Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Argumentasi Mengapa Sertifikat Tanah Elektronik Harus Ditunda

Sabtu, 26 Juni 2021, 00:47 WIB
Argumentasi Mengapa Sertifikat Tanah Elektronik Harus Ditunda
Dosen Hukum Unusia, Bakhrul Amal/RMOL
ISU sertifikat tanah elektronik, meskipun sempat ditunda, kabarnya kembali menguak. Ide dan gagasan yang dibawa pun bermacam-macam. Dari mulai kemudahan dalam pendataan, upaya mengikis mafia tanah, hingga soal memberikan kemanfaatan yang memudahkan investasi.

Keinginan yang digalakan oleh Pemerintah itu sebenarnya tidak salah. Terlebih di era globalisasi yang menuntut segalanya cepat, mudah, dan murah. Ditambah pula hal itu, beserta harapan-harapan yang diinginkan, telah dilakukan di beberapa negara dan dinilai berhasil.

Akan tetapi sebuah kebijakan tidaklah bisa dicangkok begitu saja. Banyak aspek yang perlu diperhatikan. Utamanya soal kondisi sosial yang hidup di masyarakat dimana kebijakan itu hendak diterapkan.

Penulis setidaknya mencatat tiga hal mengapa sertifikat tanah elektronik perlu ditunda demi tujuan kemaslahatan. Tiga hal itu terdiri dari urgensi perlindungan data, kepastian hak yang belum merata, dan masih banyaknya konflik yang belum terselesaikan.

Perlindungan Data

Baru-baru ini kita ketahui bahwa kebocoran data tengah marak. Data yang diduga tersebar pun makin harinya makin menyeramkan. Diawali dari sebatas salinan informasi pribadi, Kartu Tanda Penduduk, bahkan yang terkini adalah bocornya foto selfie warga bersama dengan identitas kewarganegaraannnya.

Kebocoran data ini perlu menjadi perhatian khusus. Penyelesaian yang dilakukan pun harus komprehensif hingga keakar-akarnya.

Penulis tidak membayangkan apabila sertifikat tanah elektronik yang sifatnya penting dan cenderung rahasia kemudian turut bocor. Lebih parah lagi seandainya terjadi perubahan letak, batas, dan luas terkait informasinya. Hal itu tentu diharapkan pula oleh Pemerintah.

Sebab itu, penundaan ini tidak lain demi kebaikan bersama. Kebaikan yang lebih luas. Asas yang menjadi landasan penunda adalah asas akuntabilitas. Asas itu kurang lebihnya menuntut agar setiap kebijakan penyelenggara negara dampaknya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Kepastian Hak

Alasan penundaan yang kedua adalah belum meratanya kepastian hak.

Hari ini kita sadari bahwa masih banyak masyarakat di Indonesia yang belum memiliki bukti kepemilikan yang sah, yaitu sertifikat tanah. Mereka yang belum memiliki sertipikat tersebut kadang sudah tinggal dan mendiami tanah lebih dari tiga puluh tahun dengan etikad baik (rechtverwarking).

Mereka, dengan tinggal dan mendiami tanah tersebut tanpa pernah diberikan informasi pentingnya kepastian hak berupa sertifikat, adalah pihak-pihak yang rawan menjadi korban ketidakadilan secara substansial.

Pemerintah lebih baik terlebih dahulu memfokuskan tata cara penyelesaian persoalan kepastian hak itu. Perhatian itu dilakukan agar kebijakan sertifikat tanah elektronik tidak merugikan masyarakat di kemudian hari.

Sisi esensial dari keadilan yang perlu diketahui, menurut Cicero, adalah tidak merugikan orang lain. Fundamentum iustitiae primum est ne cui noceatur atau landasan utama dari keadilan adalah tidak merugikan orang lain.

Sengketa Tanah Marak

Setiap kebijakan yang lahir tentu terikat pada asas. Asas yang paling utama adalah asas lex posterior derogat legi priori. Dimana hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lain.

Munculnya terma sertifikat tanah elektronik tentu dapat mengubah persepsi terhadap sertifikat analog. Perubahan itu berkaitan juga dengan pembuktian di pengadilan.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) mencatat kasus yang terindikasi sebagai mafia tanah di Indonesia sejak 2018 mencapai 242 kasus.

Data lain menyebutkan bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN) merinci data hingga Oktober 2020 terdapat sengketa konflik dan perkara pengadilan mengenai pertanahan berjumlah 9.000 kasus.

Percepatan penyelesaian konflik di atas menurut penulis harusnya lebih diutamakan ketimbang kebijakan sertipikat tanah elektronik.

Selesainya konflik di atas membuat pemerintah lebih mudah dalam melakukan pendataan dan pemberian sertipikat elektronik kepada yang berhak.

Penutup

Selain tiga hal tadi, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional perlu lebih rajin untuk melakukan sosialisasi perihal sertipikat elektronik.

Menurut Friedman terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam sistem hukum. Sistem hukum tidak hanya soal substansi dan struktur tetapi juga culture.

Agar tidak tidak terjadi culture shock atas perubahan yang begitu cepat ini, ditambah dengan gencarnya fake news, hoax, dan era post truth, maka sosialisasi sampai pada lapisan terbawah di masyarakat adalah hal yang mutlak dilakukan.rmol news logo article

Bakhrul Amal
Penulis adalah Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA