Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Warga Perth Rayakan Bebas Merdeka Dari Ancaman Covid-19

Catatan Ilham Bintang

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ilham-bintang-5'>ILHAM BINTANG</a>
OLEH: ILHAM BINTANG
  • Rabu, 23 Juni 2021, 17:08 WIB
SIAPA bilang pandemi tidak bisa dikendalikan?
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Selasa sore (22/6). Pak Sjahrir Laonggo, sahabat saya di Perth, Australia, kirim kabar gembira.

Mulai hari ini, Rabu (23/6), warga Perth bebas tidak pakai masker dan menjaga jarak. Siang tadi Pak Sjahrir kirim foto suasana gembira warga Perth merayakan kemerdekaannya dari Covid-19 di pusat perbelanjaan dan tempat-tempat umum di Ibukota Australia Barat itu.

"Ini saya kirim foto untuk membantu Pak Ilham bikin berita," tambah tokoh masyarakat Sulsel yang sudah 45 tahun menetap di Perth.

Menurut Sjahrir, selama pandemi di Perth dua kali pemerintah me-lockdown kota yang berpenduduk 2 juta jiwa. Lockdown pertama awal pandemi sekitar Maret. Semua karyawan yang diliburkan gajinya dibayar pemerintah.

Pak  Sjahrir yang punya toko daging "Langford Halal Butchers" mendapat subsidi listrik 3 bulan free. "Untuk tiga bulan itu jumlahnya sekitar AUD 4.000, atau 45 juta rupiah. Alhamdulillah," ungkapnya.

Western Australia bisa aman menurut Sjahrir karena pemerintahnya pada awal pandemi langsung ambil keputusan menutup border dari luar. Termasuk dari Eastern state, sambung Sjahrir.

Meski sudah bebas, tapi warga Perth tetap berhati-hati. Mereka tetap mematuhi aturan. Seperti tampak oleh Sjahrir di Carausel Mall tadi siang.

Mall itu tetap menyediakan fasilitas sanitasi bagi pengunjung sebelum masuk supermarket. Dan juga box barcode yang menyimpan data pengunjung. Pengunjung menempel ponsel di situ.

"Kalau ada apa-apa di Mall, pengelola langsung bisa tahu siapa saja pengunjung mall itu. Ini membantu mengatasi problem lebih cepat," urai Sjahrir.

NZ & Australia

Sejak pandemi Covid-19 merebak di seluruh dunia saya memang tertarik mengikuti pengendalian Covid-19 oleh pemerintah Australia dan New Zealand.

Kebetulan putri bungsu saya kuliah dan kini bekerja di Melbourne, sehingga saya banyak dapat informasi. Wartawan senior Nuim Khaiyath juga sering memasok informasi yang ditulisnya dalam bentuk laporan jurnalistik di media yang saya pimpin, Ceknricek.com.

Di New Zealand, Dubes kita di sana, Tantowi Yahya juga rajin memberi informasi untuk kebutuhan pemberitaan. Menarik cara pemerintah negara di Pasifik itu mengendalikan pandemi. Saya sudah berkali-kali menulis  pengalaman pemerintah dua negara itu.

Intinya menghentikan pandemi tidak bisa hanya dengan cara coba-coba, improvisasi, bikin banyak judul pengendalian, tetapi mengabaikan pokok masalahnya. Pokok masalah virus Covid-19, adalah mobilitas dan kerumunan.

Pemerintah Australia, NZ, termasuk Singapura, secara konsisten menggunakan sanksi hukum ketika menutup semua perbatasan masuk ke negara mereka. Transportasi antarnegara bagian saja mereka tutup sementara. Australia, beberapa kali lockdown.

Namun langkah itu diambil secara terukur, dengan cara tarik ulur, kayak menarik layangan. Begitu dapat angin mereka ulur talinya. Mereka pun akan cepat menarik talinya jika embusan angin berkurang.

Kita bisa mengikuti hari demi hari langkah pengendalian pandemi sejak awal di sana. Benar, Anda bisa mengatakan penduduk Australia "hanya" 25 juta jiwa dan NZ lebih kecil lagi, "hanya" 5 juta jiwa sehingga relatif mudah dikendalikan. Di dua negara itu, dua kasus saja yang ditemukan langsung lockdown wilayah, tutup border.

Putri saya cerita pernah suatu hari dia ke Sydney untuk urusan pekerjaan. Semula dia merencanakan menginap. Tapi, hari itu Sydney geger karena ditemukan kasus positif pada beberapa orang.

Putri saya langsung mengubah tiket dan balik ke Melbourne sore itu juga. "Kalau Sydney lockdown, saya tidak bisa balik ke Melbourne untuk beberapa waktu," kisahnya.

Pada awal pandemi, Gubernur DKI tercatat pernah melakukan lockdown dengan nama PSBB. Begitu juga dengan kota-kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang mobilitasnya tinggi.

Tapi, entah apa yang terjadi, program pengendalian kota-kota itu berantakan, terbentur antara lain dengan ketentuan pemerintah pusat. Diacak-acak oleh begitu banyak kepentingan.

Kita semua tahu pernah dalam kurun enam bulan kebijakan antarmenteri  saling bertentangan. Membuat rakyat bingung. Pernah juga ada menteri  mengancam hukuman 1 tahun bagi kepala daerah yang bertindak sendiri walau untuk kepentingan keselamatan warganya. Padahal, memang begitulah perintah konstitusi.

Sekarang apa yang terjadi, di saat masyarakat berteriak minta lockdown, dua gubernur langsung lempar handuk. Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta mengaku tak punya uang untuk lockdown.

Lockdown selain menuntut keberanian memang juga memerlukan biaya besar. NZ pada waktu menutup border di wilayahnya, harus menanggung jutaan dolar NZ untuk mensubsidi warga yang terdampak lockdown.

Pemerintah membayar gaji karyawan beberapa bulan, juga mensubsidi perusahaan yang bisa membuktikan kerugiannya karena kebijakan lockdown itu. Dan, macam-macam tunjangan.

Serupa dengan Australia. Nuim Khiyath pernah menulis Pemerintah Australia terpaksa mengorbankan 40% penghasilan nasionalnya dari pelajar asing yang dilarang masuk.

Dana yang mereka gelontorkan untuk mensubsidi warga terdampak juga luar biasa besar. Tapi kini mereka menikmati hasilnya.

Meski pengendalian mereka molor lebih satu tahun dari target, tetapi mereka telah mengendalikan pandemi. Telah menyelamatkan jiwa warganya sesuai dengan perintah konstitusi.

Entah bagaimana dengan nasib kita di Tanah Air. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA