Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

1963-1966: Tahun-tahun Tantangan Bagi HMI Menghadapi PKI

Selasa, 13 Oktober 2020, 15:35 WIB
1963-1966: Tahun-tahun Tantangan Bagi HMI Menghadapi PKI
Himpunan Mahasiswa Islam/Net
UPAYA PKI membubarkan HMI. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan tanggal 5 Februari 1947 mengalami berbagai tantangan dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan HMI adalah “membina insan akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam, serta bertanggung jawab untuk terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diredhai Allah SWT”.

Sebagai wadah intelektual Islam, HMI terpanggil untuk turut berperan dalam upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa” sesuai amanah Pembukaan Konstitusi RI 1945. HMI adalah bagian yang tidak terpisahkan dari umat Islam dan bangsa Indonesia, karena itu sepanjang sejarah kehidupan HMI, HMI memerankan dirinya sebagai kader umat dan bangsa Indonesia. Dalam peranan ganda inilah HMI menghadapi berbagai tantangan, khususnya  pada tahun 1963-1966, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha untuk membubarkan HMI.

Sebagai salah satu partai pemenang pemilu pertama di Indonesia (1955), Partai Komunis Indonesia dengan berbagai cara serta tipu muslihat sangat berselera untuk berkuasa di Indonesia. Hal tersebut sudah dilakukan melalui uji-coba, yang ternyata gagal, untuk merebut kekuasaan pada tahun 1948. Berbekal hasil pemilu 1955 tersebut, niat dan tekad PKI untuk berkuasa terus berkobar.

Konsepsi Presiden dan Dekrit Presiden. Peluang PKI untuk berkuasa semakin nyata dengan dua peristiwa nasional. Pertama, Bung Karno mengeluarkan Konsepsi Presiden tahun 1957 tentang perlunya suatu Kabinet Gotong Royong dengan memasukkan PKI dalam pemerintahan. Terkenal dengan semboyan “kabinet kaki empat”. Kedua, Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang memberlakukan kembali UUD 1945.

Bila selama demokrasi parlementer (tahun 1950-1959), pemerintah dipimpin oleh seorang Perdana Menteri, maka sejak 1959 hingga 1965 yang menjadi kepala negara/ kepala pemerintahan adalah seorang presiden. Dengan demikian, sejak 1959   Sukarno sepenuhnya berkuasa di Indonesia. Situasi ini dimanfaatkan oleh PKI dengan menggunakan wewenang yang dimiliki Bung Karno untuk melumpuhkan lawan-lawan politiknya. Antara lain partai Masyumi dan PSI, dengan alasan keterlibatan sejumlah tokoh-tokohnya dalam pemberontakan PRRI/Permesta (1957-1958). 

Presiden Sukarno meminta ke dua partai tersebut untuk membubarkan diri. Apabila tidak bersedia, maka akan dibubarkan oleh pemerintah dan dijadikan sebagai partai terlarang. Kedua partai tersebut, dengan berbagai pertimbangan, memilih untuk membubarkan diri.

Manifesto Politik dan USDEK. Setelah Dekrit Presiden 1959 yang mengembalikan Indonesia ke UUD 1945, maka Presiden Sukarno sebagai kepala pemerintahan mengeluarkan apa yang disebut sebagai manifesto politik (Manipol) serta USDEK (singkatan dari UUD 1945-Sosialisme Indonesia-Demokrasi Terpimpin-Ekonomi
Terpimpin-Kepribadian Indonesia).    

Sukarno menjadikan Manipol-Usdek ini sebagai haluan negara. Artinya semua partai maupun ormas harus menyesuaikan diri dengan Manipol Usdek ini, kalau tidak akan diawasi dan ditindak.  

Setelah Masyumi dan PSI dibubarkan, Sukarno dengan pengaruh/tekanan PKI pada tahun 1962 melakukan serangkaian penangkapan terhadap sejumlah tokoh Masyumi dan PSI, seperti Mohammad Natsir, Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Prawoto, Anak Agung Gde Agung, Hamka, Mohammad Yunan Nasution, Isa Ansyari serta tokoh-tokoh pejuang demokrasi lainnya seperti Mochtar Lubis dan lainnya. Mereka ditahan selama 4 tahun lebih di berbagai penjara di Jakarta, Madiun, Sukabumi dan di lokasi lainnya. Mereka baru menghirup udara bebas pada tahun 1966, saat Presiden Suharto berkuasa dan membebaskan mereka.

Peluang PKI untuk berkuasa semakin menjadi kenyataan, setelah Sukarno mencetuskan gagasan yang disebut Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme), yaitu mempersatukan ke tiga unsur tersebut dan memasukkannya dalam pemerintahan. Gagasan inilah yang akhirnya membuka pintu selebar-lebarnya bagi PKI untuk berkuasa.

Nefos dan Oldefos. Di samping Manipol Usdek sebagai kebijakan nasional, Sukarno mengumandangkan politik luar negeri yang condong ke kiri (blok komunis), dengan gagasannya Nefos dan Oldefos.

Nefos (New Emerging Forces), digagas tahun 1962, merujuk kepada kenyataan bahwa sejumlah negara-negara yang menyatakan merdeka merupakan negara-negara berkembang.

Sedangkan Oldefos (Old Emerging Forces), merujuk kepada negara-negara maju, yang umumnya adalah negara-negara barat, yang cenderung mempertahankan status quo. Karena itu harus dihadapi bersama oleh negara-negara Nefos.

Gagasan ini dirundingkan bersama oleh Bung Karno dan PM Cina Chou En Lai. Padahal Bung Karno selama ini dikenal sebagai pemimpin Gerakan Non Blok bersama dengan PM India Nehru, Presiden Mesir Abdul Nasser dan Presiden Yugoslavia Yosef Bros Tito. Bung Karno telah bergeser menjadi pemimpin Nefos.

Rencana untuk melaksanakan Conefo yaitu Conference of New Emerging Forces belum sempat diwujudkan, namun Ganefo (Games of New Emerging Forces) berhasil dilaksanakan oleh Indonesia pada tahun 1963 di Gelora Bung Karno, Jakarta.

Politik Poros. Nefos dan Oldefos ini dikembangkan terus oleh Sukarno melalui Menlu Subandrio dengan menggagas apa yang disebut sebagai politik poros pada tahun 1964, yang membuat poros antara Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Pyongyang-Peking, lima negara, Indonesia-Kamboja-Vietnam-Korea Utara-Cina.

Peristiwa Utrect. PKI menyadari bahwa meskipun berbagai agenda politik tersebut telah meratakan jalan bagi PKI untuk berkuasa, namun PKI mencermati bahwa upaya untuk melumpuhkan lawan-lawan politiknya adalah merupakan agenda PKI yang harus diprioritaskan. PKI menilai bahwa kelompok yang paling potensial dan militan yang akan berhadapan dengan PKI adalah golongan Islam.

HMI adalah satu unsur golongan Islam yang merupakan kader umat dan kader bangsa, yang perlu diutamakan untuk dilumpuhkan. Maka berbagai kiat, strategi maupun manuver dilakukan PKI untuk melumpuhkan HMI. Hal ini diawali dengan upaya untuk melakukan pelarangan terhadap HMI dengan peristiwa Utrecht, yaitu tindakan dari Prof. Utrecht, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya cabang Jember, yang mengeluarkan keputusan untuk melarang kegiatan HMI sebagai organisasi mahasiswa ekstra di lingkungan Universitas Brawijaya, Jember.

CGMI. Peristiwa pelarangan HMI oleh Prof. Utrecht ini kemudian dijadikan sebagai “bola liar” oleh CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia/organisasi mahasiswa bentukan PKI) untuk membubarkan HMI. CGMI membuat front bersama membubarkan HMI bersama GMNI Asu (berasal dari PNI Asu= Ali Sastroamijoyo-Surachman), Germindo (organisasi mahasiswa dari Partindo= Partai Indonesia) serta Perhimi (organisasi mahasiswa dari BAPERKI= perkumpulan Orang-orang Tionghoa}. Ke=4 organisasi mahasiswa yang beraliran kiri inilah yang dengan gigih melancarkan kampanye untuk membubarkan HMI.

Opini Publik. Untuk memenangkan opini publik, CGMI cs berusaha membubarkan HMI dengan melakukan serangkaian tindakan, antara lain mencorat-coret tembok gedung di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya, Medan, Makasar dengan tulisan “Bubarkan HMI”. Ulah anggota CGMI yang dilaksanakan pada tengah malam tersebut diwaspadai oleh aktivis-aktivis HMI di tempat-tempat tersebut.
Aktivis dan kader HMI melakukan operasi menjelang fajar dengan mengganti dua huruf “Bu” menjadi “Ko”. Sehingga “Bubarkan HMI” berubah dan menjelma menjadi “Kobarkan HMI”. Betapa kaget dan kecewanya CGMI, ketika menyaksikan ke esokan harinya, seluruh kota dipenuhi dengan tulisan “Kobarkan HMI”. Dengan demikian, harapan CGMI agar terjadi stigma negatif terhadap HMI malah berubah menjadi citra positif bagi HMI.

Generasi Muda Islam. Generasi Muda Islam (Gemuis), yang dipelopori oleh GP Ansor (Jusuf Hasyim), PII dan lain-lain menyatakan prihatin dan solidaritas terhadap situasi yang dihadapi oleh HMI. Mereka serentak melakukan pawai keliling kota, baik di Jakarta maupun kota-kota besar  lainnya dengan membawa  spanduk  bertuliskan “Langkahi mayatku sebelum membubarkan HMI”. Tulisan yang membuat orang merinding dan membangkitkan solidaritas ini ternyata membuat PKI tersentak dan menyadari bahwa HMI, sebagai kader umat dan bangsa, adalah kelompok yang mendapat dukungan penuh oleh umat Islam dan bangsa Indonesia.

Posisi para pejabat. Di lingkungan pejabat pemerintahan Sukarno saat itu ada juga yang ikut merestui pembubaran HMI, misalnya Prof. Priyono, Menteri Pendidikan dan Kabudayaan pada tahun 1964. Menghadapi tindak tanduk Prof. Priyono ini, maka HMI menggerakkan demonstrasi dengan tema ”Retool” Prof. Priyono. Demonstran dipimpin oleh Ekkie Syahruddin, aktivis/Ketua HMI Cabang Jakarta. Aktivis/kader HMI mendatangi Departemen PDK di Jalan Cilacap, Menteng.
Sebaliknya, sejumlah Menteri lainnya umumnya membela HMI, seperti Menteri Agama KH Syaifuddin Zuhri. Awal 1965, terjadi dialog antara Presiden Sukarno dengan Syaifuddin  Zuhri. Sukarno menyampaikan niatnya kepada Zuhri untuk membubarkan HMI. “Mengapa HMI dibubarkan?” tanya Zuhri. Bung Karno menjawab, “Saya menerima berbagai laporan bahwa HMI melakukan tindakan antirevolusi dan bersikap reaksioner”. Zuhri menjawab “Bukan membela HMI, Pak. Saya tidak ingin Presiden berbuat berlebihan. Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, maka tugas saya sebagai pembantu Bapak hanya sampai di sini!”

Bung Karno kaget dengan reaksi Zuhri tersebut dan menjawab: “Saya tetap memerlukan saudara membantu saya. Baiklah, HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan HMI akan menjadi organisasi yang progresif, Saya minta anda (Syaifuddin Zuhri), bersama Nasution, Ruslan Abdulgani dan Syarif Thayeb untuk  membimbing HMI”.

Sementara itu, Jenderal Ahmad Yani salah seorang petinggi AD menyampaikan kepada PB HMI “Kalau hari ini HMI dan Soksi diganyang oleh PKI, maka tidak mustahil besok atau lusa PKI akan merongrong AD”.  Hal ini diikuti oleh Pimpinan AD lainnya, Brigjen Soetjipto yang menyatakan “Go ahead HMI”. (Sumber: Sulastomo, Hari-hari Yang Panjang 1963-1966).

Dalam Buku “HMI 1963-1966” (penerbit Kompas), yang ditulis oleh pelaku-pelaku sejarah, yaitu 7 orang pimpinan HMI yang berperan saat itu (Sulastomo, Mar’ie Muhammad, Yusuf Syakir, Sularso, Solichin, Nazar Nasution,Harun Kamil) dan diedit oleh Alfan Alfian, diungkapkan secara kronologis rentetan peristiwa-peristiwa yang berlangsung antara tahun 1963-1966.

PPMI. Melalui PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia), CGMI-GMNI ASu-Germindo dan Perhimi secara terus-menerus melakukan kampanye untuk mengganyang HMI dan menuntut agar PPMI mengeluarkan HMI dari PPMI. Pada Oktober
1964, PPMI Pusat memutuskan untuk menskors HMI dari keanggotaan PPMI. Meskipun keputusan ini diprotes oleh PMII dan PMKRI. Saya sempat mendampingi Sekjen PB HMI saat itu,  Mar’ie Muhammad,  yang ditugaskan oleh PB HMI untuk melakukan berbagai lobi di lingkungan PPMI untuk membela kepentingan HMI.

MMI.  CGMI  juga  berusaha  untuk  menghilangkan  pengaruh  dan  peranan  HMI  di lingkungan MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia), badan kemahasiswaan intra universiter, dengan tujuan menggagalkan usaha HMI menduduki jabatan sebagai Ketua Senat maupun Ketua Dewan Mahasiswa di berbagai kampus universitas terkenal, seperti ITB, UI, Unpad,IPB, UGM, USU, Unhas dll. Termasuk memanfaatkan forum-forum MMI seperti Pertemuan Nasional MMI di Malino (1964) untuk melarang, bahkan untuk membubarkan HMI. Usaha ini telah dihadapi dengan gigih oleh aktivis-aktivis  HMI di berbagai kampus di seluruh Indonesia, antara lain ditunjukkan oleh Bakir Hasan (Ketua DM UI) dan lain-lain.

KAMI. Tanggal 25 Oktober 1965 atas prakarsa Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Syarif Thayeb didirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) beranggotakan antara lain HMI, PMKRI, GMNI, GMKI, PMII, IMM, SEMMI, Mapantjas, Pelmasi, SOMAL (Imada, GMD, MMB, IMABA, PMB).

Pimpinan KAMI di tingkat Pusat berbentuk Presidium. Ketua-ketua Presidium antara lain adalah Cosmas Batubara (PMKRI), Zamroni (PMII), David Napitupulu (Mapantjas), Elyas (SOMAL). Biro Politik dijabat oleh Mar’ie Muhammad (HMI), demikian pula Sekjen KAMI Pusat Nazar Nasution (HMI).

Pada 29 Desember 1965, menyadari kenyataan bahwa KAMI adalah satu-satunya wadah mahasiswa yang representatif, maka semua organisasi mahasiswa anggota KAMI, menyepakati pembubaran PPMI dalam suatu Kongres Luar Biasa PPMI. Salah satu prestasi KAMI di tingkat nasional adalah mencetuskan TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat) dalam aksi massa tanggal 10 Januari 1966. Tritura adalah: Bubarkan PKI, Rombak Kabinet serta Turunkan Harga. Dirumuskan oleh suatu Tim KAMI Pusat, yang terdiri dari Nazar Nasution (HMI), Ismid Hadad (IPMI), Savrinus Suardi (PMKRI).

Peristiwa G30S/PKI. Pada 30 September 1965 malam hari, kebetulan kami berempat: (Mar’ie Muhammad, Nazar Nasution, Ridwan Saidi dan Harun Kamil) berdiskusi hingga larut malam dan keesokan paginya naik becak ke kantor PB HMI Jalan Diponegoro 16. Setiba di PB HMI, kami mendengar pengumuman lewat radio bahwa telah terbentuk Dewan Revolusi dipimpin Kolonel Untung.

Karena belum jelas siapa Kolonel Untung, Dewan Revolusi dan sebagainya itu, kami menuju Jalan Sumatra, kediaman Penasehat PB HMI Dahlan Ranuwihardjo. Beliau meminta kami dan aktivis lainnya untuk keliling kota Jakarta memantau situasi di lapangan. Sore hari diketahui bahwa Dewan Revolusi adalah bentukan PKI untuk merebut kekuasaan melalui kekuatan “Angkatan ke-5” (buruh-tani-nelayan-pemuda).
PB HMI memutuskan untuk melakukan pendekatan dan lobi ke beberapa tokoh, antara lain Subchan ZE (PB NU) dan Harry Tjan Silalahi (Partai Katolik). Tokoh-tokoh tersebut menyepakati untuk membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan G30S (KAP Gestapu), dipimpin oleh Harry Tjan dan Subchan ZE. Wadah ini kemudian menjelma menjadi Front Pancasila.

Unjuk kekuatan pertama oleh KAP Gestapu dilakukan pada tanggal 3 Oktober 1965 di Taman Sunda Kelapa. Bendera pendukung KAP Gestapu dan spanduk-spanduk anti komunis berkibar di lapangan tersebut, Peristiwa inilah yang mempelopori berbagai demonstrasi dan aksi untuk mengganyang dan membubarkan PKI, melibatkan sejumlah aktivis HMI (antara lain Ekki Syahruddin, Firdaus Wadjdi, Fahmi Idris, Farid Laksamana).

Pahlawan Ampera. Menghadapi aksi-aksi KAP Gestapu dan KAMI ini, Presiden Sukarno bereaksi cukup keras. Diperintahkan Tjakrabirawa untuk menghadapi aksi-aksi ini dengan kalau perlu menembaki para mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Sejumlah mahasiswa tewas, antara lain Arif Rachman Hakim di Jakarta, Aries Margono di Yogya, Hasanuddin Noor di Banjarmasin. KAMI menetapkan mahasiswa yang gugur tersebut sebagai Pahlawan Ampera.

Untuk mengantisipasi reaksi para mahasiswa dengan gugurnya para Pahlawan Ampera tersebut, pihak aparat Keamanan berusaha menangkapi tokoh-tokoh KAMI. Bahkan KAMI juga dibubarkan dengan keputusan KOGAM (Komando Ganyang Malaysia) No.41. Situasi yang unik dan mencekam tersebut dihadapi oleh KAMI dengan tetap melanjutkan perjuangan melalui wadah Laskar Ampera Arief Rachman Hakim di bawah pimpinan Fahmi Idris. Aparat keamanan diperintahkan untuk melakukan berbagai penangkapan. Hakim Sorimuda dan saya sempat dicari-cari oleh aparat keamanan.
Kami pindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mengindari penangkapan. Sebagai Sekjen KAMI Pusat, saya termasuk daftar yang akan ditangkap. Pasukan Skogar mendatangi kantor PB HMI di Jalan Diponegoro. Pintu diketuk, kebetulan pintu saya sendiri yang membuka, Petugas bertanya : “Ada yang bernama Nanar Nasution di sini ?”. Saya terdiam. Ketika ditanya ke dua kali, saya menjawab tenang: “Tidak ada Nanar Nasution di sini”. Sambil bersuara keras, petugas bertanya lagi” Nanar Nasution ada apa tidak di sini ?” Saya menjawab tegas “Tidak ada. Nanar Nasution tidak ada”. Akhirnya petugas meninggalkan tempat, saya (Nazar Nasution) terhindar dari penangkapan. Beberapa jam sebelumnya, Cosmas Batubara dan Zamroni sudah kena “ciduk”. Karena salah ketik dalam daftar, saya terhindar dari penangkapan. Alhamdulillah. Tetapi saya tidak berdusta (Sumber: Harian KAMI).

Pembubaran PKI. Puncak gerakan dari Front Pancasila, KAMI dan Kesatuan-Kesatuan Aksi lain pada akhirnya berhasil dengan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia tanggal 12 Maret 1966. Dengan tekad perjuangan untuk menegakkan Keadilan dan Kebenaran, maka HMI yang semula menjadi target pembubaran oleh PKI, ternyata setelah pertarungan selama 3 tahun, akhirnya PKI lah yang dibubarkan. Ini merupakan perjuangan yang gigih, bukan hanya oleh para aktivis HMI, tetapi dukungan segenap lapisan masyarakat, baik pemuda, intelektual dan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Killing Fields. Apa yang akan terjadi di Indonesia, apabila PKI berhasil melakukan kudeta tanggal 30 September 1965? Dari kesaksian para aktivis HMI yang melakukan penggeledahan di sejumlah kantor ataupun rumah tokoh-tokoh PKI di seluruh Indonesia, ditemukan dokumen-dokumen yang antara lain memuat daftar nama orang-orang anti komunis yang akan menjadi target PKI untuk dibinasakan.   Pastilah nasibnya sama dengan ke-7 perwira tinggi AD yang dibunuh dengan kejam dan dimasukkan ke Lubang Buaya.

Di Kamboja, (kebetulan saya pernah bertugas di negara tersebut), saya mengamati 3 hal yang diterapkan oleh rezim komunis: pertama, mengobarkan pertentangan kelas (class struggle); kedua, tujuan menghalalkan cara (the ends justified the means); ketiga, semuanya adalah milik negara, tidak dikenal milik perorangan.

Negara Komunis ini meninggalkan sejarah kelam, yaitu “Killing Fields” (ladang pembantaian), yang menggambarkan kekejaman rezim Komunis rezim Pol Pot, yang berkuasa melalui suatu kudeta.

Kalau kita punya “Lubang Buaya” dengan korban 7 orang Pahlawan Revolusi, rezim Pol Pot (yang berkuasa dari tahun 1975-1979), menunjukkan kekejamananya dengan korban jiwa hampir 2 juta orang (sepertiga dari penduduk Kamboja yang saat itu berjumlah 6 juta jiwa). Syukur Alhamdulilah, malapetaka itu tidak terjadi di Indonesia. rmol news logo article

Dr Nazar Nasution, SH, MA
Aktivis, diplomat, dan dosen

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.