Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

22 Desember: Hari Juang Perempuan Indonesia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/batara-r-hutagalung-5'>BATARA R. HUTAGALUNG</a>
OLEH: BATARA R. HUTAGALUNG
  • Selasa, 22 Desember 2020, 15:33 WIB
22 Desember: Hari Juang Perempuan Indonesia
Ilustrasi Kongres Perempuan Indonesia I/Repro
SETIAP tanggal 22 Desember, rakyat Indonesia mengadakan peringatan yang dinamakan “Hari Ibu.” Tetapi juga sangat banyak yang merayakannya.

Sebagaimana pada banyak peristiwa bersejarah yang penting untuk bangsa Indonesia, karena kurangnya sosialisai/penjelasan mengenai peristiwa tersebut, maka maknanya bergeser, atau bahkan hilang makna sebenarnya. Demikian juga dengan yang dinamakan “Hari Ibu”.

Kalau melihat poster atau meme atau kartu ucapan-ucapan “Selamat Hari Ibu” gambar-gambar atau foto-foto yang ditampilkan, kebanyakan seorang perempuan yang lembut, atau bersama anak kecil/bayi. Juga seperti di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lain, di Indonesia anak-anak memberi bunga dan/atau hadiah-hadiah kepada ibunya.

Kelihatannya sebagian terbesar masyarakat Indonesia tidak mengetahui, bahwa “Hari Ibu” di Indonesia sama sekali tidak ada kaitan dengan yang dinamakan Mother’s Day yang dirayakan di Amerika Serikat dan di negara-negara di Eropa.

Bukan hanya latar belakang sejarah dan tujuannya yang sangat berbeda, melainkan juga waktunya berbeda.

“Hari Ibu” di Indonesia diperingati pada 22 Desember, sedangkan di Amerika Serikat dan di Eropa, Mother’s Day dirayakan pada bulan Mei.

Di Indonesia, yang seharusnya dilakukan pada 22 Desember bukan merayakan, melainkan untuk mengenang dan memeringati perjuangan perempuan pribumi di Nederlands Indië (India Belanda), jajahan Belanda, yang sekarang menjadi Indonesia.

Di Indonesia, akibat kurangnya sosialisasi dan pemahaman mengenai latar belakang sejarah Hari Ibu, beberapa tokoh agama yang terkenal tetapi kurang pengetahuan mengenai sejarah Indonesia, menyangka “Hari Ibu” di Indonesia sama dengan Mother’s Day di Amerika Serikat dan di negara-negara di Eropa.

Tokoh-tokoh agama tersebut melarang umatnya untuk memberi ucapan “Selamat Hari Ibu”.

Di bawah ini beberapa link di youtube mengenai pernyataan-pernyataan beberapa tokoh agama yang melarang umatnya mengucapkan “Selamat Hari Ibu”.

- Ustaz Khalid Basalamah
Lihat: https://youtu.be/iwz7Drqkotw

- Ustaz Abdul Somad
Lihat: https://youtu.be/3t8nDidNAi0

- Buya Yahya
Lihat: https://youtu.be/9LWTeQKN91E

- Ustaz Syafiq Riza Basalamah
Lihat: https://youtu.be/B0SmDSgtVEQ

Hari Ibu di Amerika Serikat dan di Eropa

Di Amerika Serikat, Mother’s Day pertama kali diperingati oleh Anna Maria Jarvis pada hari Minggu tanggal 12 Mei 1907 di Grafton (West Virginia, Amerika Serikat), untuk mengenang ibunya yang meninggal dua hari sebelumnya.

Setahun kemudian, dia mengusulkan kepada pihak Gereja Methodis di Grafton untuk mengadakan peringatan bagi semua ibu-ibu yang telah meninggal, sebagai wujud kecintaan mereka kepada ibundanya. Gereja Methodis di Grafton menyambut baik usul tersebut dan melakukan acara peringatan yang dinamakan Mother’s Day.

Kegiatan tersebut kemudian menjadi kegiatan nasional Amerika Serikat yang ditetapkan oleh Kongres AS pada 8 Mei 1914. Setelah itu, acara Mother’s Day menjalar ke negara-negara di Eropa.

Namun kemudian, Mother’s Day di Amerika Serikat yang awalnya untuk mengenang ibunda yang sudah meninggal, bergeser menjadi perayaan untuk para ibu yang masih hidup. Yang awalnya adalah peringatan (commemoration) menjadi perayaan (celebration) yang sangat komersial, diwarnai dengan pemberian bunga atau hadiah kepada para ibu.

Rata-rata pengeluaran setiap orang untuk memberi hadiah kepada ibundanya sekitar 172 dolar AS. Keuntungan yang diperoleh para pedagang merupakan yang tertinggi kedua setelah perayaan Natal.

Di Jerman, perayaan Muttertag (Hari Ibu) diwarnai dengan pemberian bunga untuk para Ibu. Keuntungan para penjual bunga pada Muttertag tersebut merupakan keuntungan tertinggi dalam setahun.

Kebanyakan mereka merayakannya pada bulan Mei, namun tanggal perayaannya di Amerika Serikat dan di berbagai negara di Eropa berbeda-beda.

Anna Maria Jarvis, penggagas Mother’s Day sangat kecewa dengan perkembangan ini, karena tujuan diadakannya peringatan Mother’s Day adalah untuk mengenang para ibu yang telah meninggal, bukan untuk merayakan dengan pemberian bunga atau hadiah-hadiah kepada para ibu yang masih hidup.

Dia kemudian membuat gerakan untuk menghentikannya, namun upayanya tidak berhasil. Sampai sekarang Mother’s Day masih dirayakan di Amerika. Demikian juga di negara-negara di Eropa.

Menurut Elizabeth Burr, cucu-keponakannya, Anna Maria Jarvis menyesal telah menggagas Mother’s Day yang kemudian bergeser tujuannya menjadi sangat komersial.

“Hari Ibu” di Indonesia
Peristiwa bersejarah yang terjadi di Nederlands Indië (India Belanda) jajahan Belanda, adalah diselenggarakannya Kongres Perempuan Pertama pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Dua bulan setelah diselenggarakannya Kongres Pemuda Indonesia II di Batavia (sekarang Jakarta).

Tokoh-tokoh Perhimpunan Indonesia di Belanda, sejak awal tahun 1920-an gencar melakukan propaganda dan mendorong agar organisasi-organisasi pribumi di jajahan Belanda, Nederlands Indië, terutama organisasi-organisasi pemudanya, untuk membentuk organisasi yang tidak bersifat kedaerahan/kesukuan atau keagamaan.

Propaganda yang dilakukan selama bertahun-tahun oleh Perhimpunan Indonesia akhirnya berhasil memberi semangat kepada para pemuda pribumi yang berasal dari berbagai etnis (suku) di Batavia untuk mengadakan pertemuan, dan membahas mengenai upaya mempersatukan organisasi-organisasi pribumi untuk membentuk wadah bersama dalam melawan penjajahan, dengan tujuan mencapai kemerdekaan.

Perhimpunan Indonesia di Belanda didirikan pada 15 November 1908. Penggagasnya adalah Rajiun Harahap (kemudian bergelar Sutan Soripada Kasayangan).

Semula organisasi ini bernama Indische Vereeniging (Perhimpunan India), dan merupakan organisasi pemuda pribumi yang berasal dari berbagai wilayah jajahan Belanda di Nederlands Indië. Dengan demikian Indische Vereeniging merupakan organisasi pribumi pertama yang tidak berdasarkan etnis (suku) atau agama.

Di awal tahun 1920-an dicanangkan tujuannya, yaitu Indonesia Merdeka. Tokoh-tokoh yang pernah menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia antara lain Rajiun Harahap, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), dr Sutomo (pendiri Budi Utomo), Sukiman Wiryosanjoyo, Iwa Kusuma Sumantri, dan Mohammad Hatta.

Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia I yang diselenggarakan di Batavia dari 30 April hingga 2 Mei 1926 berhasil mendorong para pemuda pribumi di wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara untuk membentuk wadah bersama yang tidak lagi bersifat kesukuan, kedaerahan, atau keagamaan.

Pada September 1926, beberapa bulan setelah Kongres Pemuda I, di Batavia didirikan Persatuan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) dan pada bulan Februari tahun 1927 di Bandung didirikan organisasi Jong Indonesia (Pemuda Indonesia). Kedua organisasi ini tidak berdasarkan kesukuan atau keagamaan.

Dalam Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia I tahun 1926, yang pada waktu itu dalam bahasa Melayu (Bahasa Indonesia belum “diciptakan”) dinamakan Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia Pertama, ikut tampil sebagai pembicara seorang pemudi asal Minahasa, Nona Stientje (ejaan yang disempurnakan: Stience) Ticoalu-Adam, seorang anggota organisasi Studeerenden Minahasaers (Pelajar Minahasa).

Stientje Ticoalu Adam dalam orasinya menyampaikan mengenai kedudukan perempuan di Minahasa. Dengan demikian, Stientje Ticoalu Adam adalah pemudi pribumi pertama yang tampil sebagai pembicara dalam kancah kebangsaan, di masa penjajahan. Namun namanya tidak pernah dicantumkan dalam buku-buku sejarah.

Dalam Kongres Pemuda II tahun 1928 dicapai kesepakatan di antara beberapa organisasi pemuda pribumi yang masih berdasarkan kedaerahan dan keagamaan, untuk melakukan peleburan (fusi), dan mendirikan organisasi yang dinamakan Indonesia Muda (IM).

Propaganda Perhimpunan Indonesia juga memberi inspirasi kepada kaum perempuan pribumi untuk menyelenggarakan pertemuan berbagai organisasi perempuan pribumi dari Jawa dan Sumatera. Dari tanggal 22-25 Desember 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia I.

Dengan diselenggarkannya Kongres Perempuan Indonesia pertama bulan Desember 1928, terlihat gerakan kebangsaan telah menjalar ke seluruh lapisan dan elemen masyarakat di wilayah jajahan Belanda, tidak terkecuali perempuan-perempuan pribumi yang juga berpartisipasi dalam gerakan kebangsaan.

Para pemudi pribumi telah ada yang ikut dalam Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia Pertama yang diselenggarakan di Batavia pada 30 April-2 Mei 1926. Demikian juga ada beberapa pemudi pribumi yang ikut sebagai peserta dan sebagai pembicara dalam Kongres Pemuda Indonesia II yang juga diselenggarakan di Batavia pada 27 dan 28 Oktober 1928.

Kongres Perempuan Indonesia I diikuti oleh 30 organisasi perempuan pribumi dari 12 kota di Jawa dan Sumatera, termasuk organisasi perempuan pribumi yang berlatar belakang keagamaan, seperti para anggota perempuan dari Jong Java (Pemuda Jawa).

Kongres Perempuan Indonesia I diselenggarakan di Pendopo Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipuro di Yogyakarta Pada acara pembukaan tanggal 22 Desember 1928, hadir sekitar 600 orang, termasuk pengawas dari Dinas Intelijen Politik pemerintah kolonial. Tidak ada organisasi perempuan bangsa China, bangsa Arab, keturunan Indo, atau organisasi perempuan Belanda yang berpartisipasi dalam penyelenggaraannya.

Yang dibahas adalah masalah pendidikan, masalah-masalah sosial budaya, termasuk membandingkan dengan peran perempuan di Eropa, masalah pernikahan, masalah poligami dan lain-lain.

Hasil Kongres Perempuan Indonesia Pertama terbesar adalah dibentuknya wadah bersama, yaitu Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI), yang tidak berdasakan daerah, suku (etnis) atau agama. Dengan demikian, kaum perempuan pribumi di wilayah jajahan Belanda juga berperan dalam proses membentuk Bangsa dan Negara Bangsa (Nation State) Indonesia.

Dalam Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung tahun 1938, tanggal 22 Desember dinyatakan sebagai Hari Ibu. Tahun 1946 nama Kongres Perempuan Indonesia diganti menjadi Kongres Wanita Indonesia yang kemudian dikenal sampai sekarang singkatannya sebagai Kowani.

Berdasarkan Keppres No. 316 tahun 1959, tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai “Hari Ibu.” Penamaan ini yang mengakibatkan interpretasi yang keliru mengenai perjuangan perempuan dan makna dari Kongres Perempuan Indonesia itu sendiri.

Selain itu, pada waktu itu para anggota panitia dan pembicara dalam Kongres Perempuan Indonesia I, tidak semua berstatus IBU. Juga ada yang belum menikah dan belum memiliki anak.

Kurangnya Sosialisasi Peristiwa–Peristiwa Bersejarah

Yang menjadi masalah besar di Indonesia adalah peristiwa-peristiwa yang memiliki nilai sejarah yang sangat penting untuk bangsa dan negara Indonesia, salah ditulis dalam buku-buku sejarah untuk sekolah, atau keliru memberikan nama peristiwanya  atau salah memberi penafsiran.

Penulisan mengenai sejarah tidak lepas dari sudut pandang dan tafsir/interpretasi dari penulis. Penelitian-penelitian yang dilakukan di masa penjajahan oleh para ilmuwan asing, terutama bangsa Belanda, Inggris, dan Prancis yang adalah para penjajah sangat diragukan kebenaran objektivitasnya, karena terbukti banyak penulisan sejarah untuk kepentingan mereka, terutama tentu dari sudut pandang penjajah.

Oleh karena itu, agar generasi Indonesia mendatang tidak lagi membaca buku-buku sejarah yang salah, sudah sangat mendesak dilakukan penelitian dan penulisan baru semua buku-buku sejarah untuk sekolah-sekolah. Revisi saja tidak cukup.

Untuk kembali ke semangat juang dan makna perjuangan di masa penjajahan tersebut, maka sebaiknya nama Kongres Wanita Indonesia kembali menjadi Kongres Perempuan Indonesia, karena nama “Kongres Perempuan Indonesia” memiliki nilai historis, yaitu perjuangan di masa penjajahan.

Demikian juga untuk menghindari pemahaman yang keliru, nama “Hari Ibu” sebaiknya diganti menjadi Hari Juang Perempuan Indonesia.

Oleh karena itu, semoga dalam memeringati tanggal 22 Desember mulai tahun 2021 yang akan datang, yang diperingati adalah perjuangan perempuan Indonesia melawan penjajahan.

Sehubungan dengan hal ini, gambar-gambar atau foto-foto yang ditampilkan bukan lagi sosok perempuan dengan bayi, melainkan harus ditampilkan sosok perempuan pejuang, seperti Cut Nyak Dhien, Keumalahayati (Malahayati, yang menang bertarung melawan Cornelis de Houtman), Christina Martha Tiahahu, Lopuan (putri Sisingamangaraja XII yang gugur bersama ayah dan dua saudara laki-laki dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907), Soerastri Karma Trimurti (Menteri perempuan Indonesia pertama) dan sosok-sosok perempuan pribumi pejuang lain.

Yang sangat perlu dicari adalah foto/gambar dari nona Stientje Ticoalu Adam, pemudi asal Minahasa, yang merupakan pemudi pribumi pertama yang berorasi dalam Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia Pertama tahun 1926, dalam kancah kebangsaaan di masa penjajahan. Melihat sejarahnya, sudah sepantasnya Stientje Ticoalu Adam diberi gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Juga perlu dicari foto atau gambar dari Lopuan, putri Sisingamangaraja XII.

Apabila diteliti lebih dalam maka akan terlihat, bahwa kaum perempuan pribumi di wilayah jajahan Belanda sudah ikut dalam perjuangan mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Di masa penjajahan, cukup banyak perempuan pribumi yang tangguh, yang ikut berjuang secara fisik melawan penjajah, dan gugur dalam pertempuran, seperti Cut Nyak Dhien, Keumalahayati, Christina Martha Tiahahu dan Lopuan, putri dari Sisingamangaraja XII.

Karena memahami sejarah dan nilai-nilai sejarahnya, maka pada 22 Desember saya tidak menulis atau mengucapkan “Selamat Hari Ibu,” melainkan: “Selamat Hari Juang Perempuan Indonesia,” dan Dirgahayu Hari Juang Perempuan Indonesia. rmol news logo article

Penulis merupakan Sejarawan Indonesia, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA