Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Polemik Hak Paten Vaksin Covid-19

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yudhi-hertanto-5'>YUDHI HERTANTO</a>
OLEH: YUDHI HERTANTO
  • Minggu, 30 Mei 2021, 23:05 WIB
Polemik Hak Paten Vaksin Covid-19
Ilustrasi vaksin Covid-19/Net
Dibutuhkan! Vaksin Covid-19 kini menjadi kebutuhan dasar untuk keluar dari pandemi. Seluruh dunia bersaing untuk mendapatkannya.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Beberapa merek vaksin telah memperoleh lisensi WHO untuk digunakan secara emergensi. Pada akhirnya penanganan pandemi menyisakan jurang kesenjangan.

Ketimpangan terjadi bagi negara-negara miskin, terbelakang dan berkembang. Kapasitas ekonomi yang terbatas menyebabkan akses vaksin sangat bergantung atas kemurahan hati negara maju.

Salah satu usulan yang diajukan dalam mengurai kondisi yang tidak seimbang ini adalah dengan menghilangkan hak paten atas vaksin. Negara pengusulnya diwakili Afrika Selatan dan India.

Ironisnya, India menjadi negara yang memproduksi vaksin Covid-19 berskala besar, namun tidak memiliki patennya. Bahkan negeri tersebut tengah berhadapan dengan gelombang pasang kasus Covid-19.

Upaya penghapusan hak paten vaksin Covid-19 tersebut didasarkan pada asumsi bahwa pandemi yang bersifat global membutuhkan respon bersama melalui vaksinasi serentak.

Mata rantai penularan harus diputus. Tidak ada pihak tertinggal, dari upaya melawan pandemi-no one is safe until everyone is. Hak paten menjadi ruang eksklusif yang mempersulit akses publik.

Tantangan Inovasi

Tentu tidak mudah menyelesaikan polemik hak paten. Bahkan karena soal nilai paten yang didapatkan perusahaan farmasi ini menjadi pokok utama dari teori konspirasi.

Wabah yang berbiak tanpa terkendali merupakan rekayasa, dalam pandangan penikmat konspirasi, merujuk kepentingan elit global untuk mendulang untung dari musibah dunia.

Disisi lain, penolakan negara-negara maju disandarkan pada kerangka inovasi yang menghasilkan berbagai penelitian atas vaksin Covid-19 yang selama ini dikerjakan oleh pihak swasta.

Penghapusan hak paten disebut akan menjadi ancaman bagi ruang kreativitas ilmiah. Pada pangkal masalah tersebut, duduk perkara harus ditempatkan secara proporsional.

Konstruksinya, (i) pandemi adalah masalah bersama, (ii) penularan terjadi melalui kontak sosial, dengan begitu upaya perlindungan harus dilakukan bagi semua.

Lebih jauh lagi, kita perlu memasukan peran swasta, (iii) institusi penelitian vaksin membutuhkan insentif sebagai bagian dari stimulus inovasi, (iv) nilai keberhasilan inovasi dikalkulasi melalui fungsi komersialisasi.

Kuasa Pengetahuan

Kritik terbesar dari Guru Besar Linguistik Amerika Serikat Noam Chomsky terkait pandemi adalah gagalnya sistem kapitalisme yang memiliki fokus pada orientasi akumulasi keuntungan, sehingga mengabaikan nilai kemanusiaan yang muncul melalui fenomena pandemi.

Ilmu pengetahuan adalah kekuasaan, demikian disebut filsuf Michel Foucault. Keduanya berjalan secara dialektik. Pengetahuan melahirkan kekuasaan, dan pada kelanjutannya kekuasaan dikukuhkan melalui pengetahuan.

Tidak mengherankan bila negara-negara maju seolah memiliki legitimasi semu dalam mengatur dunia, karena dominasi pengetahuan yang dimilikinya. Termasuk soal vaksin dalam pandemi.

Bagi filsuf Slavoj Zizek, pandemi mengisyaratkan perlunya peribahan tata kelola dunia. Kepemilikan menjadi pangkal persoalan, karena individualisme menjadi penghalang bagi kepentingan kolektif.

Lalu bagaimana keluar dari polemik hak paten disaat pandemi? Lagi-lagi, konsep pokoknya perlu dipahami, bahwa pandemi adalah ancaman bagi eksistensi manusia tanpa terkecuali.

Dengan berdasar hal tersebut, maka terdapat urgensi untuk bersama-sama keluar dari problematika pandemi, meski tetap perlu memperhitungkan keterlibatan peran swasta.

Dimungkinkan terdapat opsi solusi dalam menghilangkan paten serta berbagi formula bagi akses produksi vaksin Covid-19, yang hingga kini masih berstatus pandemi serta melanda seluruh penjuru dunia.

Termasuk diantaranya: (i) penentuan batas maksimum marjin keuntungan yang bahkan dapat dipenuhi bahkan oleh negara miskin sekalipun, dengan mengandalkan volume populasi, (ii) pendanaan global bersama dalam refund pembiayaan penelitian vaksin, (iii) pemberian insentif pajak global bagi lembaga penelitian vaksin.

Pada kesejatiannya manusia adalah makhluk sosial -homo socious, hidup dalam lingkup sosialnya, dan dengan itu manusia selalu bernegosiasi dengan pihak lain untuk membangun kesepakatan serta kesepahaman.

Bila telah sampai pada pemaknaan sedemikian, maka mengatasi pandemi berubah dari kompetisi menjadi kompromi serta kolaborasi peran antar negara untuk saling bekerjasama dengan tujuan sesegera mungkin keluar dari pandemi. rmol news logo article

Penulis Tengah Menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA