Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Poros Serpong: Mengorbit Di Blantika Politik Nasional

Rabu, 19 Mei 2021, 09:32 WIB
Poros Serpong: Mengorbit Di Blantika Politik Nasional
Rizal Ramli (kanan), LaNyalla Mattalitti (tengah), dan Gatot Nurmantyo (kiri) dalam pertemuan di Sekolah Insan Cendekia Madani, Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (7/5)/Ist
POROS Serpong mengorbit di blantika politik nasional. Lema Poros Serpong jadi perbincangan hangat dan fenomenal. Agenda buka puasa bersama para tokoh bangsa, menjelma jadi gema di panggung politik kontemporer Indonesia.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Dari Aula Sekolah Insan Cendekia Madani, Serpong, cerita itu bermula. Sebuah kisah tentang bertemunya tiga tokoh bangsa: Ketua DPD LaNyalla Mattalitti, mantan Panglima TNI yang kini Presidium KAMI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, dan ekonom senior Dr. Rizal Ramli, bersama sejumlah tokoh lainnya.

Selaku inisiator, kami tidak meramu pertemuan itu untuk misi politik tertentu. Tetapi publik merespon berbeda. Pertemuan Serpong dipandang cikal bakal lahirnya Poros Serpong, sebuah kekuatan politik alternatif dari deretan nama-nama lawas yang sabang pemilu selalu dijajakan.

Nama-nama lawas itu barangkali telah membuat publik merasa jenuh. Atau sebagiannya mungkin kecele. Maklum saja, dalam beberapa putaran pemilu terakhir, memori kolektif mereka masih segar mencatat pasangan Jokowi-Ahok diantar Prabowo menuju kursi Gubernur DKI. Satu kubu politik ini kemudian pecah dan saling berhadapan pada dua kali penyelenggaraan pilpres.

Kohesivitas Sosial

Persaingan ketat dengan tensi politik tinggi nan panjang telah membuat masyarakat terbelah. Juga lelah. Beberapa kalangan menilai, keterbelahan masih menguat meski pentas politik nasional telah menyuguhkan ending yang super manis bernama rekonsiliasi. Ya, Jokowi dan Prabowo kembali akur dan bahkan duduk dalam satu pemerintahan yang sama.

Tetapi sifat rekonsiliasi itu sangat elitis. Akar rumput tak ikut berjabat hati. Yang ada, malah tak henti beradu opini di media sosial.

Gesekan demi gesekan membuat kohesivitas sosial merapuh. Apalagi, belitan krisis ekonomi yang tak kunjung menemui penyelesaian tuntas mengundang krisis di sektor lain. Pun, utang negara kian membengkak di tengah pembangunan infrastruktur yang sebagian tak memenuhi sasaran dan sebagian lagi terancam mandek. Bandara Kertajati yang berubah fungsi menjadi bengkel pesawat dan rel kereta api Jakarta-Bandung, misalnya.

Bisa jadi, rentetan cerita pilu itu membuat sebagian publik mendamba sosok baru di luar lingkaran yang selama ini mengendalikan kebijakan negara. Rindu itu, terjawab dengan upaya memunculkan banyak alternatif di dalam panggung politik nasional. Figur-figur punya rekam jejak terang benderang. Yang mampu memperkuat kembali olitik nilai.

Bukan elit yang fasih meramu benih politik bar-bar. Model politik bar-bar diindikasikan oleh maraknya kekerasan verbal, penyebaran kabar bohong, dan dengung kebencian. Model politik bar-bar terlihat saat lawan politik terindikasi dihabisi dengan senjata delik hukum atau cara-cara tidak sehat lain.

Kudeta Partai Demokrat tempo hari misalnya, menurut sebagian kalangan adalah contoh politik bar-bar. Tetapi pucuk pimpinan negeri ini bergeming, meski tokoh utama kudeta adalah lingkaran terdekatnya

Politik bar-bar tidak hanya mendistorsi seni berpolitik, tetapi juga menenggelamkan esensi politik itu sendiri. Politik sejatinya fungsional mengangkat harkat martabat manusia. Politik sejatinya mencerahkan, bukan sebalikya.

Idul Fitri Politik

Dalam konteks itulah pertemuan Serpong diadakan. Tujuannya, mencari solusi alternatif di tengah kebuntuan politik bermartabat. Momentumnya adalah Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 2021. Maka pertemuan yang dikemas buka puasa bersama adalah logis. Spirit Ramadhan dan Idul Fitri harusnya berimplikasi secara mendalam bagi kerukunan kehidupan sosial, khususnya dinamika politik nasional.

Bangsa sudah sangat lelah saling berhadapan secara tajam. Bayangkan. Hanya karena mengkritisi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diadakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Mochtar Ngabalin menyebut Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas berotak sungsang. Pemuda Muhammadiyah meradang. Dan kegaduhan yang tidak perlu direpetisi. Seolah bangsa ini sudah tidak punya urusan yang lebih urgen.

Yang dilakukan oleh Ngabalin adalah refleksi paling mutakhir dari cara sebagian politisi meruntuhkan martabat politik. Terbiasa melontarkan term-term untuk memproteksi kekuasaan, namun mendegradasi kepercayaan publik pada proses politik. Di luar sana, di level rakyat yang terbelah, jual beli caci maki terjadi saban waktu.

Ramadhan dan Idul Fitri harusnya membasuh jiwa dan pikiran kita agar teduh mengemukakan gagasan dan sejuk dalam berargumentasi. Ramadhan dan Idul Fitri harusnya menjadi momentum kita membangun keadaban politik. Jika output Ramadhan dan Idul Fitri adalah merebut derajat takwa, maka semangat takwa harusnya terefleksi pada segenap tingkah laku. Termasuk saat mengekspresikan sikap politik.

Relasi filosofis itu harus didengungkan dan ditularkan secara lantang. Panggilan spiritual ini pula yang melatarbelakangi pertemuan Serpong, 7 Mei 2021 lalu. Bahwa politik bukan sebatas perebutan kekuasaan. Lebih dari itu, politik adalah medium aktualisasi titah Ilahi agar kita menjadi khalifah di muka bumi. Membangun peradaban untuk kebaikan bersama tanpa sekat dan stratifikasi. Apalagi elitisme.

Tetapi media punya persepsinya sendiri. Begitu pula dengan khalayak audiens. Yang menggema kemudian adalah istilah Poros Serpong. Kesan politis dari pertemuan tersebut akhirnya kita tangkap sebagai harapan. Telah hadir figur alternatif yang akan bertarung dalam kontestasi pemilihan presiden di babak berikutnya. rmol news logo article

Tamsil Linrung
Anggota DPD RI, mantan anggota DPR RI.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA