Berbagai kalangan tokoh maupun cendekiawan Buddhis dari beberapa daerah selain Jakarta sendiri, menyatakan keheranannya. Apakah benar umat Buddha tidak ada yang mampu mengurus tempat ibadahnya sendiri sampai harus diintervensi oleh sosok agama lain walaupun mendapat kepercayaan dari 'bos besar'.
Secara aturan kepengurusan yayasan sendiri, sebenarnya Dirjen Bimas Buddha Departemen Agama telah menolak pengajuannya dikarenakan adanya dua pengurus yang bukan beragama Buddha. Jusuf Hamka adalah salah satunya.
Surat permohonannya meminta sebagai pengurus yayasan sampai pembangunan dan pemugaran selesai semakin menimbulkan pertanyaan besar. Ada kepentingan apa sesungguhnya di balik itu?
Dalam konteks kekrisuhan ini, ditambah adanya indikasi merangkul simpatik keluarga alm Liem Sioe Liong dengan menempatkan almarhum yang sudah tenang di alam bakanya sebagai Dewan Kehormatan, adalah bentuk ketidakwajaran dan menyimpang dari kaidah tata etika Buddhisme.
Itulah sebabnya mengapa kalangan umat Buddha semakin tidak nyaman selama ini, apalagi dengan imbauan Ketum PITI yang memperjelas bagaimana seharusnya sesama umat beragama menghargai eksistensi peribadatan masing-masing dalam koridor saling menghormati.
Sebelum semakin meluas kesan negatif seakan umat Buddha sendiri seolah tidak mampu sehingga harus diurus oleh non-Buddhis adalah preseden yang buruk dan dapat mencederai perasaan umat Buddha.
Alangkah bijaknya Jusuf Hamka tidak memaksakan diri lagi sekalipun mungkin memiliki niat baik. Selain karena kaidah agama yang berbeda pun menjadi preseden buruk umat Buddha ke depannya. Lagi pula toh ini hanyalah urusan tempat ibadah dan bukan semacam bisnis yang mesti dikuasai...
Adian Radiatus
Penulis adalah pemerhati isu sosial kemasyarakatan.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: