Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dahlan Iskan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Senin, 20 Juli 2020, 11:17 WIB
Dahlan Iskan
Dahlan Iskan/Net
HANYA berselang seminggu setelah kunjungan Presiden Jokowi ke Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (9/7/), mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan meluncurkan tanggapannya yang disebarkan melalui DIsWay dan dikutip berbagai media online. Mungkin juga ada di media cetak, mengingat DI itu, demikian dia menyebut dirinya pernah menjadi raja media cetak melalui kerajaan Jawa Pos Group.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Tulisan DI itu berjudul "Pangan Pertahanan" (14/07) terkait kebijakan Presiden Jokowi yang mendeklarasikan pembangunan "Food Estate" atau "Lumbung Pangan". Sorotan DI tertuju kepada penunjukan Menhan (Menteri Pertahanan) Prabowo Subianto (PS) sebagai pimpro (pimpinan proyek). Sekaligus menyoal konsep mobilisasi yang mendasari gerakan Menhan itu.

Pada saat yang sama melalui WhatsApp DI mempertanyakan pertanyaan saya: "Apa reaksi" Mentan (Menteri Pertanian) Syahrul Yasin Limpo (SYL) ketika tupoksinya sebagai "penguasa pertanian" seperti “"dipangkas" Presiden.

Tulisan saya yang berjudul "Jokowi dan Pandemi" yang dimuat RMOL dan Cek & Ricek (12/07) mempersoalkan adanya semacam "reshuffle" terselubung di tepi pematang sawah. Di luar kota. Jauh dari Istana.

Terus terang, kasus penunjukan Menhan, bukan Mentan untuk menangani proyek "lumbung pangan" mengundang pertanyaan luas di publik. Ternyata reaksi SYL yang tanpa reaksi itu membuat publik pun berpendapat: SYL dinilai cukup berjiwa besar. Sebagai pejabat tingkat nasional tergolong tegar menghadapi "keanehan" itu. SYL dianggap sukses menekan emosionalitas primordial.

Yang menarik ketika DI menulis begini: "Tapi kenapa buka sawah baru di Kalteng? Area yang disiapkan pun luas sekali: 1,4 juta hektare. Yang tahap pertamanya dimulai dengan 30 ribu hektare. Semula saya perkirakan tidak begitu. Kalau pun pemerintah menggalakkan pertanian saya pikir akan dikaitkan dengan upaya mengatasi kemiskinan dan penyerapan lapangan kerja di pedesaan".

DI lanjut menulis, "Saya salah dalam memperkirakan. Saya kira penggenjotan pertanian itu akan dilakukan di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Ditambah Bali, Lampung, Lombok dan Sulsel. Atau mendorong Sumbawa, Sumba, dan Gorontalo untuk jagung. Dengan begitu saya perkirakan bisa mengurangi penderitaan orang miskin. Dalam jumlah besar. Sekaligus bisa meningkatkan produksi pangan dengan lekas".

Lebih jauh ditulisnya lagi, "Saya sudah belajar banyak di bidang ini. Kesimpulan saya: meningkatkan produksi pertanian di daerah yang sudah jadi akan lebih berhasil daripada di daerah yang masih baru. Sama-sama menargetkan peningkatan produksi beras 5 juta ton, misalnya, akan lebih berhasil lewat intensifikasi dari pada ekstensifikasi. Kecuali proyek ekstensifikasi tersebut untuk jangka panjang. Yang tidak dikaitkan langsung dengan penanganan dampak Covid-19".

Tanggapan DI itu menarik dan mengejutkan bagi sebahagian besar pembaca. Tetapi tidak bagi saya. Saya sudah kenal DI sejak tahun 74 ketika mengikuti pendidikan jurnalistik bersama sejumlah wartawan dari beberapa propinsi.

Kurang lebih tiga bulan lamanya kami diasramakan di Wisma Seni Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta. Ketika itu, entah mengapa, teman-teman mengangkat saya sebagai "kepala suku". Sampai ketika menjadi menteri BUMN DI terus memanggil dengan sebutan itu. Pun sampai hari ini. Entah apa yang terkesan selama kami bergaul di TIM.

Kembali kepada DI, ciri khas tulisannya rada polos. Mengalir begitu saja. Tidak pedulian. Terkadang nyeleneh. Dapat menyinggung perasaan seseorang. Tentu saja hal itu tanpa disengaja. Bagi DI biarin aja. Emangnya gue pikirin.

Dalam tulisannya "Pangan Pertahanan" itu terlihat dari judulnya saja sudah mengandung banyak tafsir. Setidaknya bagi saya; dan itu yang saya rasakan.

Karena DI menyebut nama saya selain PS yang Menhan dan SYL yang Mentan. DI mengutip blog pribadi saya dan membawanya ke ruang publik mengenai apa arti suatu peristiwa "siri" (kehormatan tertinggi bagi suku Bugis Makassar).

Frasa "siri" itu diangkat DI dalam kasus penunjukan Menhan menjadi pimpro. Istilah Jokowi "leading sector" proyek lumbung pangan nasional di Kalteng. Berkembang luas pandangan publik terkait hal tersebut seolah-olah Presiden Jokowi sedang "mengamputasi" tupoksi SYL sang Mentan.

Dan saya memutuskan untuk tidak menjawab secara terbuka ke publik pertanyaan DI. Memilih "menelan" sendiri pandangan pribadi atas kasus tersebut.

Anggaplah hal itu jauh lebih tepat ditempatkan sebagai kasus internal Presiden dengan pembantunya. Tapi DI telah mengangkat ke permukaan. Itu di luar wewenang kultural saya untuk membantah atau membenarkan. Hakimnya adalah publik.

DI mengkritisi keputusan Presiden soal pelaksanaan kebijakan "food estate" itu yang mengadopsi cara militer dengan mobilisasi SDM handal. Melalui rekruitmen tenaga muda (milenial) dalam jumlah besar setiap tahun, yang akan dilatih secara militer (yang berbau militeristik?).

Titik tekannya adalah ekstensifikasi lahan pertanian alias pencetakan sawah baru. Dengan sudut pandang seperti inilah, DI menjadi sangat mahfum apabila ditangani Menhan barang itu diserahkan.

Karena lumbung pangan menjadi bahagian strategis ketahanan pangan. Sebagai cadangan strategis. Judul tulisan "Pangan Pertahanan" memang berkonotasi militer. Saya sebagai mantan wartawan Harian Angkatan Bersenjata di Jakarta (1973-1979) cukup banyak istilah militer yang saya serap. Sangat mengerti apa yang disebut strategi militer.

Sejak melepaskan diri dari beban rutin di kerajaan Jawa Pos Group pada tahun 2017 (kalau tidak salah) DI rajin menulis. Tiap hari. Apa saja yang dilihat ditulisnya. Itu sebabnya blog pribadinya yang diberi nama DIs Way yang belum berusia dua tahun cepat populer.

Bukan semata-mata karena isi tulisannya. Karena nama besar DI sebagai raja media. Kesan saya sejak awal kenal DI: Orangnya periang. Suka guyon. Apa adanya. Tanpa basa basi. Dan itu tadi, orangnya suka nyeleneh!

Ok bung DI. Bravo!

Jurnalis tua tidak pernah mati. Mereka hanya menekan (old journalists never die, they just get de-pressed).

Mari menulis terus dengan hati nurani untuk ibu pertiwi. Wartawan senior tidak pernah mati; bahkan bisa jadi kelompok penekan yang diperlukan sejarah sebuah bangsanya.
    
Lhoo kok saya ikut-ikutan latah: nyeleneh...!? rmol news logo article

Wartawan senior, pemerhati masalah sosial budaya.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA