Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kemewahan Perjalanan Bandung-Jakarta Di Masa Genting Pandemi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ilham-bintang-5'>ILHAM BINTANG</a>
OLEH: ILHAM BINTANG
  • Jumat, 18 Juni 2021, 18:12 WIB
Kemewahan Perjalanan Bandung-Jakarta Di Masa Genting Pandemi
Jalan Tol antara Bandung-Jakarta yang lengang pada Jumat (18/6)/Ist
TADI pagi saya meninggalkan Bandung. Tiba di ujung jalan layang
Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) Jumat (18/6) pas jam 12 siang.

Itu berarti sejak meninggalkan Hotel Intercontinental Dago Pakar Bandung, kami hanya menempuh perjalanan 2 jam. Sudah termasuk mampir membeli satu gelas vanila latte di Starbuck, Rest Area KM 97. Sepuluh menit kemudian kendaraan masuk di Pintu Tol Halim, Jakarta.

Ngebut? Mana berani seusia sekarang saya ngebut.

Seperti di Pintu Tol Pasteur Bandung, Rabu pagi lalu (16/6), begitu juga situasi di pintu tol masuk Jakarta pada Jumat siang. Lengang.

Alhamdulillah. Tidak ada pencegatan masuk ibukota.

Seumur-umur melalui jalan tol Cipularang, baru pertama kali saya menikmati keadaan mewah ini. Istimewa. Tidak perlu pakai patwal berbayar yang biasa mengawal penggede di jalanan supaya cepat sampai di tujuan. Yang sirenenya memekakkan telinga tanpa belas kasihan kepada pengendara lain.

Bisa dikatakan jalan tol Cipularang telah berfungsi sesuai cita-citanya: bebas hambatan.

Saya memacu kendaraan normal saja, sesuai kecepatan yang disarankan: 80 km/jam. Disebut mewah dan istimewa karena mobil saya setir sendiri didampingi istri. Kami bisa ngobrol santai. Bersenang-senanglah.

Mengingatkan saya pada cerita wartawan tiga zaman almarhum Rosihan Anwar  tentang resep hidup bahagia di hari tua. Waktu itu kami dalam perjalanan "mewah" serupa dari Los Angeles ke Las Vegas, Amerika Serikat.

Kami berempat: Pak Ros, saya, Prof Salim Said, dan Dimas Supriyanto Redaktur Harian Poskota. Jarak LA-LV 434 km bisa ditempuh 4 jam dengan kendaraan yang disupiri staf Konjen RI di LA. Highwaynya mulus dan lengang.

Pak Ros bercerita highway yang menghubungkan kota-kota Pantai Barat Amerika Serikat itu lebih banyak digunakan para lansia bepergian. Cerita itu terkonfimasi ketika kami mampir di Rest Area. Pengunjungnya, yang notabene pengguna highway tadi adalah para pasangan lansia usia pensiun.
Wajah-wajah mereka ceria menikmati perjalanan jauh, beratus-ratus kilometer dengan menyetir sendiri bersama pasangannya.

"Itu semacam terapi, obat bagi mereka di hari tua. Baru sekarang lah mereka menikmati hidup sebenarnya," terang Pak Ros.  

Perjalanan kami berempat ke AS kala itu mengawal film Indonesia "Bibir Mer" yang disutradarai Arifin C Noer ikut seleksi film asing di Piala Oscar, tahun 1991. Perjalanan ke LV di sela waktu luang, pulang hari.

Keadaan di Eropa juga serupa itu. Saya menyaksikannya ketika mengikuti perjalanan Dubes RI untuk Polandia, Peter F Gontha, pada 2016 ke sebuah acara berjarak 300 kilometer dari Warsawa, Ibukota Polandia.

Highway lebih banyak digunakan mobil pengendara lansia. Tampaknya begitu  kebahagiaan warga negara maju melakoni sisa hidup. Infrastruktur jalan antarkota memang mendukung. Penduduk tak banyak. Mereka tentu tidak pernah merasakan stuck belasan jam di tol seperti yang terjadi di Tanah Air. Terutama pada waktu mudik lebaran.

Pandemi

Keistimewan perjalanan tol yang saya alami Jakarta-Bandung-Jakarta  berbeda folder dengan keadaan highway di AS dan Eropa. Lengangnya jalan tol Cipularang boleh dibilang kebetulan saja. Terkait erat dengan kegentingan memaksa karena pandemi Covid-19 semakin tidak terkendali di Tanah Air.

Gubernur Jawa Barat Selasa lalu (15/6) memang mengimbau warga Jakarta jangan berkunjung ke Bandung dulu. Begitu juga dengan Gubernur DKI yang meminta warganya tidak keluar rumah sampai satu pekan ke depan.

Indonesia saat ini memang "beyond help" dikepung varian baru Covid-19. Bayangkan, Covid-19 asal Wuhan Tiongkok saja amburadul pengendaliannya, kini muncul lagi varian baru: Alfa, Betha, dan Delta.

Virus Delta asal India paling ganas di antara varian baru itu. Menurut Kemenkes, Delta yang sudah ditemukan di beberapa kota di Tanah Air sangat berbahaya. Penularannya 3-5 kali lebih cepat dari virus Covid-19 China. Tidak menunggu proses lama korban yang tertular bisa merengang nyawa dalam dua hari.

Seperti di Bangkalan Madura dan Kudus, Jawa Tengah, dua hari terpapar langsung meninggal dunia. Di seluruh Pulau Jawa peningkatan penularan  berkali lipat dari sebelumnya disebabkan oleh virus varian Delta itu.

Jakarta alami peningkatan lebih 400%. Urutan kedua, Jawa Barat, menyusul Jawa Timur dan Jawa Tengah --provinsi yang para Gubernurnya dua minggu ini sering diberitakan luas sebagai kandidat kuat calon Presiden 2024 menggantikan Presiden Jokowi yang "expired".

Data tambahan kasus Covid-19 di Indonesia per Jumat (18/6) mencapai angka 12.990 kasus, meninggal dunia 290 orang. DKI Jakarta di urutan tertinggi dengan 4.737 kasus, meninggal 66 orang.

Dari angka Nasional itu 80% sumbangan Pulau Jawa. Tak heran jika menimbulkan kepanikan para pejabat negara. Gubernur seluruh provinsi di Jawa itu pun kembali manggung di layar televisi hari-hari ini. Mengeluarkan imbauan dan macam-macam instruksi.

Gubernur DI Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono X malah merencanakan lockdown di Yogya. Sultan terkejut warganya yang terpapar lebih 500 orang dalam satu hari.  

Imbauan pemerintah pusat dan daerah bukan baru sekali ini disampaikan. Entah sudah berapa belas kali dikeluarkan sejak tahun lalu. Pembatasan mobilitas warga juga entah sudah berapa kali berganti nama --semula Pembatasan Sosial Berskala Besar-- tidak mengubah situasi.

Imbauan Gubernur Jabar dan Gubernur DKI dua hari memang tampak efektif. Terbukti dari menurunnya pengguna jalan tol Cipularang satu dua hari ini.

Tetapi rasanya sulit terwujud hingga jangka panjang tanpa pemerintah menggunakan alat pemaksa yang menjadi kewenangannya. Alat pemaksa dimaksud adalah penegakan hukum dan sanksi yang membuat jera.

Pendapat itu sudah saya utarakan di berbagai tulisan sejak tahun lalu, di awal pandemi. Memang satu dua digunakan juga alat pemaksa itu dengan memenjarakan dan menyeret ke meja hijau pelanggar protokol kesehatan.

Namun, kesannya tebang pilih. Selain Habib Rizieq, rasanya belum ada pelanggar prokes yang dihukum badan serta diseret ke pengadilan dengan tuntutan hukuman 6 tahun.

Inilah salah satu yang menghawatirkan jatuhnya wibawa pemerintah karena praktik hukum yang tak berkeadilan itu.

Saya juga mencatat, selama komando pengendalian pandemi di tangani menteri perekonomian, sulit rasanya mengharap penyebaran virus itu dapat  terkendali.

Yang sudah terbukti, lebih setahun ini ekonomi semakin terpuruk --padahal tujuannya untuk memulihkan perekonomian. Pandemi semakin menjadi-jadi, padahal dana yang digelontorkan pemerintah sudah habis-habisan. Wibawa Pemerintah pun makin merosot karena yang melanggar jauh lebih banyak dibandingkan jumlah yang kena sanksi.

Perekonomian memang wajib dipulihkan. Namun, kita juga mendukung pernyataan Presiden Jokowi tempo hari. Kesehatan dan keselamatan jiwa lebih utama.

"Keselamatan jiwa adalah hukum tertinggi," kata Presiden.

Senang dan bangga kita dengarnya. Sayang, itu tidak terlihat nyata dalam operasional sehari-hari penanganan pandemi.

Imbauan, seruan, dan larangan memang ada. Nyaring. Tapi kita tahu pada tingkat pengawasannya kedodoran. Ibarat kata, cuma "rame ing tivi sepi ing gawe". rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA