Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Maqashid Syari’ah: Menyingkap Hikmah Di Balik Wabah Covid-19

Selasa, 01 Juni 2021, 09:21 WIB
Maqashid Syari’ah: Menyingkap Hikmah Di Balik Wabah Covid-19
Pengajar di Universitas Muhammadiyah Makasar Dr. Dahlan Lama Bawa (kanan)/Net
MAQASHID Syari’ah adalah tujuan atau rahasia Allah dalam setiap hukum syariah-Nya. Menurut  ar-Risuni, Maqashid Syari’ah adalah tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah syari’at untuk mewujudkan kemaslahatan hamba.

Imam Syatibi mendifinisikan Maqashid Syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan hukum/syari’ah menurut Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan di sini diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut kesehatan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang sifatnya mutlak, yakni kebutuhan jazadiyah manusia seperi makan dan minum (pangan), pakaian (sandang) dan tempat tinggal (papan).

Hal tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan manusia terhadap harta itu sifatnya mutlak, dengan kategori primer, sekunder dan tersier. Sedangkan kebutuhan ruhaniyah manusia meliputi  kebutuhan untuk mensucikan jiwa dari dosa dengan cara bertaubat (Qs.al-Baqarah ayat 222), dan dengan cara melaksanakan perintah Allah tentang khud min amwaalihim shadaqah watuthahhiruhum watuzakkaihim, yakni ambillah zakat dari sebagian harta mereka untuk membersihkan dan mencusikan mereka, termasuk zakat fitri sebagai washilah atau jalan untuk meraih predikat taqwa di akhir ramadhan (la’alakum tattakuun).

Imam Asy-Syatibi menjelaskan ada 5 (lima) bentuk Maqashid Syari’ah atau yang disebut dengan kulliyat al-khamsah, 5 (lima) prinsip umum.

Kelima perkara tersebut wajib dijaga, dipelihara dan dilindungi secara mutlak, dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh oleh pemerintah, kelompok masyarakat, keluarga maupun setiap diri pribadi hamba, apalagi dalam keadaan wabah Covid-19 seperti saat ini.

1. Hifdzu Din (Melindungi Agama)


Ketika wabah melanda seantero dunia, tidak terkecuali Indonesia, Badan Kesehatan Dunia atau WHO mengeluarkan pernyataan Darurat Pandemi Covid-19, menyusul Protokol Kesehatan untuk mencegah penularan virus,  menjaga keselamatan dan melindungi penduduk dunia dari serangan Covid-19.

Demikian pula, para mufti dan ulama mengeluarkan fatwa terkait Covid-19, khususnya tata cara pelaksanaan ajaran agama. Seperti shalat berjamaah di rumah, shalat dengan shaf berjarak, dan lain-lain.  Fatwa tersebut merupakan wujud nyata ikhtiar dari para ulama untuk menjaga Agama Allah (Hifdzu Din).

Adapun cara menjaganya adalah dengan cara menjaga tiga rukun dari sebuah agama secara simultan, yakni Tuhan, Kitab dan Nabi.

Dalam praktiknya, fatwa ulama dan ulil amri (pemerintah) memerintahkan agar menggunakan masker, menjaga jarak (social distancing) dan mencuci tangan.

Hal ini merupakan realisasi keimanan kita pada perintah Allah dalam al-Qur’an ”Hai Orang-Orang Yang Beriman, Taatilah Allah, Rasul-Nya dan Para Pemimpin Diantara Kamu…” (Qs. An-Nisa ayat 59).

Ayat tersebut, menyingkap hikmah di balik ketaatan kita pada pemimpin atas anjuran Protokol Kesehatan mengandung beberapa hikmah antara lain:

a. Ketaatan pada fatwa ulama dan anjuran pemerintah, pada hakekatnya adalah wujud dari kualitas keimanan seseorang,  sehingga ia taat kepada Allah, ia taat kepada Kitabullah dan ia taat pada Rasul Allah. Dalam konteks ini, seorang hamba sedang terlibat aktif dalam Hifdzu Din (Melindungi Agama)

b. Jika kalian berselisih paham terhadap sebuah fatwa atau perintah yang sesungguhnya merupakan turunan dari hukum-hukum Allah, maka kembalilah merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah karena itu lebih utama dan lebih baik akibatnya bagimu.

2. Hifdzu Nafs (Melindungi Jiwa/Diri)


Jiwa dan diri kita wajib dilindungi karena agar supaya tujuan diciptakan manusia tetap tertunaikan, tidak bias, apalagi terlupakan, yakni manusia sebagai hamba dan khalifah.

Sebagai hamba yang memiliki dimensi jiwa dan diri, diusahakan agar setiap diri selalu dalam keadaan sehat wal afiat supaya  dapat  mewujudkan tujuan hidupnya, yakni beribadah kepada Allah (Qs.Adz-Dzaariyat: 56)

Sebagai khalifa apabila setiap diri sehat walafiat, maka manusia dapat mewujudkan tugasnya sebagai khalifah yang diberi amanah untuk mengola alam ini sebagai sumber rezki.

3. Hifdzu Aql (Melindungi Pikiran/Akal)


Akal merupakan master atau pusat  motorik dan bahasa manusia, karena itu wajib dijaga agar kehidupan tetap terarah sesuai tujuan hidup. BJ Habibie dan Dr. Taufiq dari Universitas Gajah Mada (UGM) mendefinisikan bahwa akal/pikiran itu bersumber dari perpaduan otak dan hati, karena itu wajib menjaga otak agar tidak rusak dan hati agar tetap jujur, tidak dihasut oleh rasa iri, benci, dengki, dan lain-lain.

Menjaga otak agar tetap sehat dan waras, sebab apabila geger otak, stoke dan atau dirusak dengan nikotin dari rokok, minumas keras dan atau narkoba, maka dipastikan motorik otak akan terganggu, tidak berfungsi lagi secara normal, masa depan pun terancam, juga kehilangan harapan hidup, serta kehilangan  kemampuan untuk bertahan hidup

 Secara teknis, apabila naik motor, maka gunakan helm untuk melindungi karunia Allah yang bernama otak, ditempakan di tempat yang sempit, dengan system yang rumit, namun memiliki kecepatan 1 milyar mega bite.

Jangan menggunakan helm hanya karena takut teguran dan tilang dari polisi, karena polisi itu hanyalah instrument pemerintah. Menggunakan helm, untuk menjaga otak yang merupakan karunia Allah yang maha dahsyat manfaatnya.

Dalam konteks akal atau pikiran, juga wajib dijaga dan dibimbing wahyu, akan selamat dan menyelamatkan, dan bila akal tidak dibimbing oleh wahyu akan sesat dan menyesatkan. Sungguh bahagia dan bersyukur kita ini sebagai orang mukmin, yang akal kita dibimbing oleh wahyu sehingga akal pun tunduk pada kehendak wahyu.

Sebagai contoh, di siang hari ramadhan, tersedia makanan yang halal tapi mau menahan lapar dan  tersedia istri yang sah tapi menahan diri untuk tidak bercampur di siang hari ramadhan. Semua itu dapat dikendalikan, sebagai bukti akal pikiran kita tunduk pada wahyu.

Sebaliknya, bila akal yang tidak dibimbing oleh wahyu, maka ia akan menjadi liar, tidak akan tunduk pada perintah wahyu untuk membayar zakat, infaq dan shadaqah, karena akal liarnya berkata, “saya yang berkerja keras, saya yang berusaha, memulai dengan modal usaha kredit atau berutang, setelah berhasil, kok hasilnya diberikan kepada yang lain”. Itulah contoh, akal yang tidak terbimbing dan tunduk pada wahyu.

Namun apabila akal yang tunduk pada wahyu, maka jangankan zakat, infaq dan shadaqah, wakaf tanah, bangunan, dan tanaman di atas tanah pun ikhlas ia lepas demi tunduknya akal pada wahyu. Di sinilah letak Penting dan hikmahnya Hifdzu Aql (Melindungi Akal)

4. Hifdzu Mal (Melindungi Harta)


Tujuan Melindungi Harta adalah untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup umat manusia, khususnya orang-orang mukmin. Harta merupakan kebutuhan mutlak unsur jazadiyah manusia. Dengan harta manusia dapat bertahan hidup, seorang hamba menjadi bertaqwa. Tanpa harta seorang hamba menjadi fakir, karena itu wajib menjaga harta dari aspek kehalalannya, dari cara memperolehnya, dan dari zatnya yang baik, sehat dan thayyib.

Menurut Imam Al-Ghazali, harta yang halalan thayyibah dapat menolong seorang hamba untuk menjadi “sa’idun fi dunya wa sa’idun fil akhira” (bahagia di dunia dan bahagia pula di akhirat), sebaliknya harta yang diperoleh dengan cara bathil, maka akan mengakibatkan “sakiyun fi dunya wa sakiyun fil akhirah” (derita di dunia dan derita pula diakhirat). Di sinilah letak penting dan hikmahnya Hifdzu Mal (Melindungi Harta)

5. Hifdzu Nasab (Melindungi Keturunan)


Keturunan perlu dijaga kehormatan dirinya atau muru’ah serta dijaga marwah keluarganya. Keturunan dijaga agar manusia tidak punah di alam ini, tentu dengan cara menikah dengan yang bukan muhrimnya dan dengan lawan jenisnya (antara perempuan dengan laki-laki). Dilarang menikah sesama jenis karena dipastikan keturunan anak manusia akan punah.

Selanjutnya dijaga keturunan atau generasi dari determinasi narkoba, gangguan miras, hadirnya generasi syubhat dan syahwat, generasi bermental hypokrit dan sekuler, serta generasi Islam yang anti Islam dan lain-lain. Di sinilah diperlukan Hifdzu Nasab (Melindungi Keturunan).

Betapa pentingnya menjaga keturunan ini Allah  Swt berfirman: "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan generasi yang lemah yang mereka sendiri khawatir atas masa depan mereka dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar" (Qs.An-Nisa ayat 9).

Sebagai kesimpulannya,

1.   Maqashid Syar’ah diperlukan pada musim wabah Covid-19 seperti saat ini, maupun tanpa wabah adalah hal yang niscaya.

2. Hikmah dibalik Wabah Covid-19 adalah semakin meneguhkan keyakinan kita terhadap pentingnya melindungi agama, jiwa, akal, harta dan keturunan untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup umat manusia.

3. Mengikuti Fatwa Ulama dan taat pada perintah Ulil Amri (Pemerintah) dalam hal Protokol Covid-19, merupakan bukti keimanan kita pada ketentuan atau hukum-hukum Allah. Namun apabila kalian berselisih terhadap hal yang diperintahkan, maka kembalilah kepada Al-Qur’an dan Sunnah, karena itu lebih utama dan lebih baik akibatnya bagimu. rmol news logo article

Dr. Dahlan Lama Bawa

Pengajar di Universitas Muhammadiyah Makasar

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA