Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

'The Stupidity of Imlek 2021', Imlek Indonesia 2572 Kongzi Li

Minggu, 07 Februari 2021, 08:40 WIB
'<i>The Stupidity of Imlek 2021</i>', Imlek Indonesia 2572 Kongzi Li
Founder Generasi Muda Khonghucu Indonesia (Gemaku), Js. Kristan/Net
THE definition of stupid is knowing the truth, seeing the truth bit still believing the lies.

Kalimat di atas ialah kutipan dari seorang Morgan Freeman artis hollywood yang terkenal itu.

Kalimat tersebut terasa sangat cocok sekali untuk mendeskripsikan fenomena “culture shock” gegar budaya yang dialami masyarakat Tionghoa Indonesia dalam konteks memaknai fenomena Imlek di Indonesia ketika jaman Orde Baru.

Kita semua tahu pemerintahan Soeharto di masa Orde Baru telah menyisakan pengalaman diskriminatif bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Namun di tahun 2000 sejarah berubah beruntung rakyat Indonesia pernah punya Abdurrahman Wahid yang dapat membalikkan keadaan diskriminasi dan rasisme pemerintah Orde Baru.

Untuk itu, menjadi menarik jika kita telusuri perjalanan perayaan Imlek di Indonesia dan tentunya memang berbeda konteks dengan apa yang terjadi di negara lain di luar Indonesia.

Dalam konteks Indonesia ketika jaman Orde Baru berkuasa Imlek mengalami apa yang disebut di buang, ditolak, diabaikan dan bahkan dianggap berbahaya sehingga semua orang Tionghoa non Khonghucu pada saat Orde Baru (sebagian besar dari mereka walaupun tidak semua) berbondong-bondong menjauhi bahkan menolak Imlek.

Menuduh Imlek bukan hari raya agama dan sebagainya, yang intinya ingin mengeliminasi keberadaan Imlek di Bumi Indonesia pada saat itu.

Sejarah mencatat hanya teman-teman Khonghucu-lah yang tetap konsisten memperjuangkan dan merayakan Imlek ditengah intimidasi rezim Orde Baru yang diskriminatif. Orang Khonghucu dengan keyakinannya yang kuat tetap melakukan ritual dan persembahyangan Imlek di kelenteng-kelenteng yang ada di Indonesia.

Religiusitas Imlek yang telah dilakukan selama berabad-abad sebelum masehi justru begitu absurd ketika tahun Imlek ditulis dengan hitungan tahun kalendar Gregorian, tentunya kekeliruan ini sangat tidak masuk akal. Dalam sejarahnya Imlek di Indonesia dilestarikan oleh teman-teman Tionghoa di mana mereka pada tahun 1900 telah membentuk sebuah organisasi Tionghoa yang bernama Tiong Hoa Hwee Koan.

Organisasi ini memiliki visi dan misi mengembangkan ajaran Khonghucu. Identitas Imlek bagi Tiong Hoa Hwee Koan ialah berdasarkan sumber-sumber teologis ajaran Khonghucu dimana tahun Imlek dihitung dari tahun lahirnya Confucius (Kongzi/Khong Hu Cu).

Hal tersebut juga dapat dibuktikan dengan literatur sejarah yang masih utuh dapat kita baca, ketika pada sekitar tahun 1900an tersebut penanggalan Imlek di Indonesia merujuk pada tahun lahir Confucius, yaitu yang hari ini jatuh ke yang 2572, di mana angka tersebut diambil dari angka tahun kelahiram Confucius 551 SM + 2021=2572.

Jadi penanggalan tersebut bukanlah hal yang tanpa dasar, karena sebagian orang masih menganggap penanggalan tersebut hanyalah sesuatu hal yang dipaksakan pasca Orde Baru dan sejak hak-hak penganut Agama Khonghucu dipulihkan kembali pasca tahun 2000an.

Hal ini juga memang berdasarkan apa yang disarankan oleh kaum reformis di Tiongkok saat akhir-akhir selesainya dinasty Qing, dimana tokoh reformasi yang bernama Kang You Wei juga merumuskan hal yang sama ketika mencoba menstandarisasi tahun Imlek di Tiongkok berdasarkan tradisi yang panjang sejak jaman dinasti Han yang mengakomodir seluruh tradisi ajaran Khonghucu sehingga perhitungannya dimulai dari tahun lahir Confucius berdasarkan kalender Lunisolar (Nongli), yang mana Confucius dalam Lunyu menyarankan menggunakan penanggalan dinasti Xia yang hari ini kita kenal bertransformasi sebagai kalender Lunisolar (Imyang Lek yang disingkat menjadi Imlek).

Berbeda lagi dengan cerita penanggalan imlek versi tahun lahir Huang Di. Sebagian kelompok yang mungkin masih tak rela melihat kebesaran Confucius sengaja mempertahankan pemahaman penanggalan tersebut. Padahal kita semua tahu sampai saat ini tak ada satupun literatur pasti yang mampu memastikan kapan tahun lahir Huang Di. Tanpa bermaksud mengeliminasi Huang Di, tentu hal ini dirasa amat janggal.

Ketika Liu Shipei menolak usulan Kang Youwei untuk menggunakan tahun lahir Confucius, ia memperkirakan tahun lahir Huang Di ialah tahun 2711 SM. Namun Song Jiaoren punya catatan lain yang meyakini tahun 2697 SM ialah tahun lahir Huang Di.

Rasanya dinamika ini akan terus berulang, namun semua catatan sejarah harus dibuka selebar-lebarnya, agar kita tidak terjebak oleh ketidakpahaman itu sendiri. Hal yang utama bagi para penganut Khonghucu ialah mereka menyambut imlek sebagai momentum sakral sarat religiusitas dan spiritualitas untuk terus belajar memperbaiki diri.

Bukan juga untuk aku mengakui, melainkan bersama-sama terus belajar mencerminkan ajaran Khonghucu itu sendiri. Menerima dan menjawab segala perbedaan dengan bijak, bukan saling menghakimi merasa kebenaran hanyalah miliknya sendiri.

Bagi Tionghoa non Khonghucu yang ingin merayakan Imlek tentunya hal ini sangatlah baik karena ini justru menjadi bukti bahwa perayaan Imlek yang dilakukan oleh teman-teman Tionghoa non Khonghucu ialah merupakan indikator yang sangat mendukung teori dari Wiliam Mc Naugthon yang berbunyi, “hal-hal yang diajarkan oleh Khong Hu Cu adalah peradaban yang sudah berabad-abad lamanya dipegang dengan sangat teguh oleh bangsa Tionghoa. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan Tionghoa adalah Khonghucu. Begitu juga halnya, Khonghucu adalah Tionghoa".

Pernyataan Imlek bukan hari raya keagamaan dalam konteks Indonesia merupakan pernyataan absurd, pernyataan tersebut ialah seperti analogi bagaimana sekelompok orang 'buta' meraba gajah,  dimana baru meraba bagian kuping gajah namun langsung berkesimpulan gajah seperti kipas, sementara yang lain ketika meraba badan gajah berkesimpulan bahwa gajah adalah sebuah tembok besar dimana mereka semua yang 'buta' tersebut justru belum meraba keseluruhan bagian dari gajah.

Bagaimana mungkin orang yang tidak mengamini bisa memahami sisi religiusitas Imlek dan langsung mengambil kesimpulan sepihak bahwa Imlek tidak religius. Dalam fenomenologi agama justru sah tidaknya sebuah tradisi keagamaan hanya bisa diukur dari pandangan pemeluknya sendiri yang meyakini keyakinan tersebut. Artinya jika bagi pemeluknya hal itu merupakan keyakinan agama maka ia secara ontologis memenuhi syarat-syarat keagamaannya.

Karena jika tidak demikian premis yang digunakan, maka pandangan yang sama mungkin akan dilakukan juga oleh orang lain yang tidak mengamini sebuah tradisi lain diluar keyakinannya. Sebagai contoh yang menarik ialah Hari Raya Natal, tentunya bagi orang non Kristiani bukan merupakan hari raya keagamaan. Orang Jepang yang sebagian besar beragama Shinto tetap merayakan Natal, namun bagi mereka Natal bukanlah sebagai hari raya keagamaan karena mereka melihatnya hanya sebagai tradisi budaya yang baik saja karena memperingati kelahiran Jesus Kristus, tapi bukan sebagai hari raya keagamaan yang mereka harus ikuti ritualnya seperti halnya teman Kristiani merayakan religiusitas Natal di dalam gereja.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa Imlek merupakan hari raya keagamaan bagi yang meyakininya dan bukan hari raya keagaamaan bagi yang tidak meyakininya. Yang tidak boleh ialah orang-orang yang tidak meyakininya mengambil kesimpulan sepihak dengan arogan menyatakannya bukan hari raya keagamaan.

Karena jika logika demikian yang digunakan maka jawaban dengan menggunakan analogi fenomena merayakan Natal yang dirayakan oleh orang-orang Non Kristiani di Jepang dan lainnya mungkin bisa menjadi bahan renungan yang baik secara keilmuan.

Imlek 2572 Kongzi Li adalah Imlek Indonesia, ia adalah Imlek Nusantara yang religius yang terjiwai oleh semangat keIndonesiaan masayarakat Khonghucu Indonesia, ia bukan semangat negara lainnya, sehingga ia sama sekali bukan Tahun Baru China karena Imlek di Indonesia ialah Imlek yang dijiwai, disirami, disemai oleh semangat cinta tanah air keteladanan khas Indonesia yang dijaga secara konsisten dari generasi ke generasi masyarakat Khonghucu Indonesia.

Demikian juga halnya Khonghucu Indonesia ialah Khonghucu Nusantara yang menjunjung tinggi prinsip ajaran Confucius dimana kita lahir dan tinggal disitulah kita wajib mengabdi. Karena kita Tionghoa Indonesia.

Pandemic kali ini hingar bingar Imlek tentunya harus dirayakan sesuai protokol kesehatan dan bahkan cukup melalui media virtual demi mencegah penyebaran virus corona yang menjadi momok bagi semua manusia di bumi.

Semoga semangat Imlek tentang memperbaharui diri dan selalu menjaga diri agar menjadi lebih baik menjadi resolusi Tahun Baru yang lebih mendewasakan kita dalam menyikapi segala tantangan ke depan, khususnya pandemic Corona.

Gong He Xin Xi, Wan Shi Ru Yi, Selamat Tahun Baru Imlek 2572, Kongzi Li, Happy Anno Confuciani 2572. rmol news logo article

Js. Kristan

Founder Generasi Muda Khonghucu Indonesia (Gemaku)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA