Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Hakikat Pendidikan, Antara Pengetahuan Dan Nilai

Rabu, 01 Juli 2020, 20:02 WIB
Hakikat Pendidikan, Antara Pengetahuan Dan Nilai
Wasekjen PB PMII Periode 20172020, Moh. Agus Fuat/Ist
KETIKA saya mendengarkan poadcast Deddy Courbuzer dengan Ketua Umum Pemuda Pancasila Japto Soelistyo Soerjosoemarno, ada bagian yang membuat saya cukup tertegun. Saat itu Om Japto biasa disapa mengatakan bahwa ada sisi pendidikan bangsa Indonesia yang hilang, yakni pendidikan moral.

Sontak kalimat itu menjadikan saya termenung, Pertama karena yang mengucapkan adalah sosok Ketum Pemuda Pancasila yang terkenal cukup fenomenal. Kedua adalah materi yang diungkapkan ini sangat mendalam di tengah hiruk masalah pendidikan di Indonesia.

Berkaca dari fenomena sosial yang terjadi saat ini memang tidak terlepas dari buah dari bagaimana pendidikan ini ditanam. Pendidikan di Indonesia kalau boleh kita kategorisasi ada pendidikan formal seperti yang kita jalani dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga perguruan tinggi (kampus). Namun ada juga pendidikan nonformal seperti lingkungan keluarga, organisasi kemasyarakatan hingga pondok pesantren dan berbagai macam ruang pendidikan informal lainnya.

Acapkali saya merasa bahwa pendidikan kita hanya sekadar transfer of knowledge. Padahal lebih daripada itu, pada hakikatnya dalam pendidikan ada substansi yang lebih mendalam selain pengetahuan adalah transfer of value (transformasi nilai). Jika pendidikan hanya sekadar pengetahuan, maka anak zaman sekarang sudah lebih cepat dalam menyerap pengetahuan dengan adanya Mbah Goggle. Dalam sekejap semua bisa diabsorb dengan begitu cepat tanpa ada batas.

Ki Hadjar Dewantara pernah memberikan wejangan bahwa mendidik anak itu sama dengan mendidik masyarakat, karena anak itu bagian dari masyarakat. Apa yang diungkapkan bapak pendidikan nasional tersebut adalah inti dari pendidikan sebenarnya.

Bahwa ujung dari pendidikan adalah bagaimana sang murid bisa memberikan kebermanfaatan yang luas untuk masyarakat. Di dalam pendidikan bermasyarakat itulah sama dengan mendidik bangsa. Sungguh cita-cita yang begitu mulia dari Sang Pendiri Taman Siswa itu.

Saya kira apakah ini sisi pendidikan bangsa yang tengah hilang itu, karena bisa kita rasakan sendiri bahwa masih jarang pendidik yang menekankan nilai-nilai di pendidikan formal, sekalipun di level pendidikan tinggi. Mungkin ada, namun jumlahnya masih sangat minim.

Faktor ini pula mungkin yang menjadikan orientasi sebagian murid dalam menempuh pendidikan justru hanya untuk mengkatrol diri demi urusan pekerjaan atau materi semata. Pendidikan tidak dimakanai untuk semangat menciptakan buah karya. Bahwa materi itu penting, iya. Namun ketika materi ini dijadikan ujung dari orientasi pendidikan ini yang kurang tepat.

Kadangkala hal-hal yang secara substansi ini terlupakan, justru persoalan yang muncul dipermukaan adalah hal-hal yang sifatnya administratif belaka seperti semrawutnya kebijakan sistem zonasi dan adanya kriteria umur tanpa mempertimbangkan aspek yang lain. Justru hal ini bisa mengkebiri nilai-nilai filosofi dari pendidikan itu sendiri.

Kegelisahan itu sedikit terobati manakala saya memutar kembali memori ke belakang bahwa masih ada pendidikan nonformal yang menjadi penyeimbang untuk menanamkan nilai-nilai seperti pondok pesantren.

Ada pesan guru di pesantren (kiai) yang kerap disampaikan kepada muridnya (santri) bahwa keberkahan ilmu santri itu tidak dilihat dari seberapa pandai kalian menyerap ilmu di pesantren, tapi seberapa manfaat kalian untuk masyarakat setelah lulus dari pesantren.

Pesan ini sangat jamak disampaikan di seluruh pesantren penjuru tanah air. Tentu ini adalah suatu poin yang begitu dalam dan lahir dari sebuah kontemplasi para kiai-kiai untuk tetap menjaga ruh serta hakikat dari pendidikan.

Saya yakin pendidikan di luar kelas lainnya akan banyak memberikan pembelajaran tentang kehidupan. Pendidikan merupakan proses belajar yang tidak hanya dengan angka dan huruf yang ditulis di papan atau di buku. Namun juga aksara alam serta fenomena sosial adalah ilmu yang harus dibaca.

Jikalau sudah pada tahapan ini, semangat belajar pasti akan terus terbangun, sehingga dengan demikian setiap manusia akan mendapati nilai dari pendidikan selama masih diberikan nafas, mengeja gejala zaman dan irama sang mentari. Sungguh kondisi itu adalah suatu kenikmatan yang luar biasa. Kita dapat terus mengupgrade dan mengupdate kapasitas diri.

Seperti ungkapan Gus Idror Maimun Zubair  “Orang berilmu akan terlihat tua (dalam bersikap) meskipun masih muda. Dan ketika tua akan terlihat muda (semangatnya)” ujar putra ulama kharismatik Syaikhina Mbah Maimun Zubair.

Selayaknya kita benar-benar dapat merefleksikan tentang hakikat pendidikan. Proses belajar yang tidak hanya berorientasi pada pengetahuan semata namun menyentuh pada hakikatnya yakni nilai-nilai kehidupan. Terakhir, Saya terinpirasi dari sebuah lirik lagu Bondan Prakoso yang berjudul Xpresikan yang patut menjadi bahan renungan, yang berbunyi:

Hey Kau! Jadikanlah dirimu seperti yang kau mau
Hay Kau! Xpresikanlah dirimu seperti yang kau mau
Ini tentang langkah yang kau tentukan
Cara yang kau tuk pakai mencapai sebuah tujuan
Apa artinya kaki bila kau tak berjalan
Apa guna mata bila tak menatap masa depan
. rmol news logo article
 

Moh. Agus Fuat
Penulis Wasekjen PB PMII Periode 20172020

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA