Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Korelasi Menurunnya Kualitas Demokrasi Dan Meningkatnya Korupsi Di Indonesia Dalam 5 Tahun Terakhir

Rabu, 28 April 2021, 06:00 WIB
Korelasi Menurunnya Kualitas Demokrasi Dan Meningkatnya Korupsi Di Indonesia Dalam 5 Tahun Terakhir
Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) sekaligus Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gde Siriana Yusuf/Net
Indeks Persepsi Korupsi-IPK (Corruption Perception Index-CPI) yang dikeluarkan Berlin-based Transparency International sejak 1995, menunjukkan bahwa IPK Indonesia tahun 2020 melorot tiga poin dibanding tahun 2019, dan menempati ranking 101 dari 179 negara.

Jika dilihat sejak 2015-2020, maka skornya pun tidak berubah banyak. Tahun 2015 skornya 36 dengan posisi di ranking 88. Meskipun 2020 skornya naik menjadi 37, tetapi rankingnya melorot jauh ke posisi 101. Artinya banyak negara lain yang lebih baik dalam pemberantasan korupsinya sehingga menyalip posisi Indonesia.

Dalam hal ini, tentu peran dan efektivitas KPK sebagai garda depan pemberantasan korupsi patut dipertanyakan.

Bahkan dari dua peristiwa terakhir di tahun 2021 yang melibatkan oknum KPK yaitu penggelapan barang bukti dan suap kepada penyidik KPK menunjukkan bahwa KPK mengalami penurunan kualitas. Bahasa yang lebih halus dari pada degradasi moral.

Juga peristiwa dua menteri yang dijadikan tersangka oleh KPK, sangat mungkin perisitiwa ini yang dapat menurunkan kepercayaan publik pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Tentunya sangat mungkin ini semua menurunkan skor dan posisi Indonesia dalam daftar Indeks Persepsi Korupsi tahun 2021.

Indeks Demokrasi Indonesia

Menurunnya indeks persepsi korupsi ini juga seiring dengan menurunnya indeks demokrasi di Indonesia.

Indeks demokrasi yang disusun oleh the Economist Intelligence Unit (EIU), divisi riset dari the Economist Group yang berbasis di UK, menempatkan indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 di ranking 64 dari 167 negara.

Fakta global menunjukkan banyak negara mengalami penurunan skor indeks demokrasi selama masa pandemi Covid-19.

Sangat mungkin selama pandemi pemerintahan di banyak negara merespon pandemi dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak melalui proses demokratis yang melibatkan peran serta publik sehingga kebijakannya dianggap tidak sesuai harapan publik atau pro masyarakat banyak.

Tetapi meskipun secara global banyak negara yang mengalami penurunan indeks demokrasi, yang memprihatinkan di Indonesia adalah bahwa dalam lima tahun terakhir, 2015-2020 telah terjadi tren penurunan indeks demokrasi. Jika tahun 2015 skornya 7,03 dengan ranking 49, maka di 2020 turun drastis skornya menjadi 6,30 di rangking 64. Sedangkan untuk masuk level negara full-democracy skornya harus mencapai delapan.

Artinya dalam lima tahun terakhir terjadi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Bandingkan dengan Timor Leste yang rankingnya relatif tetap di posisi 44, baik di tahun 2015 maupun tahun 2020.

Meskipun terjadi perubahan kriteria penilaian indeks demokrasi dalam beberapa tahun terakhir, tidak bisa disangkal bahwa penurunan ranking menunjukkan ada negara lain yang lebih baik kulitas demokrasinya sehingga menyalip posisi Indonesia.

Korelasi Kualitas Demokrasi & Korupsi di Indonesia

Melihat tren penurunan indeks demokrasi dan indeks persepsi korupsi di Indonesia dalam lima tahun terakhir, menarik untuk munculnya suatu hipotesa bahwa ada korelasi antara menurunnya kualitas demokrasi dan meningkatnya korupsi di Indonesia dalam 5 tahun terakhir.

Meskipun hipotesa itu perlu dibuktikan dengan metodelogi kuantitatif, setidaknya secara kualitatif beberapa fakta dapat dijadikan dasar bagi hipotesa tersebut.

Misalnya tidak berfungsinya peran dan fungsi parlemen sebagai saluran demokrasi sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan karena hampir semua Parpol Politik (fraksi) menjadi bagian dari koalisi kabinet Jokowi.

Sangat wajar jika kemudian kebijakan yang dianggap publik sebagai kebijakan yang berpotensi rente atau dikorupsi tidak mendapatkan resistensi dan pengawasan yang proper dari parlemen.

Kita bisa menyaksikan bagaimana resistensi publik pada kebijakan Kartu Pra Kerja di awal pandemi yang kemudian direvisi karena tekanan publik yang amat kuat. Juga resistensi publik pada Omnibus-Law Cipta Kerja yang dianggap lebih pro pengusaha. Ketidaktransparanan pembuat kebijakan patut dianggap sebagai kebijakan rente atau kebijakan yang koruptif karena adanya kolusi antara pembuat kebijakan dan pengusaha.

Juga mekanisme threshold pada kontes politik yang menimbulkan mahar politik untuk elit-elit parpol. Mekanisme ini faktanya dapat menurunkan kualitas demokrasi karena pencalonan kontestan politik sangat ditentukan oleh uang bukan karena partisipasi atau kehendak rakyat. Ujungnya, kontes politik berbiaya tinggi ini menjadi motif dari kasus korupsi kepala daerah terpilih di kemudian hari.

Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan awal, bahwa selama masih ada mahar politik akibat aturan threshold atau kontes politik yang berbiaya tinggi, maka kasus korupsi dan kebijakan yang koruptif (rente) di Indonesia akan sulit diberantas.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) sekaligus Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gde Siriana Yusuf. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA