Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kuatkan Iman, Tingkatkan Imun, Hindari Ghibah

Rabu, 01 Juli 2020, 09:03 WIB
Kuatkan Iman, Tingkatkan Imun, Hindari Ghibah
Gurubesar FK Universitas Airlangga, Abdurachman/Net
SEORANG ulama yang shaleh tak pernah satu malam pun dilaluinya tampa shalat tahajjud. Ketenangan senantiasa menyertai hari-harinya.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Suatu ketika pada saat menunggu pemakaman salah seorang Muslim, beliau duduk sedikit berjarak dengan para penggali kubur. Dari posisinya tampak di ujung sana seseorang yang membawa nampan memajukannya kepada orang-orang. Terlihat tanda meminta. Serentak muncul dari lubuk hatinya gejolak rasa yang sulit dihindarkan, “Andai saja ia bekerja, kan tidak perlu meminta-minta”, beliau asyik memberi komentar terhadap apa yang disaksikannya itu.

Selesai pemakaman beliau pulang. Tidak satu pun timbul rasa istimewa yang merubung perasaan hatinya.

Sebagaimana biasa, di sepertiga akhir malam tiba waktunya beliau menikmati shalat tahajjud. Shalat yang telah menjadi konsumsi nikmatnya sejak berpuluh tahun yang lalu. Di saat tubuhnya hendak bangun tegak mengambil wudlu, terasa berat sekali matanya dibuka. Aneh, ia memaksa sekuat daya untuk bisa membuka lagi kelopak matanya. Rasa kantuk yang sangat berat tak mampu beliau lawan. Merasa ada sesuatu yang tidak biasa, tidak kuasa berdiri melawan mata yang sulit dibuka, tubuhnya beliau hempaskan lagi melanjutkan tidur.

Tidak berapa lama mata tertutup menjelang nyenyak tidur, mimpi mendadak hadir tidak diundang. Tampak jelas orang yang mengangkat nampan tadi siang dihidangkan kepada dirinya. Orang itu disuguhkan kepadanya di atas nampan itu, sambil terdengar suara sedikit menghardik,”Ini makanlah, tadi siang kamu telah meng-ghibah (gossip) dirinya!”

Betapa terkejut beliau, sambil tersentak terbangun langsung istighfar. Seraya terus memohon ampunan kepada Allah swt. Hatinya membenarkan bahwa tadi siang dia telah ‘membicarakan’ keburukan orang itu, andai saja ia bekerja, kan tidak perlu meminta-minta.

Ia telah melakukan ghibah, membicarakan keburukan orang lain sedang orang yang dibicarakan tidak tahu/tidak sedang berada bersama yang berbicara. Di dalam al-Quran hal demikian sama dengan memakan daging saudaranya yang telah meninggal (QS. 49:12).

Hari segera pagi, sementara hati beliau terus didera kegelisahan yang sangat tidak biasa. Dicarinya orang yang membawa nampan itu ke seluruh pelosok kota. Tujuannya agar beliau bisa dimaafkan. Sampai matahari beranjak ke ufuk barat, usahanya sia-sia belaka. Tidak satu pun pojok tempat, tak satu pun informasi beliau dapat yang bisa mengantarnya kepada penyelesaian masalah melalui maaf.

Malam seperti enggan beranjak. Terasa terlalu lama menunggu sampai esok pagi tiba. Pagi buta beliau sudah memulai perjalanan lagi berburu mencari dimana orang itu berada. Demi maaf yang harus beliu mohonkan. Tak terasa penat, tak terasa lelah. Ketakutan yang menghujam atas hadirnya mimpi menyeramkan kemarin malam mengayunkan langkahnya untuk terus menguatkan niat berusaha mencari.

Menjelang dluhur, sampai langkahnya ke tepi sebuah sungai. Sungai itu dikelilingi pepohonan yang rindang. Langkahnya semakin penat, namun semangatnya tak hendak padam. Di saat itu tiba-tiba matanya tak ingin perpaling pada seseorang. Menatapnya penuh selidik dan tak ingin sekali pun berkedip. Benar, demi yang dilihatnya adalah orang yang selama ini dicarinya ke seluruh penjuru kota.

Masih setengah sadar akan kegembiraannya menatap dari jarak yang belum seratus persen jelas, serentak telinganya dikejutkan oleh suara yang tiba-tiba saja menyambutnya,”Akan kau ulangi lagi perbuatanmu itu? Sudah dimaafkan!” sambut orang itu tampa sedikit pun menoleh ke arah dirinya. Benar, orang itu telah menasihatinya agar tidak pernah sekali pun mengulangi perbuatan ghibah, walau hanya dalam hati. Dan itu pun tidak sengaja dan tidak pernah direncanakan.

Bagaimana kalau ghibah yang dilakukan dengan rencana, bahkan disiarkan di media, baik media sosial atau pun media massa, termasuk televisi? Astaghfirullaah 3x.

Iman, Tenang, dan Imun

Iman bisa tergelincir oleh sebab perbuatan keliru atau dosa. Terlebih dosa besar seperti ghibah. Rasa senang menikmati ibadah, rasa ringan menjalankan ibadah, rasa gembira melakukan kebaikan merupakan indikasi tingginya kualitas iman. Keengganan, malas, berat melakukan kebaikan bisa menjadi evaluasi dari menurunnya kualitas iman.

Iman seakar dengan kata aman. Rasa aman mengantar kepada damai, ringan, rileks tampa beban. Di dalam kedokteran Timur kondisi ini disebut sebagi kondisi sehat, ialah kondisi seimbang.

Sesuai dengan ilmu anatomi, kondisi demikian ditunjukkan dengan adanya selisih minimal sepasang daya dari otot-otot yang berkerja antagonistis. Seperti fleksi-ekstensi, adduksi-abduksi. Otot-otot senantiasa di dalam keadaan relaks. Selisih daya otot-otot atagonistis mendekati nol.

Di dalam neuroanatomy kondisi demikian ditunjukkan dengan seimbangnya peran saraf simpatis dan parasimpatis. Keseimbangan aktifitas sepasang saraf otonom ini berdampak kepada normalnya nilai tekanan darah, systole maupun diastole. Tekanan darah yang normal menunjang sempurnanya fungsi jantung, fungsi ginjal, fungsi saraf dan fungsi seluruh tubuh.  

Di dalam sistem kekebalan tubuh ketenangan demikian manunjukkan tingkat tertinggi dari kualitas daya tangkal imun tubuh. Kondisi yang mendukung orang sehat semakin sehat, kalau pun sakit segera sembuh.

Tubuh relaks nyaman, hati tenang, tidak mudah sakit, bahagia selamanya. Kuatnya iman, kuatnya imun, mendukung hidup sehat sejahtera.

Mari jauhi ghibah, karena ia menghempas iman, menghempas imun, mengundang hidup gelisah tak berkesudahan, Astaghfirullaha al-‘Adziim! rmol news logo article

Abdurachman

Gurubesar FK Universitas Airlangga, Past President of Indonesia Anatomists Association (IAA), Past President APICA-6, Executive Board Member of APICA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA