Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Quo Vadis Perdagangan Indonesia Jokowi Jilid II

Rabu, 30 Oktober 2019, 16:21 WIB
Quo Vadis Perdagangan Indonesia Jokowi Jilid II
Ilustrassi/Net
SEPANJANG  Januari hingga September tahun ini, neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit sebesar 1,95 miliar Dolar AS atau sekitar Rp 27,23 triliun. Meski terbilang tak setinggi tahun 2018, angka ini masih dirasa sangat merugikan perdagangan Indonesia. Besarnya nilai impor yang tak sebanding dengan nilai ekspor di sektor Migas selalu menjadi penyebab utama defisitnya neraca perdagangan nasional. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tiga tahun awal pemerintahan jokowi (2015-2018) yang berhasil mencetak skor positif dalam neraca perdagangan.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Pemerintah tentu harus serius dalam menangani permasalahan defisit neraca perdagangan ini. Dampaknya terhadap Neraca Transaksi Berjalan (current account deficit) yang negatif pada akhirnya akan membuat nilai rupiah semakin rentan terhadap gejolak ekonomi global. Oleh karenanya pemerintah harus membuat serangkaian kebijakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan ini, salah satunya menahan gempuran produk-produk impor dan meningkatkan kualitas dan kuantitas ekspor Indonesia, khususnya pada sektor nonmigas.

Selain melakukan penguatan daya saing di sektor manufaktur, usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) juga memiliki potensi untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan ini. UMKM yang kini mencapai 62 juta unit usaha dapat dimaksimalkan untuk membuat produk substitusi impor. Tujuannya menekan angka impor kita.

Selain itu dengan memaksimalkan UMKM dengan produk-produk barang ekspor akan mampiu melakukan ekspansi pasar yang lebih luas di luar negeri. Dengan demikian, ekspor produk UMKM akan menaikkan nilai surplus neraca perdagangan Indonesia. Kebijakan yang yang dapat meningkatkan daya saing UMKM perlu dibuat seperti pendampingan dan pendidikan kepada pelaku UMKM. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas produknya. Pemberian akses permodalan dan mempermudah perizinan ekspor menjadi paket kebijakan pelengkap.

Kita berharap UMKM dapat menjadi tulang punggung perekonomian nasional di tengah kerasnya persaingan global. Apalagi dalam pidato pelantikannya, Presiden Jokowi ingin mempercepat pengembangan UMKM dengan merevisi aturan-aturan yang menghambat tumbuh kembangnya UMKM dan membuat UU Pengembangan UMKM.

Tantangan perkembangan e-commerce

Di sisi lain, perkembangan e-commerce seakan membuka pintu perdagangan internasional semakin lebar. Angka impor dan ekspor melalui e-commerce pun melaju pesat. Dirjen Bea Cukai mencatat bahwa pada tahun 2019, impor dari e-commerce berkontribusi 0,42 persen terhadap total impor Indonesia atau diperkirakan mencapai sekitar 65,1 juta Dolar AS atau sekitar Rp 924 miliar. Hal ini menjadi tantangan lain di tengah semakin maraknya perdagangan melalui e-commerce. Berdasarkan laporan e-conomy SEA 2019, ekonomi digital Indonesia tercatat mengalami kenaikan rata-rata sebesar 49 persen setiap tahunnya.

Bahkan riset terbaru yang dikeluarkan kerjasama Google & Temasek mengestimasi bahwa ekonomi digital Indonesia akan meningkat dari 40 miliar Dolar AS (setara Rp 560 triliun) pada tahun 2019, menjadi sebesar 130 miliar Dolar AS (setara Rp 1.820 triliun) pada tahun 2025. Jika potensi ini dapat dikonversi dengan baik, bukan tidak mungkin ini dapat memperkuat neraca perdagangan Indonesia.

Meskipun jika meneliti lebih dalam, nilai impor dan ekspor barang konsumsi yang ditransaksikan melalui e-commerce tidak sebanding. Ketimpangan ini perlu dicurigai akibat dari lemahnya pengendalian impor. Minimnya hambatan non tarif yang diterapkan di Indonesia semakin meliberalisasi pasar dan membuat pertarungan pasar semakin terbuka.

Di satu sisi, hambatan non tarif di negara lain semakin proteksionis terhadap barang konsumsi impor, sekalipun negara maju yang mendengungkan slogan isu pasar bebas. Maka memperbesar non-tariff measures (NTM) menjadi salah satu solusi untuk memproteksi pasar Indonesia terhadap gempuran produk-produk demi menjaga stabilitas produsen dalam negeri yang pada akhirnya juga berdampak pada jumlah serapan tenaga kerja dalam negeri.

Tercatat pada tahun 2016 berdasarkan data WTO, Indonesia baru memiliki 272 NTM atau sebesar 12,3 persen dari total NTM yang dimiliki China sebanyak 2.194 NTM. Maka menjadi wajar apanbila produk Tiongkok semakin membanjiri pasar kita, dan tidak berlaku sebaliknya.

Tidak hanya soal NTM, dari sisi Chanel Online untuk dapat memasarkan produk kita di negara lain juga masih sangat terbatas. E-commerce B2C seperti Shopee dan Lazada, sejauh ini baru memfasilitasi penjualan produk yang dibeli langsung dari luar negeri, namun tidak berlaku sebaliknya. Murahnya biaya pengiriman barang dari luar negeri (hanya sekitar Rp 10.000 untuk wilayah Jabodetabek dan bahkan terkadang lebih murah dibanding jasa biaya pengiriman dalam negeri untuk pengiriman ke luar Jawa) menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku usaha lokal untuk melakukan persaingan dengan kompetitor asing yang menjalankan usahanya dari negara asalnya.

Jika kita ingin mendorong pelaku UMKM dan pelaku usaha online turut serta meningkatkan neraca perdagangan ekspor, maka pemerintah harus memberikan kebijakan dan atensi khusus agar e-commerce yang membuka kran perdagangan digital luar negeri. Selain itu juga harus mendorong dan memfasilitasi agar produk-produk lokal kita dapat dipasarkan dan diterima di Luar Negeri.

Tantangan Kemendag

Masih hangat dalam ingatan kita kegaduhan yang mewarnai berbagai media massa 2018 lalu, mengenai kebijakan impor beras yang dikeluarkan Kemendag kemudian berbenturan dengan kebijakan Kementan. Dimana kebijakan impor beras kemendag dinilai Kementan merugikan sebagian besar petani karena dilakukan di waktu yang kurang tepat yaitu masa panen raya. Hal ini sangat mungkin akan kembali terjadi jika tidak ada sumber data terintegrasi yang menjadi rujukan kementerian terkait untuk mengambil sebuah kebijakan. Di satu sisi Kemendag berharap dapat menjaga stabilitas harga pasar, sementara Kementan berorientasi pada menjaga harga jual produk tani lokal agar menguntungkan bagi petani.

Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju saat ini, kita berharap seluruh kementerian dan lembaga, bahkan BUMN dapat bersinergi secara baik melalui basis data terintegrasi. Sehingga masing-masing Kementerian dapat menjalankan fungsinya, yaitu menjaga stabilitas harga pasar untuk Kemendag dan Kementan tetap dapat menyejahterakan petani kita yang mencapai 33.48 juta orang (data tahun 2018).

Dipilihnya sosok Agus Suparmanto sebagai Menteri Perdagangan, menjadi misteri tersendiri bagi sebagian pelaku usaha di Indonesia. Namanya bukanlah nama yang selama ini banyak beredar mengisi kanal ekonomi dan perdagangan. Meski belum banyak diketahui kapasitas dan sepak terjangnya di dunia perdagangan, nyatanya Jokowi menyerahkan nasib perdagangan Indonesia padanya. Tentu ini bukan sebuah keputusan yang tidak dilandasi dengan pertimbangan yang matang, terlebih bagi presiden yang ingin membuat berbagai legacy di periode dua kepemimpinannya.

Kini dunia perdagangan Indonesia berharap cemas sambil menaruh harapan besar. Semoga kebijakan Sang Mendag dapat merepresentasikan tidak hanya pada kepentingan pelaku usaha, tapi juga sebagian besar kepentingan masyarakat yang kini telah menjadi subjek pasar. Kejayaan Indonesia dalam bidang perdagangan, yang ditandai dengan surplusnya nilai perdagangan dapat kembali terjadi setelah keterpurukan kita dalam dua tahun terakhir. Akankah Sosok Agus mampu menjawab tantangan perdagangan? waktulah yang akan membuktikan. rmol news logo article

Iden Robert Ulum

Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Indonesian Policy Analysis (CIPA), EM14 Magister PPM Manajemen.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA