Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

(Mencari) Alternatif Fiktif Positif

Kamis, 03 Juni 2021, 01:49 WIB
(Mencari) Alternatif Fiktif Positif
Ilustrasi/Net
Perkara yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta belakangan ini  tampaknya akan menjadi tantangan baru bagi dunia hukum sekaligus penegak hukum Indonesia, khususnya di sektor Hukum Administrasi Negara dan hakim-hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Perkara yang bernomor 123/G/TF/2021/PTUN.JKT tersebut diajukan berkenaan dengan perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan-yang dalam hal ini adalah Presiden-karena tidak mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai peraturan pelaksana atas Pasal 175 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU No. 11/2020).

Pasal tersebut mengubah ketentuan mengenai tindak lanjut atas permohonan yang dianggap dikabulkan manakala Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menjawab permohonan yang diajukan ke instansi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terkait. Tindakan tidak menjawab permohonan, namun dianggap dikabulkan, dinamakan fiktif positif.

Sebelumnya, tindak lanjut tersebut diajukan ke PTUN, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30/2014). Namun, setelah perubahan, pasal tersebut dihapus dan akan didelegasikan pengaturannya dalam Perpres.

Hanya saja, pasca 3 bulan UU No. 11/2020 diteken, Presiden belum menerbitkan Perpres tersebut. Sementara peraturan pelaksana lain-selain tindak lanjut fiktif positif-telah diterbitkan. Misalnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko,  Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan lain sebagainya.

Distorsi Kepastian Hukum

Kepastian hukum menjadi hal yang sangat terdistorsi saat ini. Siapa pun yang memiliki perkara yang berkaitan dengan fiktif positif telah kehilangan kanal untuk memperoleh dokumen hukum atas “dianggap” dikabulkannya permohonan yang diajukan.

Masalah ini coba diredam oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara (Dijenmiltum), melalui Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penanganan Pendaftaran Perkara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (SE Ditjenmiltum No. 2/2021).

Pada pokoknya, SE tersebut menyatakan beberapa hal. Pertama, Kepaniteraan Pengadilan agar secara aktif menjelaskan kepada masyarakat mengenai dihapuskannya ketentuan Pasal 53 ayat (4) dan (5) UU No. 30/2014.

Kedua, apabila masih ada masyarakat yang mendaftarkan perkara tersebut, Pengadilan-dalam hal ini adalah PTUN-hendaknya berpedoman pada ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yakni Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak ada hukumnya atau hukumnya kurang jelas.

Ketiga, Tata cara mengenai penanganan pendaftaran perkara tersebut berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Atau Pejabat Pemerintahan (Perma No. 8/2017).

Sekilas, SE ini memberikan harapan bagi para pencari keadilan dengan cara memberikan jalan keluar atas ketiadaan tempat memperoleh kepastian hukum dari permohonan yang dianggap dikabulkan oleh Pejabat atau Badan Pemerintahan. Namun, apabila menilik kembali salah satu ketentuan dalam Perma No. 8/2017, PTUN sama saja tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara yang diajukan oleh masyarakat.

Pasal 2 ayat (4) huruf a Perma No. 8/2017, yang notabenenya menjadi salah satu poin yang harus dijadikan dasar permohonan, secara tersurat menyatakan bahwa PTUN berwenang mengadili permohonan yang diajukan. Namun pasal tersebut menjadikan Pasal 53 UU No. 30/2014 sebagai cantolan.

Hal ini tentu menjadi wajar, sebab pasal tersebut menjadi pintu masuk bagi PTUN untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Namun ketika pasal tersebut telah dihapus, apakah Pasal 2 ayat (4) huruf a Perma No. 8/2017 tetap masih dinyatakan berlaku?

Apabila mengacu pada prinsip lex posterior derogat legi priori (hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama), jawabannya tentu tidak.  Bahkan dapat dikatakan juga kalau Pasal 2 ayat (4) huruf Perma No. 8/2017 tetap dinyatakan berlaku, hal tersebut bertentangan dengan dua hal.

Pertama, bertentang dengan asas lex superior derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah). Kedua, bertentangan dengan amanat yang diberikan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yakni mengisi kekurangan atau kekosongan hukum dalam jalannya peradilan. Sementara hingga saat ini, belum jelas apakah nantinya model pengaturan dalam Perpres akan tetap diberikan ke PTUN atau menggunakan mekanisme internal lembaga eksekutif.
Implikasi.

Selain masih menimbulkan kebingungan pada aspek teoretis, penghapusan Pasal 53 ayat (4) dan (5) UU No. 30/2014 juga melahirkan kebingungan pada aspek sosiologisnya. Hakim-hakim PTUN memang masih menerima perkara tersebut, namun hasil yang diperoleh oleh Pemohon juga beragam.

Sebagai contoh, Putusan PTUN Palu Nomor 24/P/FP/2021/PTUN.PL, menyatakan tidak dapat diterima permohonan fiktif positif yang diajukan oleh Pemohon. Alasannya PTUN tidak lagi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pemohon karena kewenangan yang sebelumnya diakomodir dalam Pasal 53 UU No. 30/2014 sudah dihapus oleh UU No. 11/2020.

Hal serupa juga terjadi di PTUN Palembang. Melalui putusannya yang bernomor 2/P/FP/2021/PTUN/PLG. Hakim PTUN Palembang berpandangan bahwa Pengadilan secara absolut tidak lagi memiliki kompetensi atau kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa permohonan fiktif positif. Dengan demikian, permohonan fiktif positif yang diajukan oleh Para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.

Namun hal berbeda terjadi di PTUN Surabaya. Hakim PTUN Surabaya dalam putusannya Nomor 17/P/FP/2020/PTUN.SBY mengabulkan permohonan fiktif positif yang diajukan oleh Pemohon. Pertimbangannya adalah Pasal 175 UU No11/2020 tidak mengatur tentang sengketa ke Pengadilan, melainkan hanya mengubah jangka waktu bagi pejabat untuk menjawab permohonan masyarakat.

Hal unik lainnya juga terjadi di Pengadilan yang sama, yakni PTUN Surabaya. Dalam putusannya yang bernomor 2/P/FP/2021/PTUN.Sby, Hakim mengabulkan permohonan Pemohon dengan tidak memasukkan aspek perubahan yang terjadi pada Pasal 53 UU No. 30/2014 sebagai pertimbangan. Artinya, hakim masih menganggap Pasal tersebut berlaku dan tetap menjadikan Pasal 2 ayat (4) huruf a Perma No. 8/2017 sebagai dasar pintu masuk PTUN untuk mengadili permohonan tersebut.

Alternatif

Apabila dikembalikan pada kebebasan dan kemerdekaan hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang salah satunya adalah perkara fiktif positif, tentu perbedaan tersebut sah-sah saja.

Namun, masyarakat menjadi kehilangan pakem dan keberanian untuk memproyeksikan prosentase keadilan yang diperolehnya apabila menempuh jalur Pengadilan untuk mendapatkan kepastian hukum atas permohonannya yang dianggap dikabulkan oleh pemerintah.

Maka dari itu, untuk memberikan kepastian hukum, setidaknya ada beberapa alternatif yang mungkin bisa ditempuh. Pertama, pengaturan mengenai fiktif positif dikembalikan ke fiktif negatif. Karena ketika permohonan dianggap ditolak, Pemohon masih memiliki langkah hukum selanjutnya, yakni upaya administratif, dan hal tersebut masih diakomodir dalam UU No. 30/2014 pasca diubah oleh UU No. 11/2021.

Namun, alternatif ini harus merevisi UU No. 11/2020, khususnya mengenai anggapan dikabulkannya permohonan ketika sampai batas waktu yang ditentukan, Badan atau Pejabat Pemerintahan belum memberikan jawaban, menjadi dianggap tidak dikabulkan.

Kedua, PTUN masih dianggap memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara permohonan fiktif positif. Hal ini dikarenakan Pasal 175 memberikan kewajiban bagi pejabat TUN, sebagaimana pertimbangan yang digunakan Hakim pada putusan Nomor 17/P/FP/2020/PTUN.SBY.

Namun terkait hal ini, tetap diperlukan sebuah instrumen yang menjelaskan demikian untuk menciptakan keseragaman prosedur.
Ketiga, permohonan yang tidak dijawab tersebut ditafsirkan sebagai tindakan faktual.

Tindakan faktual merupakan tindakan nyata atau fisik yang dilakukan oleh Pemerintahan, baik secara aktif maupun pasif. Sehingga permohonan yang tidak dijawab dapat diartikan sebagai tindakan pemerintahan yang bersifat pasif, sehingga PTUN tetap dapat memeriksa perkara tersebut. rmol news logo article

Penulis merupakan Peneliti HICON Law & Policy Strategies
Eko Prasetyo

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA