Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tak Pernah Solid, Suara NU Tak Boleh Diremehkan

Selasa, 08 Juni 2021, 09:30 WIB
Tak Pernah Solid, Suara NU Tak Boleh Diremehkan
Ilustrasi/Net
SEJAK 1984, NU kembali ke khittah. Artinya, tidak terlibat lagi dalam politik praktis. Meski demikian, secara struktural, NU selalu digoda dan ditarik-tarik ke politik praktis.

Dalam konteks khittah, banyak yang menilai bahwa PBNU dianggap kurang tegas. Banyak aktor struktural yang bermain mata dan terang-terangan terlibat dalam politik praktis. Terutama dalam proses pemilu. Kepada mereka, tidak ada teguran atau saksi organisatoris.

Tapi, inilah khas dan keunikan NU. Ikatan dan solidaritas sosial berbasis kulturalnya yang lebih kental.

NU adalah organisasi terbesar di Indonesia. Jumlah anggotanya sekitar 108 juta. Sebanyak 49,5 persen dari total penduduk Indonesia. Sebanyak 87,8 persen dari total jumlah umat Islam di Indonesia.

Termasuk di antaranya adalah aktivis eks FPI. Apakah mereka semua punya keanggotaan resmi organisasi? Tentu tidak.

Secara politik, massa NU sangat cair. Tidak satu komando. Ribuan hingga jutaan ulama, masing-masing punya pengaruh. Termasuk dalam urusan politik.

Gus Dur (alm) punya pengaruh, KH Maemoen Zubair (alm) punya pengaruh, Habib Luthfi punya pengaruh, Ustaz Abdul Somad punya pengaruh, begitu juga ulama-ulama yang lain. Mereka semua ulama NU.

Sebagian berafiliasi ke PKB, sebagian ke PPP, dan ada yang pilih PKS. Ke partai-partai lain juga ada. Maka, PKB yang diklaim sebagai partainya wong NU, tidak sepenuhnya dipilih oleh warga NU.

Perolehan suara PKB di Pemilu 2019 hanya 13.570.097 (9,69 %). Ini bukti, warga NU dalam urusan politik sangat heterogen. Maksudnya: tidak solid.

Apakah ini karena faktor NU telah kembali ke khittah? Tidak juga. Sebab, tahun 1955, partai NU juga tidak menang dalam pemilu. Hanya mendapatkan suara 6.989.333. Ini lebih disebabkan karena ikatan solidaritas dan emosional warga NU itu bersifat kultural. Tidak dalam komando struktural.

Konsekuensinya, banyak tokoh yang masing-masing menggunakan pengaruhnya, baik secara lokal maupun nasional, terkait dengan urusan politik praktis.

Tapi satu hal, jangan pernah membuat tersinggung warga NU. Baik menyinggung organisasinya, ajarannya, ritualnya, atau tokohnya. Sekali anda masuk dalam isu itu, kelar! Ini wilayah sakral dan sangat sensitif. Untuk empat isu ini, warga NU kompak.

Partai dan para politisi sudah sangat memahami soal ini. Kalau tidak, ini akan jadi resistensi cukup berarti dalam relasi sosial dan politik.

Beberapa "oknum politisi" sering memainkan emosi warga NU dengan mengangkat isu-isu yang sensitif semacam ini.

Seperti misalnya: "dia Wahabi, dia enggak qunut, dia anti ziarah kubur, dll". Setiap pemilu, isu ini suka ada yang mengangkatnya. Bagi warga NU, terutama di pelosok-pelosok desa, ini bisa berpengaruh sangat kuat pada pilihan politik.

Cairnya suara NU itu hal yang berbanding lurus dengan semangat khittah. Hanya saja, godaan berpolitik praktis di struktural mesti dikendalikan, bila perlu ditertibkan. Ini bagian dari bentuk komitmen khittah.

Di samping permainan isu sensitif bagi warga NU yang semestinya dihindari, supaya tidak ada yang berselancar dan mengambil keuntungan dari isu ini.

Sekaligus ini penting sebagai upaya menjaga hubungan baik dengan ormas dan kompok di luar NU. Menjaga stabilitas Ukhuwah kebangsaan dan memelihara keutuhan NKRI. rmol news logo article

Tony Rosyid

Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA