Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Memutus Mata Rantai Perundungan Dalam Perspektif Siswa Kelas 12

Kamis, 10 Agustus 2017, 07:45 WIB
Memutus Mata Rantai Perundungan Dalam Perspektif Siswa Kelas 12
M Athallah Raihan Adam/Net
MUNGKIN asing bagi sebagian orang istilah perundungan, tapi kalau dikatakan bullying, hampir semua orang tahu istilah itu. Padahal dua kata itu memiliki istilah yang sama. Bullying adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi perundungan.

Tapi tidak penting istilah atau nama, kata shakespere "apalah arti sebuah nama", yang penting adalah apa arti dari kata tersebut. Menurut Olweus (1993; dalam Anesty, 2009) memberikan contoh tindakan negatif yang termasuk dalam perundungan atau bullying antara lain, mengatakan hal yang tak menyenangkan ataupun memanggil seseorang dengan julukan yang buruk. Kedua, mengabaikan atau mengucilkan seseorang dari suatu kelompok karena sebuah tujuan. Ketiga, memukul, menendang, menjegal atau menyakiti orang lain secara fisik. Keempat, mengatakan kebohongan atau rumor yang tidak benar mengenai seseorang atau membuat orang lain tidak menyukai seseorang dan hal-hal semacamnya.

Fenomena perundungan di atas memang lagi marak di semua pemberitaan media informasi. Semakin banyak yang terungkap justru membuat kita siswa siswa senior merasa prihatin dan khawatir. Karena hal itu bisa terjadi dimana saja bahkan adik kelas kita.

Di sekolah SMA baik swasta maupun SMA negeri, ternyata kasus perundungan terjadi disebabkan karena hal yang sepele. Contoh yang masih hangat yaitu Renggo siswa kelas 5 SD di Jakarta yang meninggal karena dikeroyok. Gara-garanya, dia tidak sengaja menjatuhkan kue temannya. Padahal kue tersebut sudah diganti uang. Tapi entah setan apa yang merasuki otak anak-anak yang tergolong masih polos itu, sehingga dengan tega mengeroyok dan menganiaya Renggo sampai meninggal.

Akhir dari masalah inipun tidak jelas, karena baik polisi maupun penegak hukum juga bingung untuk menentukan vonis terhadap anak-anak yang semuanya masih di bawah umur. Sedang jalan keluar damaipun tentunya tidak akan bisa langsung mengembalikan psikis anak yang sudah telanjur dicap sebagai seorang kriminal.

Di SMA lebih parah lagi, perundungan terjadi karena beberapa sebab sederhana. Seperti, karena ceweknya suka dengan anak baru, atau karena wajah anak baru yang nampak culun, atau karena sikap anak baru yang terlihat sombong, atau karena persoalan iri trehadap apa yang dimiliki anak baru, atau lainnya. Terkadang tidak masuk akal bagi guru, tapi menjadi masuk akal bagi anak SMA.

Persoalan persoalan seperti di atas sebenarnya bukanlah sebab tapi akibat berberapa hal yaitu prinsip konsumen adalah raja. Di beberapa sekolah swasta dan sekolah negeri, sekolah menjadi ajang bisnis, sehingga sekolah menjadikan siswa sebagai konsumen. Hal ini berakibat sekolah tak mampu mengendalikan perilaku siswa. Sehingga ada siswa yang merasa superior dan ada siswa yang merasa inferior. Hal ini menyebabkan terjadinya perilaku perundungan di sekolah. Karena prinsip konsumen adalah raja, dan bagaimana kalau rajanya itu adalah siswa yang belum matang berfikir?

Kedua, persepsi Guru adalah malaikat. Persepsi ini menyebabkan guru tidak pernah bisa dikritik dan guru tidak pernah salah. Apalagi ada diskriminasi pada fasilitas toilet. Toliet guru lebih bersih sedangkan toilet siswa lebih kotor. Di beberapa sekolah negeri ataupun swasta kondisi ini menyebabkan ada indentifikasi diri untuk meniru apa dilakukan guru. Sehingga anak ingin menjadi malaikat dan ingin superior dengan fasilitasnya yang akhirnya ada siswa kuat yang melakukan peundungan dan ada siswa lemah. Hal ini bisa menyebabkan kultur senior dan yunior yang berbeda.

Ketiga, orang tua yang membebani anak belajar. Dalam kurikulum kurtilas jelas pendekatan pendidikan adalah proses bukan hasil. Namun pada kenyataan di lapangan pendidikan menjadi hasil. Karena semua tergantung nilai. Dan nilai menentukan masa depan siswa diterima di PTN terkemuka. Sehingga anak dijejali bimbingan belajar. Yang makin membuat anak terbebani adalah sekolah juga memiliki target untuk mematok jumlah kelulusan dan nilai dalam rangka akreditasi. Akhirnya beban belajar anak memiliki dua tekanan psikologis, dari sekolah dan dari orang tua. Siswa keluar dari tekanan dengan melakukan kegiatan penekanan terhadap siswa yunior, yang menjadi salah satu kepuasan tersendiri untuk keluar dari dua tekanan, yang berakibat timbulnya perundungan.

Keempat, perbedaan budaya siswa di lingkungan dengan di sekolah. Perbedaan lingkungan sekolah dan di rumah juga menyebabkan timbulkan perilaku perundungan. Di rumah siswa tertekan, di sekolah siswa menekan. Bisa juga di rumah menjadi anak manis, di sekolah menjadi anak yang mudah dirundung, atau sebaliknya dia menjadi anak yang suka merundung.

Keempat penyebab tersebut bisa diputus mata rantainya jika ada kemauan yang keras dari guru, siswa, dan orang tua, terutama siswa kelas 12. Karena posisi paling senior di sekolah adalah siswa kelas 12. Jika siswa kelas 12 dilakukan pendekatan dan pemahaman yang memadai oleh guru, maka perilaku perundungan bisa diputus mata rantainya. Karena pada prinsipnya siswa 12 yang memegang peran penting dalam perundungan untuk adik kelas. Mereka biasanya melakukan itu di luar sekolah dan di luar jam belajar. Atau di sekolah dengan ruang-ruang yang jarang dilewati guru.

Semoga tidak ada lagi budaya perundungan di sekolah dan sekolah benar-benar menjadi tempat menuntut ilmu yang nyaman dan aman bagi siswa. [***]

M Athallah Raihan Adam

Siswa Kharisma Bangsa Kelas XII Angkatan 2017/2018

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA