Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ideologi Nasionalis-Religius, Spirit Persatuan Dan Perdamaian

Jumat, 25 Juni 2021, 02:31 WIB
Ideologi Nasionalis-Religius, Spirit Persatuan Dan Perdamaian
Kepala Biro Pembangunan Desa dan Daerah Tertinggal DPP Partai Demokrat, Qomaruddin/Net
DINAMIKA peradaban dunia berkembang begitu pesat dengan idiologinya yang dimiliki. Kita sebagai bagian dari umat peradaban tersebut harus mampu menalar secara kritis atas kebenaran dari idiologi-idiologi yang dibawah oleh peradaban yang berkembang saat ini.

Walaupun pada dasarnya Idiologi dibangun sebagai view of life (pandangan hidup), namun di era ini idiologi kadang menjelmah menjadi sesuatu yang diorentasikan untuk dapat mempengaruhi manusia demi memenangkan peradaban.

Kemenangan idiologi adalah sesuatu hal yang diinginkan sebagai bentuk entitas yang unggul. Tujuannya demi mengkooptasi peradaban yang ada di dunia. Segala macam teori dibangun sebagai bentuk afirmasi idiologi, agar idiologi tersebut bisa diterimah publik dunia.

Penerimaan inilah sebagai bentuk legitimasi dan proses untuk mengkooptasi peradaban yang dimenangkan agar penguasaan yang diinginkan bisa berjalan sesuai target.

Dalam pandangan Ali Harb bahwa berkembangnya idiologi sebaga spirit dari peradaban terdapat kepentingan pengetahuan diatas pengetahuan, meskipun idiologi itu sendiri menyimpan subtansi kebaikan.

Idiologi juga dibangun atas dasar kesadaran dan mengedepankan pengetahuan rasional. Namun dalam menjadikan sebuah paham, idiologi juga tetap membutuhkan legitimasi. Misi tersebut menjadikan idiologi tetap menyimpan kepentingan. Untuk itu Ali Harb tetap menyerukan agar nalar kritis tetap harus diaktifkan demi melihat secara utuh dan komprehensif tentang idiologi.

Dinamika peradaban sekarang sudah menemukan bentuknya untuk saling mempengaruhi. Dalam realitasnya kompetisi idiologi cenderung saling menegasikan antara satu dengan yang lainya, misal; antara sosialis dengan kapitalis, antara komunis  dengan Islam dan begitu pula idiologi lainya.

Idiologi yang semestinya dijiwai demi kebaikan universal, kini malah menjadi instrumen propaganda untuk saling mendiskriditkan dan memunculkan benturan peradaban (the clash of civilization).

Dalam buku The End of History And The Last Man, Francis Fukuyama mengatakan sejarah telah berakhir dan peradaban dimenangkan oleh idiologi kapitalis dan demokrasi liberal dengan ditandai runtuhnya tembok Berlin di Jerman dan pecahnya negara Uni Soviet.

Namun dalam realitasnya kemenangan sistem kapitalis tidak menemukan arti sepenuhnya tentang berakhirnya sejarah (bahwa penguasa tungal tidaklah kapitalis dan demokrasi liberal), di awal abad 21 ini justru banyak muncul kekuatan baru dengan idiologinya yang menjadi energi besar, sebagai penyeimbang atas kekuatan kapitalis.

Diantaranya China, Rusia, Iran, dan lain- lainya. Artinya dinamika predaban masih begitu dinamis dengan segalah kepentinganya.
 
Goncangan peradaban masih sering kita saksikan dimuka bumi ini. Fenomena benturan antar peradaban masih sering kita saksikan, diantaranya perang antara Israel dan Palestina, bahkan di era digital ini perang telah mengalami mutasi yang awalnya perang militer sekarang berubah menjadi perang ekonomi, perang dagang dan akhir-akhir ini perang biologis (Covid-19).

Ramalan seperti yang ditulis oleh Francis Fukuyama dalam buku The End of History And The Last Man, bahwa dengan selesainya perang dingin yang dimenangkan kapitalis dan demokrasi akan memunculkan perdamain dunia ternyata masih menyisakan ifinitas-ifinitas kultural. Suatu kesamaan budaya yang menyatu dan bisa menjadi sebuah kekuatan yang baru dan berkonsekwensi pada benturan peradaban.

Berakhirnya sejarah dengan kemenangan yang berpihak kepada kapitalis dan demokrasi dengan segalah kebaikan yang dimilikinya. Kapitalisme dan demokrasi liberal tidak mampu membendung perubahan idiologi yang masih menyisakan residu terjadinya benturan peradaban.

Selain dipicu oleh perbedaan idiologi benturan peradaban menurut Samuel P. Huntington terjadi juga karena kekuatan ifinitas (kesamaan budaya) yang manyatu dan membuat kekuatan baru.

Kekuatan baru yang timbul karena memiliki kesamaan kultur juga dinilai sebagai pesaing baru dalam konstalasi global. Persaingan antar umat manusia diera globalisasi sampai era digitalisasi seolah membenarkan teori Plato tentang tabiat manusia.

Plato berpandangan bahwa pada dasarnya kelompok manusia memiliki instrumen berupa thymos gairah atau hasrat untuk diakui dan ingin menguasai sehingga hasrat ini yang memicu terjadinya peperangan.

Di dalam negeripun juga mengalami hal yang sama, benturan-benturan idiologi semakin hari eskalasinya semakin menguat, yang mengakibatkan pembelahan atau disparitas sosial.
   
Benar apa yang dikatan Fukuyama dalam bukunya yang berjudul identity bahwa kelemahan yang diakibatkan kapitalisme liberal adalah berubahnya sepektrum idiologi besar dunia antara blok kanan yang mengkampanyekan (kebebasan, demokrasi dan  rational choice), dan blok kiri yang mengkampanyekan kesetaraan kelas.

Di abad 21 ini mereka (dua sepektrum idiologi besar) sudah tidak berbicara lagi tentang kapitalisme dan sosialisme, spektrum idiologi besar dunia tersebut sudah bertransformasi pada politik identitas yang blok kanan cenderung berbicara tentang etnis, ras dan suku.

Sedangkan blok kiri yang dulu kampanye tentang kesetaraan ekonomi yang tidak adil sekarang berubah cenderung berbicara pada kaum yang diangap minoritas seperti gender, LGBT, feminisme, dan lain-lainya. Hal tersebut yang menimbulkan kohesi sosial dan memudarnya rasa kebangsaan dan nasionalisme menjadi tidak lagi otentik.

Dengan merebaknya berbagai idiologi dan politik identitas, sebagai anak bangsa juga harus memiliki pondasi dan pedoman yang kuat agar tidak terombang ambing dengan dinamika dan propaganda-propaganda yang dimainkan lewat media.

Sudah pernah dikatakan oleh Noam Chomsky bahwa media yang seharusnya sebagai pilar demokrasi dan alat kontrol kini berubah peran sebagai alat propaganda. Selain itu Chomsky menegaskan bahwa siapa yang menguasai media merekalah yang memenangkan propaganda yang diciptakan.

Untuk itu agar kita terhindar dari propanganda kita harus memiliki kesadaran kritis dan kesadaran nasionalis. Selain untuk mengcounter propaganda dari berbagai idiologi dan kepentingan, membangun kesadaran nasionalis dilakukan juga demi menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.

Jika kita flashback pada historikal perjuangan bangsa yang begitu berat melawan kolonial, kita akan sadar bahwa sebagai anak bangsa harusnya memiliki rasa nasionalis sebagai pegangan dan prinsip perjuangan.

Bangsa ini dibangun atas dasar kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita sehingga refleksi dari itu mewujudkan sebuah negara (Negara Bangsa). Rasa nasionalisme yang dibangun oleh para pejuang harus terus kita semai agar subur dalam sanubari kita, nilai kebangsa kita harus dilestarikan demi mewujudkan cita-cita bangsa kita sebagai bangsa yang merdeka dan beradab.

Tentunya, nasionalisme yang kita bangun bukan nasionalis  chauvinisme atau mencintai negaranya dengan berlebih-lebihan yang  berakibat anti terhadap bangsa lain.

Perasaan senasib dan sepenanggungan bangsa kita harus mengalahkan perbedaan etnik, budaya dan agama, demi menjaga keragaman untuk persatuan (diversity of unity).

Nasionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa dan negara. Nasionalisme adalah kesadaran bernegara dan berbangsa.

Menurut Benedict Anderson Nasionalisme bukanlah sekedar instrumen yang berfungsi sebagai perekat kemajemukan secara eksternal, namun juga merupakan wadah yang menegaskan identitas Indonesia yang bersifat plural dalam berbagai dimensi kulturnya.

Nasionalisme menuntut adanya perwujudan nilai-nilai dasar yang berorientasi kepada kepentingan bersama dan menghindarkan segala legalisasi kepentingan pribadi yang merusak tatanan kehidupan bersama.

Nasionalisme juga merupakan suatu perayaan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki nasib yang sama , sejarah yang sama dan cita-cita yang sama, atau keinsyafan rakyat sebagai suatu bangsa yang harus bersatu demi kemerdekaan, kemakmuran, kesejahteraan dan kemajuan bangsa.

Sedangkan kita sebagai anak bangsa yang berhaluan idiologi Pancasila harus memiliki jiwa dan sikap religius. Religius merupakan suatu sikap yang kuat dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama serta sebagai cerminan dirinya atas ketaatannya terhadap ajaran agama yang dianutnya.

Sikap religius diperlukan untuk membangun atitut yang baik di rana sosial, selain itu sikap religius juga mampuh menghadirkan kesolehan sosial yang merupakan sikap atau perbuatan yang dilakukan secara sopan santun, ramah, tangung jawab dan memiliki dampak positif serta berkelanjutan.

Bila manusia memiliki, baik pengetahuan maupun sikap religi yang kuat manusia tersebut pasti akan menjadi tauladan  (Uswah) bagi masyarakatnya, kebaikan-kebaikan universal yang  ada dalam agama harus diamalkan demi kebaikan dan kemajuan bangsa dan negara ini.  

Negara kita masih membutuhkan banyak manusia-manusia teladan (the great people) untuk bisa menuntun negeri ini menjadi negeri yang lebih baik, makmur, sejahtera dan sentosa.

Religi sendiri memiliki peran penting dalam menata tatanan individu dan sosial bahkan religi juga bisa memberikan solusi atas problematika diberbagai bidang, maka religi menjadi penting untuk sebuah pegangan dalam kehidupan.

Selain Pancasila sebagai idiologi bangsa dan Negara kita. Nasionalisme-religius juga memberi afirmasi yang kuat dalam menjaga kesatuan dan perdamainan dinegeri ini. Nilai kebaikan universal yang ada dalam nasionalis-religius harus diaktualisasi agar negeri ini selamat dan terhindar dari sekenario negatif dan berbagai propaganda yang ada. rmol news logo article

Qomaruddin
Biro Departemen V DPP Partai Demokrat

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA