Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Akuntansi Lingkungan Dan Agenda Pemberantasan Korupsi

Selasa, 25 Mei 2021, 03:37 WIB
Akuntansi Lingkungan Dan Agenda Pemberantasan Korupsi
Muhammad Aras Prabowo/RMOL
MASIH segar dalam ingatan masyarakat Indonesia mengenai kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Sulawesi Tenggara(Sultra) Nur Alam. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Sultra, Nur Alam sebagai tersangka kasus korupsi atas penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Provinsi Sultra, tahun 2009-2014.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Kalai itu, Nur Alam terjerat korupsi akibat penyalahgunaan wewenang dengan menerbitkan SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan dan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.

Selanjutnya, penerbitan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB), selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.

Akhirnya, Nur Alam disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang Undang 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah  dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Berdasarkan penilaian Mahkama Agung (MA) bahwa Nur Alam terbukti korupsi perizinan sehingga Negara telah dirugikan Rp 4,3 triliun. Namun yang menarik, berdasarkan pendalaman oleh KPK kerugian Negara sebanyak Rp 4,3 triliun bukan hanya kerugian materil, melainkan kerugian akibat kerusakan lingkungan sebesar Rp 2,7 triliun akibat kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan PT Anugrah Harisma Barakah di Pulau Kabaena.

Menurut ahli kerusakan lingkunan Basuki Wasis, terdapat tiga jenis penghitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan. Pertama, total kerugian akibat kerusakan ekologis. Kemudian, kerugian ekonomi lingkungan. Ketiga, menghitung biaya pemulihan lingkungan.

Akuntansi Lingkungan

Tuntutan KPK terhadap Gubernur Sultra non aktif patut dijadikan diskursus dan pendalaman/pengembangan yang komprehensif, baik oleh Sumber Daya Manusia (SDM) KPK, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKB).

Selain itu, Perguruan Tinggi (PT) melalui akademisi akuntansi harus berpartisipasi melalui kajian dan penelitian terkait akuntansi lingkungan.

Banyaknya publikasi mengenai hal tersebut, akan memudahkan lembaga KPK, BPK dan BPKP dalam melakukan pemeriksaan dan penilaian ekonomis terhadap aktivitas pertambangan.

Kajian akuntansi lingkungan dalam ilmu akuntansi dalam beberapa tahun belakangan telah banyak dikembangkan, baik melalui pertemuan ilmiah maupun dalam bentuk publikasi. Namun, kajiannya masih dalam ruang lingkup tanggung jawab korporasi terhadap lingkungan sekitarnya. Yaitu dampak aktivitas perusahan terhadap lingkungan.

Selama ini yang baru dilakukan oleh korporasi bagi lingkungan sekitarnya adalah Corporate Social Responsibility (CSR). Yaitu laporan korporasi atas aktivitas sosial yang dilakukan dalam menangulangi dampak lingkungan yang disebabkan oleh operasi perusahaan, masih sebatas penggugur kewajiban.

Hal tersebut tertuang dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 Paragraf 12 Revisi 2009 tentang Penyajian Laporan Keuangan bahwa laporan mengenai lingkungan hidup dapat disajikan secara terpisah dari laporan keuangan. Laporan tambahan ini di luar ruang lingkup Standar Akuntansi Keuangan (SAK).

Peraturan yang menyinggung soal CSR yaitu UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), PP 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas, UU 25/ 2007 tentang Penanaman Modal, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selain itu, ada Permen BUMN No. PER-05/MBU/2007 yang diubah dengan Permen BUMN No. PER-08/MBU/2013 Tahun 2013 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan.

Soal akuntansi lingkungan belum memiliki aturan secara khusus, baik dalam PSAK maupun dalam UU. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam penilaian ekonomis atas kerugian lingkungan terhadap aktifitas korporasi harus disusun peraturan mengenai akuntansi lingkungan dalam PSAK sama seperti akuntansi zakat dan akuntansi syariah.

Sekaligus mewujudkan hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) mengenai lingkungan yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 22 September 2009 di Pittsburgh, Amerika Serikat mengenai pentingnya hubungan antara hal keuangan dengan hal lingkungan.

Menghitung Kerugian Lingkungan

Telah disebutkan bahwa ada tiga jenis penghitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan. Dasar perhitungannya bisa mengacu pada kerugian akibat kerusakan ekologis dan kebudayaan, kerugian ekonomi, pemulihan lingkungan.

Pertama, kerusakan ekologis dan kebudayaan bisa dihitung secara ekonomis atas kerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menangani soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsen terhadap lingkungan.

Tentu mereka memiliki hitungan ekonomis dalam mengeluarkan AMDAL, termasuk mengukur secara ekonomis atas kerusakan lingkungan.

Kedua, kerugian ekonomi adalah dampak kerusakan lingkungan terhadapa masyarakat disekitar lingkungan operasi korporasi. Kerugiannya dapat dihitung dari penurunan penghasilan masyarakat sekitar atas ektifitas perusahaan tersebut.

Jika diakumulasi bisa menjadi dasar kerugian ekonomis yang harus ditanggung oleh korporasi. Sehingga tuntutannya bukan hanya kerugian terhadap Negara, tapi mengganti kerugian masyarakat yang terdampak secara ekonomis.

Ketiga, pemulihan lingkungan dapat diukur secara ekonomis melalui perhitungan luas wilayah yang mengalami kerusakan. Biaya pemulihan bisa dihitung dari jumlah bibit pohon yang dibutuhkan (bagi wilayah bekas tambang), biaya pemeliharan pohon hingga lingkungan tersebut sudah dinyatakan normal.

Kesimpulannya bahwa tidak mustahil untuk menghitung kerugian lingkungan secara ekonomis. Kuncinya  adalah harus kolaborasi antara lembaga, yaitu KPK dengan berbagai pihak yang memiliki keahlian dibidang bersangkutan. Bukankah penganggulangan korupsi akan efisien jika melibatkan seluruh elemen negara, organisasi hingga masyarakat.

Dan yang tidak kalah pentingnya, yaitu mendorong penerbitan peraturan khusus mengenai akuntansi lingkungan dalam PSAK. Sehingga bisa mengembangkan kajian akuntansi lingkungan secara komprehensif.

Karena konsep perhitungan yang saya paparkan di atas baru mengenai kerugian lingkungan yang disebabkan oleh pertambangan. Dalam kasus yang lain, bisa saja memiliki perhitungan yang berbeda, sangat tergantung pada kerugian yang ditimbulkan.

Yang penting adalah peraturan mengenai akuntansi lingkungan sebagai dasar hukum yang bisa digunakan KPK dalam menghitung kerugian lingkungan.

Saya yakin banyak kasus korupsi dibidang korporasi yang mengakibatkan kerugian lingkungan selain Gubernur Sultra Nur Alam, tetapi terkendala pada perhitungan nilai ekonomis.

Termasuk beberapa praktik pertambangan yang dilakukan oleh korporasi di bawah BUMN berpotensi menimbulkan kerugian lingkungan, contohnya adalah PT Semen Indonesia yang merugikan masyarakat Kendeng, Rembang, Jawa Tengah.rmol news logo article

Muhammad Aras Prabowo
Penulis adalah Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) dan Kandidat Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA