Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Doa Sang Katak: Dilema Presiden Jokowi

Jumat, 17 Juli 2020, 18:30 WIB
Doa Sang Katak: Dilema Presiden Jokowi
Presiden Amerika Serikat William Howard Taft/Net
ANTHONY de Mello dalam bukunya yang berjudul "Doa Sang Katak" menceritakan sebuah situasi makan malam yang pernah dialami oleh Presiden Amerika Serikat William Howard Taft, de Mello memberi judul kisahnya 'Dilemma Presiden Taft’. Begini ceritanya:

Presiden Amerika Serikat yang bernama William Howard Taft sedang santap malam ketika putranya yang sulung menyampaikan kritiknya tentang sesuatu secara tidak hormat mengenai ayahnya.  

Semua orang terkejut atas keberanian anak itu dan seluruh ruangan menjadi sangat sepi. "Apakah bapak tidak akan menghukumnya?" tanya “first lady” nyonya Taft.

Presiden Taft menjawab "Kalau ucapan itu ditujukan kepada saya selaku ayah, jelas dia akan segera dihukum”.

"Akan tetapi kalau ucapan itu ditujukan kepada saya sebagai Presiden Amerika Serikat, anak itu mempunyai hak mengungkapkan pendapat yang dijamin oleh UU”.  

Lalu de Mello memberi komentar: "Mengapa seorang ayah harus dikecualikan dari kritik yang baik untuk seorang Presiden?"

Entah sebuah kebetulan atau tidak dengan judul buku de Mello, tapi Indonesia juga kebetulan hari ini memiliki seorang presiden yang suka pada hewan katak. Sehingga itulah juga yang menjadi munculnya frase kecebong (anak katak) dan kampret dalam konstelasi pemilu beberapa waktu kemarin, yang cukup seru, yang sekarang justru para patron pasukan 'katak' dan pasukan 'kampret' sudah bersatu kembali.

Sungguh beruntung Indonesia semua perselisihan tersebut akhirnya berujung damai dan baik-baik saja bagi para pemimpin tersebut meskipun hal ini belum tentu berbanding lurus dengan situasi sekarang yang dihadapi oleh rakyatnya.

Kisah dari de Mello dalam 'Doa Sang Katak' saya pikir cukup menarik untuk dituliskan dalam rangka kegalauan penulis ketika merespon lolosnya anak presiden sebagai calon Walikota dengan mudah sekali yang didukung resmi oleh partai politik untuk bertarung pada Pilkada pada Desember nanti.

Tentunya dalam konteks demokrasi yang model barat hari ini sah-sah saja sesuai dengan aturan demokrasi barat yang memang sudah disepakati di Indonesia pada saat ini. Walaupun jika dipandang dari sudut etika politik tentu hal ini menjadi terlihat agak tidak sopan terhadap rakyat.

Kita di Indonesia cukup familiar dengan adagium “paling enak jadi anak presiden bahkan dibanding presiden itu sendiri”, karena apapun yang kita inginkan justru akan bisa terpenuhi dengan mudah tanpa halangan berarti, adagium berikutnya ialah juga berbunyi “paling enak menjadi teman presiden dibanding presidennya itu sendiri”. Hal ini mungkin bisa saja benar jika kita coba telisik laporan DPP KNPI soal maraknya rangkap jabatan di Komisaris BUMN yang diisi oleh fenomena 4L alias “Lu Lagi Lu Lagi”.

Sepertinya kita sangat toleran pada keserakahan dan “kemarukan” jabatan publik yang menyakut orang banyak, padahal idealnya kita harus menjadi Pancasilais yang dalam kontek ini menyangkut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Logika penulis bagaimana kita bisa adil jika semua para pejabat itu melakukan rangkap jabatan dengan gaji besar dan fasilitas mumpuni yang diberikan bagi para komisaris BUMN. Penulis hanya bisa ikut bersedih melihat fenomena ini, di mana anak-anak pintar dan jujur sekarang menjadi kekurangan kesempatan dalam mengabdi kepada negara dan masyarakat. Jika mereka bukan anak atau teman presiden maka akan sulit sekali dalam situasi sekarang ini.

Fenomena ini sebuah fenomena yang cenderung oligarki dan borjuis dalam situasi sosial masyarakat seperti ini. Semoga dugaan penulis keliru dan presiden kita Pak Jokowi segera bisa mengkoreksi hal ini dengan maksimal demi kebaikan kita bersama.

Dalam kontek ini penulis juga mencoba menjadi anak (ideologis) Presiden Jokowi dengan mengandaikan premis bahwa Presiden Jokowi sebagai pemimpin adalah juga ayah bunda rakyat. Penulis mencoba untuk seolah-olah berada dalam situasi yang sama dalam mengkritik presiden Jokowi seperti anak Presiden Taft yang entah ia anak biologis ataupun anak ideologis dari seorang presiden.

Karena kritik itu pada dasarnya sebuah pengungkapan kebenaran bukan sebuah pengungkapan kesalahan. Tulisan ini dibuat karena betapa pedulinya penulis kepada presiden Jokowi sebagai “ayah bundanya” yang ingin mencoba membuat “eling” sang kepala rumah tangga agar jangan sampai keluarga besar yang bernama Indonesia ini menjadi selalu terjaga dengan adil bagi siapapun rakyat Indonesia.

Sebagai anak ideologis penulis tentunya tidak seberuntung orang-orang lain yang menjadi anak atau teman seorang presiden. Sebagai sebuah contoh nyata yang dialami penulis sendiri dalam situasi menjadi kelompok terkecil di negeri ini di mana sebagai aktivis Khonghucu penulis berkali-kali mengirim surat terbuka kepada Presiden Jokowi hanya untuk selalu mengingatkan agar beliau sudi hadir dalam acara Imlek Nasional Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) dan menyoal Ditjen Khonghucu di Kementerian Agama yang sampai saat ini tidak pernah direspon oleh presiden sama sekali.  

Ini namanya nasib, tapi sebagai seorang penganut Khonghucu penulis selalu diajarkan untuk tidak menyerah pada nasib dan keadaan karena dalam doktrin Khonghucu selalu ditanamkan "Selama kekuatan bathin dan hati manusia lebih unggul dari apapun, maka keberuntungan tidak akan pernah meninggalkan kita”. Demikianlah yang tertulis dalam The Book of Change (I Ching).

Sehat selalu Presiden Jokowi dalam memimpin negeri ini sehingga selalu menjadi negeri yang lebih baik. Izinkan hari ini saya menjadi katak yang sedang berdoa untuk kebaikan pemimpinnya agar menjadi ayah bunda rakyat seperti dalam judul buku Anthony de Mello. rmol news logo article

Kristan

Intelektual muda Khonghucu dan wakil ketua umum DPP KNPI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA