Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pilpres 2019 Kebenaran Melawan Kebohongan

Rabu, 01 Mei 2019, 19:22 WIB
Pilpres 2019 Kebenaran Melawan Kebohongan
Batara R. Hutagalung
DI berbagai medsos dan Whatsapp Group (WAG) beredar rekaman video ceramah Burhanudin Muhtadi (BM), Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indikator Politik, di suatu acara pendukung paslon 01. Dia menceritakan panjang lebar mengenai yang dinamakan "Post Truth" atau ”Pasca Kebenaran”
 
Sebenarnya tak perlu penjelasan panjang lebar dan bertele-tele untuk memperhalus arti istilah ini. Cukup dengan satu kata, kebohongan. Post Truth (PT) artinya adalah KEBOHONGAN. Kini di seluruh dunia digunakan kata hoax untuk berbagai jenis kebohongan atau cerita palsu.
 
Berikut uraian Burhanudin Muhtadi mengenai post truth:

“PT adalah era pasca kebenaran. Ini adalah suatu politik di mana kebenaran objektif tidak terlalu penting. Yang penting adalah kebenaran emosional. Objective truth tidaklah penting. Yang penting adalah emotional truth.
 
Ini terjadi bukan hanya di Indonesia, ini terjadi di belahan dunia yang lain: di Inggris, Brexit. Inggris keluar dari Uni Eropa karena post truth. Di Amerika Serikat, Donald Trump menggunakan strategi post truth, dan menang. Di Brasil, Jair Bolsonaro yang jualan anti komunisme menang.
 
Dalam konteks post truth, maka yang dilakukan oleh para politisi itu melakukan suatu proses yang disebut dengan meracuni atau mengeruhkan lingkungan, poisoning the water.
 
Yang ditembak adalah simpul ketakutan di otak kita. Otak manusia itu paling sensitif kalau diancam. Ada simpul namanya (philia?) di otak kita.

Disentil otak keterancaman, maka hilang semua rasionalitas kita. Hoax yang menjadi ciri dari post truth itu hidup dalam suasana ketakutan. Dulu, politisi jual harapan, sekarang politisi jual ketakutan.
 
Orang kalau sudah benci, merasa terancam, maka hilang semua rasio. Hoax gak ada kaitannya dengan rasio dan IQ. Jadi saya gak setuju sama Rocky Gerung yang bilang, hoax itu kaitannya dengan IQ rendah. Gak ada kaitannya.

Terbukti secara scientific, Donald Trump memproduksi hoax delapan kali sehari, itupun bisa menang. Makanya hati-hati.
 
Nah kita hidup dalam suasana itu sekarang. Orang gak melihat apakah fakta yang benar atau salah, tetapi yang penting, orang percaya. Dan media sosial punya peran. Yang membuat post truth dan era hoax ini menyebarluas...”
 
Demikian antara lain yang dikatakan oleh Burhanudin Muhtadi.
 
Setelah rekaman video tersebut beredar di Youtube dan di berbagai grup WA, maka, bermunculanlah komentar dan pendapat, sehubungan dengan pernyataan BM.
 
Mencocokkan fakta-fakta perkembangan sejak tahun 2014 dengan uraian Burhanudin, maka banyak yang menuding, bahwa dia adalah “otak” di balik metode post truth, hoax, kebohongan-kebohongan yang telah dilakukan oleh Joko Widodo sejak kampanye tahun 2014, bahkan mungkin juga dalam kampanye Pilkada DKI tahun 2012.
 
Beberapa lembaga survei dituding telah membohongi masyarakat dengan menampilkan hitung cepat quick count hasil pemilihan presiden 2019 yang memenangkan paslon 01. Hasil dari beberapa lembaga survei tersebut berbeda jauh dengan hasil survei yang dilakukan oleh BPN paslon 02 dan beberapa lembaga survei lain.
 
Lembaga-lembaga survei yang memenangkan paslon 01 harus menerima tudingan, bahwa mereka merupakan lembaga survei bayaran untuk memenangkan paslon 01. Ada yang resminya adalah konsultan paslon 01.
 
Inti pengertian post truth adalah suatu metode atau langkah yang banyak digunakan dalam segala bidang, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya, yaitu kebohongan yang diulang berkali-kali untuk tujuan tretentu.
Banyak post truth atau hoax atau kebohongan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya digunakan untuk tujuan dan kepentingan politik. Beberapa hari belakangan dipertanyakan laporan keuangan dua BUMN besar, Garuda dan Pertamina.

Garuda melaporkan seolah-olah ada keuntungan besar yang dibukukan tahun 2018. Pertamina membagi deviden konon yang terbesar dalam sejarah, sebesar Rp 120 triliun. Namun dipertanyakan, mengapa sudah membagi dividen tanpa ada laporang keuangan sebelumnya?
 
Ada beberapa kekeliruan Burhanudin Muhtadi dalam ceritanya.

Mengenai masalah Brexit, keluarnya Britania Raya (Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara) dari Uni Eropa. Seperti penentang Brexit lainnya, Burhanudin juga mengatakan, bahwa Brexit adalah karena rakyat Britania Raya (BR) terpengaruh dengan post truth atau hoax, atau kebohongan.
 
BM kurang membaca sejarah masuknya Inggris Raya ke Uni Eropa tahun 1976 dan keluarnya mereka melalui referendum tahun 2016. Sejak masuknya Inggris Raya ke Uni Eropa (dulu adalah MEE atau Masyarakat Ekonomi Eropa), pihak oposisi, Partai Buruh (Labour Party) telah menentang langkah ini.

Puncak tentangan terhadap keberadaan Inggris Raya di Uni Eropa adalah referendum tahun 2016, di mana suara penentang Inggris Raya di Uni Eropa menang. Keluarnya mereka dari Uni Eropa tak dapat dimasukkan sebagai contoh suatu post truth atau hoax, karena memang sebagian rakyat Inggris Raya sejak awal, tahun 1976, sudah menentang. Jadi bukan masalah baru.
 
Kekeliruan kedua adalah, bahwa yang disampaikan untuk mempengaruhi masyarakat adalah memenangkan suatu pemilu dengan membangkitkan rasa takut. Meracuni lingkungan (poisoning the water).
 
Donald Trump tidak hanya menyebar cerita horor mengenai perlunya dibangun tembok perbatasan dengan Meksiko dan menutup pintu untuk para imigran. Dia juga mengeluarkan slogan MAGA (Make America Great Again).
 
Yang dilakukan oleh Trump adalah “resep kuno” yang sudah dilaksanakan oleh kerajaan Roma, yaitu, ppertama, “menciptakan” musuh bersama (common enemy) suatu negara atau kelompok di luar negaranya. Kedua, menjalankan politik "reward and punishment" atau hadiah dan hukuman. Dalam bahasa Jerman disebut “Mit Brot und Peitsche” atau dengan roti dan cambuk.
 
Politik dilakukan dengan dua pola yaitu, apabila kamu menuruti perintahku, maka kamu akan mendapat roti (jabatan, rezeki, makanan, dll). Tetapi apabila kamu membangkang atau melawan, maka kamu akan dicambuk. Politik ini dilaksanakan selama ratusan tahun oleh para penguasa yang kejam atau para penjajah. Ingat sejarah kolonialisme Belanda di Nusantara.
 
Para politisi, juga sekarang, bukan hanya menjual ketakutan, melainkan juga menjual “angin surga” atau iming-iming, janji yang muluk, seperti yang dilakukan oleh petahana, Joko Widodo di Indonesia. Dia melanjutkan metodenya yang diterapkan dalam Pilpres 2014, yaitu mengumbar janji-janji yang muluk-muluk.
 
Janji-janji kampanye tahun 2014 yang tidak dipenuhi antara lain:

1. Stop impor pangan.
2. Swasembada beras dalam 3 tahun. Kalau tak tercapai, maka menteri pertanian akan dicopot.
3. Tidak akan perpanjang kontrak Freeport. (Catatan: Apabila kontrak Freeport yang berakhir tahun 2021 tidak diperpanjang, maka tambang emas terbesar di dunia akan kembali milik rakyat Indonesia 100%).
4. Tidak akan menaikkan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik,
5. Buy back Indosat,
6. Tolak utang luar negeri,
7. Pertumbuhan ekonomi 7%.
8. Dijanjikan, keluarga pra-sejahtera akan mendapat bantuan sebesar Rp 1 juta, dengan syarat pertumbuhan ekonomi di atas 7%.
9. Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 sebesar 7,8 % dan akan “meroket”. Faktanya, justru tahun 2015 pertumbuhan ekonomi mencapai titik terendah, di bawah 5%.
10. Membangun 50.000 Puskesmas, dll.
 
Demikian sebagian janji-janji kampanye Jokowi tahun 2014.

Jokowi menang terutama karena janji-janji kampanyenya yang menggiurkan, dan dipercayai oleh sebagian masyarakat. Namun juga sudah ada yang bersuara, bahwa telah terjadi manipulasi dalam Pilpres 2014, di mana seharusnya yang menang adalah paslon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Dari puluhan janji ketika kampanye tahun 2014, ada yang mencatat, bahwa sekitar 60 janji kampanyenya yang tidak dilaksanakan. Bahkan yang dilakukan justru bertentangan dengan janji kampanyenya. Janji akan mempersulit investasi asing. Faktanya, calon investor diberi kemudahan-kemudahan, bahkan peraturan yang dipandang mempersulit, segera dirubah.
 
Pada bulan April 2015 di media diberitakan, bahwa RRC (Republik Rakyat Cina) sapu bersih semua proyek infrastruktur di Indonesia. Pada bulan April 2019 dalam KTT proyek besar RRC One Belt One Road (OBOR), Indonesia menawarkan lagi 28 proyek kepada RRC. Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera resmi menjadi bagian proyek raksasa RRC.
 
Oleh karena itu, sebagian masyarakat menilai bahwa Jokowi telah melakukan kebohongan-kebohongan publik. Media-media utama (main stream) sangat berperan dalam menyebarluaskan kebohongan-kebohongan tersebut, yang mengakibatkan pada awalnya sebagian besar masyarakat mempercayai dan memilihnya sebagai presiden 2014-2019.
 
Kebohongan paling besar sejak tahun 2012, sejak Jokowi masih sebagai Wali Kota Solo hingga saat ini tahun 2019 tidak ada realisasinya adalah mobil Esemka.
 
Hoax mengenai mobil Esemka dipropagandakan terus menerus. Bahkan Jokowi mengatakan, bahwa sudah ada pemesanan sebanyak 6.000 unit, dan permintaan meningkat terus. Akhirnya kebohongan tersebut terungkap juga. Namun membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengungkap bahwa mobil Esemka adalah suatu kebohongan, hoax, post truth, karena sebagian masyarakat sangat mempercayainya.
 
Masih banyak contoh-contoh kebohongan yang dipercayai oleh sebagian masyarakat, yang memberi kesan, bahwa cukup banyak yang tidak menggunakan akal sehat, melainkan menggunakan emosi.
 
Jadi, janji-janji kampanye Jokowi tahun 2014 dan hasil quick count pemilu 2019 dapat dinilai sebagai post truth, hoax, kebohongan yang terstruktur, sistematis dan massif.
 
Kini, kelihatannya sebagian besar rakyat Indonesia sudah jenuh dengan segala post truth, hoax, kebohongan, dan menginginkan pemimpin yang berpegang teguh pada kebenaran, terutama tidak ingkar janji kampanye.
 
Oleh karena itu, pemilu 2019 harus disebut sebagai TRUTH versus POST TRUTH. KEBENARAN melawan KEBOHONGAN.

Catatan Tambahan

Selama ini yang paling terkenal menggunakan post truth, hoax atau kebohongan dalam propaganda-propagandanya adalah Joseph Goebbels (1875-1945), Menteri Propaganda Nazi-Jerman di bawah Adolf Hitler (20 April 1889, Austria.-30 April 1945, Berlin, Jerman).
 
Joseph Goebbels mengatakan, “Wenn man eine große Lüge erzählt und sie oft genug wiederholt, dann werden die Leute sie am Ende  glauben. Man kann die Lüge so lange behaupten, wie es dem Staat gelingt, die Menschen von den politischen, wirtschaftlichen und militärischen Konsequenzen der Lüge abzuschirmen. Deshalb ist es von lebenswichtiger Bedeutung für den Staat, seine gesamte Macht für die Unterdrückung abweichender Meinungen einzusetzen. Die Wahrheit ist der Todfeind der Lüge, und daher ist die Wahrheit der größte Feind des Staates."
 
Terjemahannya, “Apabila seseorang menceriterakan suatu kebohongan besar dan cukup sering mengulanginya, maka pada akhirnya orang-orang akan percaya. Orang dapat mempertahankan kebohongan tersebut, selama negara berhasil menutup-nutupi konsekuensi politis, ekonomi dan militer dari masyarakat. Oleh karena itu hal ini mempunyai arti yang sangat penting untuk negara, untuk menggunakan segala kekuasaannya untuk menekan pendapat-pendapat yang berbeda. Kebenaran adalah musuh utama dari kebohongan, dan oleh karena itu, kebenaran adalah musuh terbesar dari negara (Nazi-Jerman).”
 
Joseph menjadikan “kebohongan besar” dalam propagandanya. Kebohongan besar ini adalah salah satu butir yang telah ditulis oleh Adolf Hitler dalam bukunya “Mein Kampf.” (Perjuanganku), Autobiografi, 1925, halaman 252.
 
Hitler menulis, “Man ging dabei von dem sehr richtigen Grundsatze aus, daß in der Größe der Lüge immer ein gewisser Faktor des Geglaubtwerdens liegt, da die große Masse des Volkes bei der primitivsten Einfalt ihres Gemütes einer großen Lüge leichter zum Opfer fällt als einer kleinen."

"Orang bertitik-tolak dari suatu dasar yang benar, bahwa dalam KEBOHONGAN BESAR selalu ada faktor tertentu dari AKAN DIPERCAYA (Geglaubtwerden), karena massa yang besar dari masyarakat dalam kesederhanaann yang primitif dari pikirannya, akan lebih mudah menjadi korban dari suatu kebohongan besar daripada suatu kebohongan kecil,” demikian tulis Adolf Hitler.
 
Kelihatannya “ajaran” Hitler ini mempunyai banyak pengikut, yang tidak tanggung-tanggung menebar kebohongan-kebohongan besar. Kemudian dipadankan dengan metode Goebbels, yaitu kebohongan-kebohongan tersebut selalu diulang-ulang.
 
Hitler dan Goebbels rupanya mengembangkan metodenya berdasarkan “ajaran” dari Lord Francis Bacon (22 Januari 1561-9 April 1626), filsuf dan negarawan Inggris serta penulis esai yang bagus.

Bacon menulis kalimat dalam bahasa latin yang terkenal, "Audacter calumniare, semper aliquid haeret.” Dalam bahasa Inggris, artinya, "Slander boldly, something always sticks." Sementara dalam bahasa Indonesia artinya, ”Fitnahlah dengan berani. Sesuatu akan selalu menempel.” rmol news logo article


Batara R. Hutagalung
Penulis adalah peneliti sejarah

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA