Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Grand Coalition Jokowi Vs Aliansi Oposisi Non Parlemen

Senin, 09 Maret 2020, 15:50 WIB
<i>Grand Coalition</i> Jokowi Vs Aliansi Oposisi Non Parlemen
Koalisi pendukung Joko Widodo/Net
SEJAK bergabungnya Prabowo Subianto, Ketum Partai Gerindra yang juga penantang petahana Jokowi ke dalam Kabinet Jokowi 2019-2024 praktis kekuatan oposisi di parlemen lumpuh.

Sebanyak 50 kursi PKS, parpol satu-satunya di luar koalisi besar, tentu bukan lagi lawan seimbang bagi parpol-parpolnya Jokowi di parlemen.

Pada praktiknya nanti, rakyat akan meragukan fungsi DPR untuk mengawasi kerja eksekutif dan mengkritisi proposal eksekutif dapat efektif.

Grand coalition adalah istilah dalam sistem multi partai sistem parlementer, di mana dua parpol dominan bersatu dalam pemerintahan koalisi. Koalisi besar dapat terjadi meskipun satu parpol sudah cukup kursi untuk membentuk kabinet sendiri.

Tetapi dalam kondisi stabilitas nasional diperlukan untuk mengatasi krisis atau persoalan yang ideologis, maka bergabungnya parpol dominan dianggap dapat menjaga dan mengendalikan parpol kecil. Grand coalition di era demokrasi moderen pernah terjadi pada kabinet Merkel di Jerman dan kabinet Leta di Italy.

Praktik grand coalition bukan hanya terjadi dalam sistem parlementer. Negara-negara presidential system di Amerika Latin pernah mempraktikkan grand coalition. Di Asia Tenggara, tahun 2016 Presiden Filipina Duterte membentuk grand coalition untuk menguasai 90 persen parlemen.

Di Indonesia praktik grand coalition menjadi tradisi sejak pemerintahan SBY 2004 hingga 2014. Praktik "membeli" parpol di parlemen oleh presiden terpilih dilakukan dengan memberikan tempat kepada parpol bergabung dalam kabinet. Dengan demikian, jumlah parpolnya presiden pun makin bertambah di parlemen.

Jika diamati praktik grand coalition pada sistem presidensial banyak dilakukan di negara-negara yang derajat demokrasinya belum matang. Grand koalisi lebih bertujuan untuk mempermudah proses pengambilan keputusan melalui konsolidasi kekuasaan sehingga pengawasan terhadap eksekutif minim.

Proposal pemerintah seperti kebijakan kenaikan pajak, harga BBM, impor & rancangan UU juga akan mudah diloloskan parlemen. Duterte membutuhkan dukungan penuh parlemen atas kebijakannya memberantas narkoba yang sering dianggap melanggar HAM.

Jokowi membutuhkan dukungan penuh parpol di DPR untuk memindahkan ibukota dan meloloskan rancangan omnibus law. Kedua isu ini, oleh banyak orang dipandang untuk memuluskan kapital asing, khususnya China untuk berinvestasi di Indonesia

Tetapi ada yang menarik dalam praktik grand coalition di Indonesia yaitu ketika isu korupsi sangat kuat setelah terjadi peristiwa korupsi besar sebelumnya. Era SBY terjadi kasus Bank Century yang berlanjut pada grand coalition di periode keduanya. Era Jokowi terjadi kasus Jiwasraya, meski publik baru mengetahuinya secara masif setelah grand coalition terbentuk.

Jadi saya menarik tesis dari sini bahwa grand coalition pemerintahan Jokowi selain untuk memuluskan kebijakan yang mengandung nilai-nilai ekonomis tinggi bagi kelompok-kelompok lokal mitra investasi China juga untuk meredam kasus-kasus korupsi besar.

Dengan posisi PKS sebagai lone-wolf di Parlemen, maka rakyat harus mencari alternatif agar fungsi pengawan terhadap eksekutif tetap berjalan. Salahsatunya membentuk aliansi oppsosi non-parlemen. Dalam koridor demokrasi, suara rakyat harus mempunyai saluran, dan jika saluran di parlemen macet maka saluran non parlemen diperlukan untuk menghindari terjadinya chaos. Ini juga diperlukan untuk menjaga civil society dan mendidik rakyat untuk berdemokraso dengan benar.

Aliansi oposisi dapat dibentuk oleh kelompok aktivis, tokoh-tokoh non parpol, buruh, petani dan mahasiswa. Aliansi oposisi akan menghimpun semua penolakan atas proposal pemerintah dalam suatu sikap politik yang terbuka sehingga tindakan-tindakan di masyarakat dapat tertib diarahkan oleh kepempinan oposisi.

Sebelum Prabowo masuk dalam kabinet Jokowi, Prabowo ditokohkan sebagai pemimpin oposisi karena memiliki Gerindra dan menjadi penantang Jokowi. Kini PKS sulit untuk mengambil kepemimpinan oposisi karena tidak memiliki figur sekuat Prabowo.

Karena itu, aliansi oposisi non parlemen harus mencari tokoh-tokoh di luar parlemen yang memiliki kapasitas dalam identifikasi masalah dan menawarkan solusi, integritas dalam membela kepentingan nasional, visi Indonesia maju berdasarkan rakyat yg sejahtera, dan mampu menjadi perekat berbagai elemen bangsa.

Saya punya keyakinan bahwa omnibus law ini akan lolos untuk disahkan. Maka membentuk aliansi oposisi berlomba dengan waktu. rmol news logo article

Gde Siriana

Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA