Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dirjen, Struktural Atau Kepentingan?

Rabu, 12 Februari 2020, 03:05 WIB
Dirjen, Struktural Atau Kepentingan?
Ilustrasi/Net
BEBERAPA hari ini kita diselingi berita tentang Pelaksana tugas (Plt) Dirjen Bimas Katolik yang diisi oleh Prof. Dr. Nurcholis Setiawan yang menggantikan Bapak Eusabius Binsasi yang telah pensiun bulan Juli yang lalu. Bahkan sebelum diisi oleh Prof. Dr. Nurcholis Setiawan jabatan yang ditinggalkan Bapak Eusabius diisi oleh Prof. Muhammadiyah Amin yang juga menjabat sebagai Dirjen Bimas Islam Kemenag.

Dikatakan Wamenag, Zainut Tauhid, jabatan Dirjen itu struktural, karena hanya ada satu orang pejabat eselon I di lingkungan Bimas Katolik, sementara selebihnya adalah eselon II dan III, jadi tidak mungkin Plt diambil dari lingkungan Ditjen Binmas Katolik.

Belum berjalan 1 tahun rasanya mungkin teman-teman Katolik mulai gerah dengan keadaan ini, bagaimana hak-hak mereka yang harusnya terpenuhi dengan utuh mungkin sedikit terganggu dengan keadaan ini.

Namun, bagaimana jika anda menjadi Khonghucu? Rakyat yang beragama Khonghucu begitu menderita pasca munculnya Inpres 14/1967 tentang pelarangan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina di muka umum. Begitu besar dampaknya dirasakan oleh orang Tionghoa pada umumnya. Tapi umat Khonghucu pada khususnya lebih merasakan kesengsaraan itu. Maka wajar jumlah kuantitatif umat Khonghucu di Indonesia begitu mengerucut sejak munculnya Inpres diskriminatif tersebut diatas.

Jumlah yang penulis rasa cukup besar saat ada peraturan yang dibuat zaman Soekarno di dalam penjelasan pasal 1 UU no. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

Bunyinya: "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-gama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia.. ".
Jadi jelaslah bahwa keenam agama tersebut diatas pada zamannya ialah (in majority) agama-agama yang dipeluk oleh rakyat Indonesia. Namun demikian tak pernah ada kata diakui/ mengakui.

Jadi jelaslah fungsi negara tidak untuk mengakui atau tidak sebuah agama melainkan hal tersebut di atas menjelaskan tentang kuantitas penganut agama-agama di Indonesia.
Ditambah lagi dengan jejak sejarah aturan Hari Raya No. 2/OEM-1946 pada pasal 4 yang menyebutkan bahwasannya Tahun Baru Imlek, Cengbeng, Hari Lahir dan Wafat Khonghucu sebagai Hari Libur nya orang Tionghoa pada umumnya. Tidak mengherankan bahwa pemerintah memang memandang Orang Tionghoa di Indonesia adalah (in majority) umat Khonghucu.

Zaman Soekarno usai, berganti zaman Soeharto dimana tak mungkin lagi ada kolom agama Khonghucu di kartu tanda penduduk (KTP). Tak mungkin juga menikah dengan keyakinan Khonghucu karena negara pasti tak mau mengakuinya, bahkan ditambah lagi dengan adanya aturan ganti nama dan pengurusan SBKRI.

Kemudian ada juga tuduhan tendensius komunis disematkan pada kami umat Khonghucu. Namun rasanya berlebihan dan tak berlogika yang berfikir demikian, bahwasannya Confucianism/ Ru Jiao (Agama Khonghucu) di negeri asalnya pun dihancurkan oleh rezim komunis Mao yang mungkin menganggap ajaran tersebut terlalu demokratis.

Belum lagi kemunculan klan-klan Tionghoa kanibal yang dekat pusaran kuasa yang membenci Tionghoa dan Khonghucu Indonesia semisal Kristoforus Sindhunata lewat organ BAKOM-PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa) yang dikuasainya.

Mereka bisa dikatakan cukup berhasil menghasut Soeharto untuk membuat aturan-aturan aneh semisal 'ganti nama' yang mengadu domba orang Tionghoa dan Khonghucu di republik ini, mengalahkan dominasi pemikiran Baperki nya Siauw Giok Tjhan yang punya pemikiran sebaliknya dengan Kristoforus Cs, asimilasi natural nir paksaan tanpa menghilangkan identitas dengan tetap nasionalis mencintai negeri ini.

Siapa yang nyatanya paling sengsara? Umat Khonghucu lah jawabannya, karena kenyataannya umat Khonghucu yang paling banyak dirugikan, apalagi ketika melihat kenyataan juga banyaknya kelenteng berganti nama jadi vihara dengan maksud menyelamatkan fungsi-fungsi kelenteng yang ada di Indonesia.

Namun apa daya kenyataannya malah banyak menyesatkan informasi dan menguntungkan pihak-pihak tertentu di kemudian hari. Marilah kita jujur akan keadaan bahwa pergantian nama yang masif itu benar adanya.
Namun jikalau memakai alasan mengganti nama itu sama dengan menyelamatkan fungsi kelenteng rasanya amat keliru, karena pada kenyataannya banyak kelenteng-kelenteng di Indonesia yang tak berganti nama namun kondisinya masih terjaga sampai saat ini.

Sejatinya yang dilarang pada zaman Soeharto sesungguhnya ialah lebih kepada alasan administratif dan juga pengembangan kegiatan keagamaan di muka umum, ada pengawasan yang cukup ketat melalui intelejen yang ada.

Perlu mengkaji lebih dalam jika ingin memakai alasan menyelamatkan, dan seharusnya jikapun demikian ketika keadaan sudah terbuka seperti saat ini, seharusnya sejarah itu dibuka lebar.
Sejarah yang benar seharusnya segera diluruskan dan disebarkan sehingga pemikiran generasi muda tidak kacau balau akibat disinformasi menahun yang malah dikembangbiakan.

Belum lagi menyoal tarik menarik pengakuan hari raya Imlek. Dimana semua berbondong-bondong mengakuinya. Tentu semua diundang untuk merayakan kemegahan Imlek yang juga sarat budaya dan tradisi, namun seharusnya tidak juga menihilkan keyakinan spiritual umat Khonghucu yang penuh makna agamis didalamnya sesuai acuan kitab-kitab Khonghucu yang dengan jelas menyebut hari raya tersebut beserta ritual peribadahannya.

Terlebih banyak keanehan yang begitu mengganjal, dimana ketika orde baru semua cari aman dengan menjauhi Imlek. Semisal organisasi Walubi melalui surat edaran No. 18/H-008/DPP/90 dan Dirjen Bimas Hindu Buddha melalui surat edaran No. H/BA.03.1/58/1990 yang dengan terang benderang melarang perayaan Imlek dan tidak menyelenggarakan perayaan terkait Hari Raya Imlek karena hari raya tersebut bukan hari raya umat Buddha.

Namun selepas tahun 2000 Walubi malah bernafsu sekali ingin merayakan Imlek dan Cap Go Meh secara masif dan besar-besaran bahkan selalu dengan niatan mengundang pemimpin tertinggi negeri.

Belum lagi dengan tradisi baru seperti misa Imlek di gereja-gereja yang begitu masif hingga mengubah gereja seperti kelenteng lengkap dengan sembahyang khas wewangian dupa.

Teman-teman Katolik yang demikian nyatanya melaksanakan ibadah seperti yang tersurat dalam Kitab Si Shu dan Wu Jing. Begitulah kiranya beberapa contoh keanehan di negeri ini.
Bukan waktu yang sebentar, 32 tahun lebih sebelum hadirnya Gus Dur Sang Pahlawan Pencetus Keadilan di Tanah Air Indonesia, orang Tionghoa pada umumnya dan umat Khonghucu pada khususnya telah bias informasi sejarahnya.

Masih dirasa begitu berat juga ketika kita ingin memulai lembaran baru sejak tahun 2000, masih begitu banyak pergolakan yang dirasakan umat Khonghucu hingga saat ini.
Kembali lagi soal Dirjen, untuk kita ketahui bersama bahwasannya tak ada nomenklatur itu dalam soal pengurusan negara terhadap umat Khonghucu di Indonesia.

Tarik ulur, berbelit-belit alasan keluar dari mulut para pejabat. Hingga kita harus menerima kenyataan sampai saat ini hanya ada satuan kerja setingkat eselon II yang membina umat Khonghucu, yaitu Pusat Pembinaan dan Pendidikan (Pusbindik) Konghucu. Tidak perlu kaget juga jika kenyataannya bukan orang Khonghucu yang ada di posisi tersebut, dan kami sudah terbiasa.
Melihat sisi sejarah, tak mungkin juga ada PNS Khonghucu yang memulai kariernya pada era orde baru. Tahun 2000 saja KTP khonghucu 'baru mulai' ingin dipulihkan, dan sepanjang perjalanannya masih ada kendala sampai dengan tahun 2014 ke bawah.

Sampai sekarang di banyak instansi seperti sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya juga masih belum 100% mengakui khonghucu (biasanya jika ada checklist pilihan kolom agama, kolom lainnya akan jadi pilihan bagi kami umat khonghucu, bahkan penulis lebih sering menulis sendiri dengan huruf kapital KHONGHUCU).

Penulis juga ingin memberikan informasi dan saran kepada para pejabat berwenang bahwasannya jangan terlalu banyak menipu rakyat dengan alasan aturan dan sebagainya. Karena begitu tumpang tindihnya aturan yang ada di negeri ini yang berakhir dengan keputusan subjektif.

Jikalau kalian mengatakan eselon 1 kementerian itu jabatan struktural PNS, mengapa Hilmar Farid yang notabene non PNS bisa menjadi Dirjen Kebudayaan (Eselon 1) di Kemendikbud sejak era Anies Baswedan sampai dengan era Nadiem Makarim saat ini?

Mungkin lupa akan adanya peraturan baru yang memungkinkan hal seperti tersebut diatas terjadi semisal seperti yang tersurat di dalam Peraturan Pemerintah (PP) 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), dan mungkin aturan lainnya karena Hilmar Farid dilantik sejak tahun 2015.

Jadi jika dikatakan struktural jelas sebuah kekonyolan besar, rasanya menyoal jabatan di negeri ini tidak ada yang tidak politis. Ketika posisi Dirjen kebudayaan dirasa khusus harus diisi oleh orang-orang yang ahli akan seni dan budaya seperti Hilmar Farid, agak aneh ketika Dirjen masing-masing agama di Kementerian Agama justru diisi oleh orang-orang yang bukan seagama, bahkan umat Khonghucu bermimpi tentang Dirjen di Kemenag pun rasanya sulit.

Sekali lagi, jangan pernah menipu rakyat dengan lidah yang tak bertulang. Sayang sekali jika indera yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa tersebut hanya dijadikan alat mengeluarkan alasan untuk menipu rakyat. Berhati-hati jikalau kepercayaan rakyat telah hilang.

Tetap semangat untuk kawan-kawan Katolik.rmol news logo article

Radeva Tan


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA