik kulminasi dari pekerjaan Konstituante. Dari delapan rancangan Pembukaan UUD, badan pekerja memerasnya menjadi dua rumusan rancangan. Yang satu didukung oleh golongan kebangsaan dengan 99 suara,  yang satu lagi didukung oleh golongan Islam dengan 82 suara.

Bagi golongan Islam di Konstituante, mereka menginginkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjadi Pembukaan UUD sebagai rumusan perpaduan. Sementara golongan nasionalis menginginkan Pancasila 18 Agustus 1945 menjadi rumusannya.

Namun dalam suasana yang merdeka seperti itu, setelah lama sekali memberdebatkan Konstitusi, M. Natsir (Menurut Dr. Abdullah Hehamahua) bertemu dengan Ketua Partai Katolik Kasimo.

Dalam pertemuan itu, ada keinginan untuk mengambil jalan kompromi antara golongan Islam dan Kristen Katolik pada waktu itu.

Natsir mencoba meyakinkan dasar negara menurut perspektif Islam dan hukum Islam. Setelah memberikan penjelasan singkat yang terang benderang, Kasimo dengan penuh keyakinan mengatakan, “kalau itu yang dimaksud dengan hukum Islam maka saya menerimanya sebagai dasar negara”.

Ketika itu pula kekuatan Islam bertambah di Konstituante dengan kesiapan Kasimo untuk mendukung dasar negara Islam itu.

Namun Soekarno yang pada saat itu berada di luar negeri, tepatnya di Tokyo mendengarkan ada perubahan peta politik di Konstituante, maka pada tanggal 3 Juni 1945 keluar Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu.040/1959 tentang Larangan adanya kegiatan-kegiatan politik yang dikeluarkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution (KSAD).

Dengan keluarnya Peraturan tersebut, praktis Sidang Konstituante tidak dapat dilaksanakan.

Akhirnya tanpa melakukan pembicaraan dan permusyawaratan dengan pimpinan konstituante, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang berisi kembali kepada UUD 1945 yang didalamnya dijiwai oleh Piagam Jakarta.

Terlepas dari kontroversi di sekitaran kelahirannya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah menjadi dokumen hukum yang legal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, itu merupakan revolusi hukum yang sangat berpengaruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Artinya, Kembali ke UUD 1945 (UUD Asli) adalah sebuah keharusan karena didalamnya dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juli 1945. Jadi secara historis, maupun secara hukum, kembali ke UUD 1945 adalah salah satu langkah untuk mendaulatkan bangsa ini dan kembali kepada piagam Jakarta untuk tegaknya syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Masyumi dan NU: Di Mana PIagam Jakarta Dalam Dekrit?

Sebagaiman tertulis dalam Biografi M. Natsir (Lukman Hakiem, 2019) Ketika dukungan terhadap Pancasila dan Islam tidak memperoleh dukungan yang cukup, para anggota Konstituante bersepakat untuk kembali Ke UUD 1945.

Pihak Islam melalui amandemen K.H. Masjkur menghendaki PIagam Jakarta 22 Juni 1945 dijadikan Pembukaan, dengan pihak Pancasila menghendaki Pembukaan yang disahkan oleh PPKI 18 Agustus 1945. Ketika divoting, tidak ada yang mampu mencapai suara mayoritas.

Sehubung dengan rencana pemerintah kembali ke UUD 1945, sembilan belas anggota parlemen mengajukan pertanyaan kepada Perdana Menteri Djuanda. Di antara 19 anggota parlemen itu, Anwar Hadjono (Masyumi) dan Ahmad Sjaichu (NU) menekankan pertanyaan tertulis tentang pengakuan terhadap adanya piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Anwar Harjono Anggota Konstituante dari Masyumi mempertanyakan beberapa hal mengenai rencana keluarnya Dekrit Presiden. Apakah yang dimaksud dalam Putusan Dewan Menteri tentang pengakuan Piagam Jakarta, apakah hanya sekadar pengakuan historis hanya dipergunakan secara insidentil atau pengakuan itu mempunya kekuatan UUD?

Pertanyaan itu dijawab secara tertulis oleh PM Djuanda Pada tanggal 25 Maret 1959. “Dengan kembali ke UUD 1945 diharapkan agar kita dapat memulihkan potensi nasional kita, setidak-tidaknya memperkuatnya jika dibandingkan dengan masa sesudah akhir 1949. Dengan memulihkan, mendekati hasrat golongan-golongan Islam, pemerintah mengakui pula adanya Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang mendahului pembentukan UUD 1945… Walaupun Piagam Jakarta tidak merupakan bagian dari UUD 1945, di antaranya melihat tanggalnya 22 Juni 1945, tetapi naskah itu sebagai dokumen historis besar, artinya bagi perjuangan bangsa Indonesia dan bagi bahan penyusunanan UUD 1945 yang menjadi bagian daripada Konstitusi Proklamasi.”

Kemudian Ahmad Sjaichu mengajukan pertanyaan: “Apakah pengakuan Piagam Jakarta berarti pengakuan sebagai dokumen Historis saja ataukah mempunyai akibat hukum, yaitu perkataan 'Ketuhanan' dalam Mukaddimah UUD 1945 berarti 'Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam menjalankan syariatnya' sehingga atas dasar itu bisa diciptakan perundang-undangan yang bisa disesuaikan dengan syariat Islam bagi pemeluknya?”

Perdana Menteri Djuanda Menjawab: “Pengakuan adanya PIagam Jakarta sebagai dokumen historis, bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. Jadi pengaruhnya termaksud tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya menjadi dasar bagi kehidupsn hukum di bidang keagamaan… Dengan demikian, perkataan 'Ketuhanan' dalam Pembukaan UUD 1945 diberikan arti 'Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi pemeluk agama Islam yang dapat disesuaikan dengan Syariat Islam',".

Dari pertanyaan para anggota parlemen dan jawaban dari pemerintah pada saat itu, dapat kita katakan bahwa Piagam Jakarta adalah dokumen historis dan dokumen yuridis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jadi kembali ke UUD 1945 adalah kembali kepada piagam Jakarta sebagai dokumen hukum yang otentik.

Sebagai jawaban atas tuntutan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, maka pemerintah membentuk Kementerian Agama sebagai bagian dari badan eksekutif yang pada dasarnya untuk mengakomodasi kepentingan umat Islam. Kemudian membentuk Peradilan Agama sebagai badan yudikatif bagi umat Islam.

Selain badan-badan itu, negara juga membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang syariat Islam. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Kemudian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren; Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Transformasi syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan secara konsisten. Bahkan baru-baru ini pemerintah Indonesia membentuk Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) untuk menjalankan roda ekonomi berbasis syariat Islam.

Karena itu, syariat Islam sudah menjadi sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui transformasi hukum yang dinamis.

Dan dalam konteks inilah kita melihat bahwa Piagam Jakarta adalah jiwa dari Indonesia merdeka dan menjadi bagian integral dari konstitusi Indonesia. Wallahualam bis shawab. rmol news logo article

Ketua Umum Partai Masyumi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA